Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Ibu

×

Ibu

Share this article

 

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid*

Pada saat banyak orang bersiap merayakan kelahiran Yesus putra Maryam beberapa hari lagi, hari ini kita merayakan Hari Ibu. Sosok Ibu ini membawa banyak pesan jika bukan kontroversi beberapa hari terakhir ini. Hal ini dimulai saat seorang tokoh tentara—yang namanya sebagian mengambil nama Arab—mengatakan bahwa dia berdoa dalam bahasa ibunya, karena Tuhannya bukan orang Arab. Lalu seorang tokoh Jakarta keturunan Arab mengatakan bahwa jika pengaruh Arab tidak pernah datang ke Nusantara, mungkin nenek moyang tokoh tentara itu masih menyembah pohon.

Lalu seorang profesor dari sebuah perguruan tinggi di Kalimantan Timur menanggapi bahwa ucapan tokoh Jakarta itu tidak hanya menyinggung tokoh tentara tersebut tapi juga menyinggung bangsa Indonesia, termasuk dirinya yang muslim. Menurut sang Profesor ini, bangsa Nusantara sudah mengenal cara berTuhan yang lebih canggih daripada cara orang Arab bertuhan.

Mungkin karena keseleo lidah jika tokoh tentara itu mengatakan secara tidak langsung bahwa Tuhan itu orang. Ini bisa sangat dipahami bahwa nasionalisme yang ditanamkan pada setiap tentara mendahului semua narasi tentang internasionalisme yang dibawa Islam.  Misalnya saja calon mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Pertahanan tidak boleh berjilbab. Tentu doktrin tentara yang kini berlaku di kampus tentara itu telah membawa konsepsi yang menyamakan Islam dengan Arab.

Pada saat sekian tahun terakhir ini budaya-budaya lokal dihidupkan kembali, lalu Islam diposisikan sebagai paham transnasional yang membawa radikalisme, patut diingat bahwa tanpa Islam, banyak suku-suku di Indonesia akan kesulitan menerima konsep bangsa Indonesia sebagai sebuah narasi yang melampaui sukuisme. Saat Soekarno menulis “Indonesia Menggugat” di depan pengadilan Hindia- Belanda di Bandung, Soekarno menyadari bahwa Islam adalah Ibu dari bangsa Indonesia yang telah  memungkinkan identitas sebuah bangsa baru melampaui tribalisme.

Sementara itu Muhammad Rasulullah sendiri bukan orang Arab asli. Muhammad bin Abdullah adalah blasteran, musta’ribah, yaitu orang yang diarabkan. Nenek moyangnya Ismail bukan orang Arab, tapi orang dari lembah Mesopotamia yang mengawini perempuan Arab asli dari suku Jurhum. Perawakan Muhammad berbeda dengan orang Arab asli. Semua Nabi memiliki asal-usul yang sama karena membawa ajaran yang sama dalam bahasa yang serumpun. Studi asal usul bahasa menunjukkan bahwa semua bahasa bisa dikelompokkan menjadi beberapa rumpun bahasa. Semua rumpun bahasa itu berasal dari Adam sebagai manusia berbahasa yang pertama.

Secara biologis, boleh dikatakan bahwa manusia modern dilahirkan oleh perkawinan silang antar berbagai suku bangsa. Asal usul kita bukan pilihan kita. Bahkan bukan pilihan ibu dan bapak kita. Mengatakan kita lebih unggul dari orang lain semata-mata karena faktor asal usul kita bukan sikap yang terpuji. Ini berbeda dengan memilih keyakinan yang kita yakini sebagai cara terbaik untuk mengekspresikan diri kita sebagai mahkluq yang berTuhan. Keyakinan atau agama itu mestinya pilihan bebas, tidak dipaksakan. Sayang sekali jika seseorang mengatakan memeluk agama tertentu tapi tidak ikhlas menerimanya sebagai cara terbaik untuk hidup bersama dalam lingkungan yang majemuk.

Saat ini banyak orang yang mengaku muslim tapi enggan mengikuti jejak Muhammad Rasulullah saw. Banyak juga yang mengaku sebagai kristiani tapi enggan mengikuti jejak Yesus Isa Almasih. Mungkin mereka ini masih menyangka bahwa Muhammad Rasulullah itu orang Arab, atau Yesus orang Yahudi. Padahal baik Muhammad maupun Yesus sudah berhasil membebaskan diri dari asal usul primordialnya.

Kita tidak pernah memilih ibu biologis kita. Juga ayah biologis kita. Namun begitu ibu kita mengajari kita berbicara dalam bahasanya, kita tidak pernah bernegosiasi untuk bersepakat bahwa buku itu disebut buku, bukan book. Bahwa meja itu tidak disebut table. Kita menerima Ibu sebagai sebuah super being. Namun jika beberapa tahun kemudian selama bertahun-tahun kita mengatakan bahwa Tuhan kita bukan orang Arab sehingga kita tidak perlu berdoa dengan bahasa Arab, maka ini hampir pasti tidak pernah  diajarkan oleh ibu kita. Tapi oleh sekolah kita sebagai proyek sekukerisasi besar-besaran selama paling tidak 50 tahun terakhir.

Mungkin karena sikap islamophobia sebagai wujud semangat anti-globalisasi, sekarang banyak narasi lokalisasi yang berkembang yang membenturkan Islam dengan Pancasila, seolah gagasan Pancasila itu lepas dari pengaruh Islam. Seperti komunisme yang kini makin tampil sebagai anti tesis kapitalisme tidak mungkin lepas dari Islam -Islam sebagai kompleks gagasan mendahului kapitalisme dan komunisme paling tidak seribu tahun-, maka kita bisa keliru jika menyangka bahwa Nabi Sunda Wiwitan dan Jawa Kapitayan mendahului Nuh apalagi Adam. Lagi pula siapapun ibu kita apakah Jawa, Sunda, atau Arab, itu bukan prestasi siapapun, dan tidak boleh menjadi kutukan yang kita ratapi ataupun warisan yang terlalu dibanggakan.

Prestasi kita adalah apa yang kita pilih dengan penuh tanggungjawab untuk kita kerjakan dalam hidup. Bagian mereka yang telah mereka usahakan, bagian kita yang kita kerjakan. Yang kita rayakan hari ini adalah apa yang diajarkan oleh ibu kita. Pada saat di banyak negeri sedang dilanda gejala fatherlessness, patut kita ingat bahwa ibu adalah sekolah utama dan pertama kita.

 

* Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply