Oleh: Ahmad
(Sekretaris Bidang Hukum dan HAM PW. Pemuda Muhammadiyah Sulsel)
KHITTAH.co — Gegap gempita memperingati hari kemerdekaan ditandai dengan berbagai kegiatan yang digelar sebagai pertanda kita “merdeka” bebas dari penjajahan yang puncaknya jatuh pada tangal 17 Agustus 2017. Artinya Indonesia memasuki usia ke 72 tahun pasca kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 silam. Usia 72 tahun telah membawa Indonesia pada posisi strategis dalam kacamata dunia internasional yang seyogyanya berdaulat secara “ekonomi, politik, dan hukum” agar supaya membawa bangsa ini jauh melampaui harapan para Founding Father bangsa ini.
Liberalisasi Ekonomi
Apa yang kemudian terjadi di Tanah Air? Data yang disampaikan oleh Muhaer Pakkana, sangat jauh dari harapan. Ekonomi bangsa sulit keluar dari dekapan pemilik modal asing. Nyaris semua barang dan jasa yang kita konsumsi tiap hari saat ini, ternyata bukan lagi produk dan karya anak bangsa, tapi produk pemodal dan pemilik asing.
Pada produk barang konsumsi, seperti sabun Lux dan pasta gigi Pepsodent, yang sudah sekian turunan kita gunakan, ternyata milik Inggris, air mineral Aqua (Danone milik Perancis); susu SGM (Numico milik Belanda); teh Sari Wangi dan Kecap Bango (Unilever milik Inggris); kecap, sirup, saus ABC (HJ Heins milik AS); rokok Sampoerna (Philip Morris milik AS).
Di bidang telekomunikasi, operator Indosat, XL, Telkomsel dimiliki Qatar, Singapura, dan Malaysia. Di bidang ritel, dengan Giant dan Hero (milik Malaysia), Circle K (milik AS), pabrik-pabrik semen, misal; semen Gresik (milik Mexico), semen Cibinong (milik Swiss), semen Tiga Roda (Heidelberger milik Jerman).
Di industri perbankan, dari 120 bank umum di Tanah Air, lebih separuhnya telah dimiliki asing. Mereka dibiarkan bebas memiliki 99 saham, yang tentu secara otomatis bisa merambah ke seantero pelosok negeri. Di negara-negara lain, misalnya China (hanya 25 persen), Malaysia (hanya 30 persen), Thailand (hanya 49 persen). Luar biasa memang liberalnya negeri Pancasila kita yang sudah merdeka 72 tahun ini. (Mukhaer Pakkanna, 2017 ).
Negara Mesti Hadir
Slogan keberpihakan kepada rakyat acap kali dilontarkan oleh para pemimpin Negara ini, hampir semua diperuntukkan untuk rakyat walaupun masih dalam bentuk kata dan kalimat. Faktanya sangat jauh sepertinya yang disampaikan oleh Mukhaer Pakkanna, sangat jauh dari kenyataan dan itu artinya Negara belum hadir di tengah rakyat jelata, karena semua hasil bumi masih dalam penguasaan asing dan aseng.
Kita belum dapat berdaulat secara ekonomi, segelintir pemodal masih menentukan hidup hajat orang banyak dan negara masih belum menunjukkan keberpihakannya secara nyata. Kebijakan diproduksi bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tapi malah menguntungkan pemodal kakap untuk memainkan perannya dalam mengendalikan perekonomian rakyat Indonesia.
Kemerdekaan hanya menjadi seremoni kenegaraan untuk menunjukan bahwa pemerintah tetap ada dalam mengisi hari kemerdekaan dengan upacara 17 Agustus 1945. Pemerintah tetap akan mendorong masyarakat bersuka ria dengan perayaan kemerdekaan di berbagai pelosok dengan berbagai kegiatan yang menghibur bangsa ini. Perayaan ini ditandai oleh gegap gempita kegiatan yang nuansanya tidak mencerminkan nilai “perjuangan”. Kita gagap dengan 17 Agustus yang bernuansa “hiburan” bahkan menggelikan yang tidak mencermikan semangat perjuangan para pahlawan.
Pemuda dan Kedaulatan Politik
Kemerdekaan tidak lepas dari peran Pemuda yang ingin melihat bangsanya merdeka dan terbebas dari penjajahan serta berdaulat, kata Bung Karno “berdikari”. Pesan Bung Karno yang “meminta 10 pemuda untuk mengguncang dunia” itu pertanda bahwa pemuda perannya sangat strategis dalam berbangsa dan bernegara. Pemuda mesti menjadi penyokong kemerdekan karena dipundak merekalah diletakkan harapan rakyat indonesia untuk bebas dari berbagai bentuk penjajahan.
Nalar kebangsaan mesti didorong oleh anak-anak muda bangsa ini, mengembalikan kehormatan bangsa ini dengan tampil mengambil bagian dalam setiap momentum suksesi kepemimpinan, sehingga bangsa ini keluar dari kemelaratan, kebodohan dan kebobrokan moral yang acap kali dipertontonkan elit bangsa ini. Kemerdekan harus diiringi oleh perjuangan menjaganya dengan tidak menyerahkan segala kebijakan ditentukan oleh pemodal asing dengan mendorong kedaulatan politik.
Mengutip Bertolt Bracht, penyair jerman “Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir semua pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional,”.