Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
OpiniTokoh

In Memoriam Kiai Nas, Ulama Tawaduk yang Hidupnya untuk Memperjuangkan Agama

×

In Memoriam Kiai Nas, Ulama Tawaduk yang Hidupnya untuk Memperjuangkan Agama

Share this article

 

Foto Haidir Fitra Saiagian dengan Alm. K.H. Nasruddin Razak (kolkesi pribadi penulis).

KHITTAH.co- Pada hari ini kita kembali kehilangan sosok ulama yang sangat tawaduk, Drs. K.H. Nasruddin Razak, yang masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan.

Almarhum meninggal dunia dalam usia 85 tahun di rumahnya, Kawasan Sudiang, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar. Tidak terdengar beliau mengalami sakit berat, kecuali memang karena usia yang cukup uzur.

Pertengahan bulan Juli lalu, penulis masih sempat berkomunikasi dengan almarhum lewat sambungan telepon. Saya sengaja menelepon beliau, karena mendapat berita bahwa rumahnya kena musibah kebakaran.

Kepada adik saya, kuminta agar datang menemui beliau mewakili kami sekeluarga untuk menyampaikan rasa prihatin atas musibah kebakaran tersebut.

Saat berbicara melalui sambungan telepon tersebut, terasa kegembiraan almarhum karena dapat berkomunikasi dengan saya. Walaupun usianya sudah uzur, tetapi masih memperlihatkan semangat hidup.

Beliau masih tabah menerima cobaan yang dihadapi. Katanya, apa yang dia alami ini adalah kehendak Allah Swt. Beliau meyakini, atas musibah yang dialaminya, tentu ada hikmah yang besar di dalamnya.

Bagi saya, almarhum Pak Kiai Nas, begitu sapaan akrabnya, adalah guru sekaligus sebagai orang tua. Yang membina, mendidik, dan membimbing agama. Juga dalam berorganisasi dalam lingkup Persyarikatan Muhammadiyah, bersama dengan almarhum K. H. Djamaluddin Amien.

Tahun 1990, adalah awal bagi saya berkenalan dengan almarhum, sesaat setelah tiba di Makassar, merantau seorang diri dari Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Tujuan saya memang ke Kantor Muhammadiyah Sulawesi Selatan, atas rekomendasi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sipirok.

Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Sejak itulah saya akrab dengan almarhum.

Dalam periode tahun 1990-2000, meskipun jabatannya sebagai wakil ketua, tetapi tingkat keaktifannya berorganisasi sangat baik. Rapat rutin Muhammadiyah diadakan sekali dalam seminggu. Amat jarang sekali atau bahkan boleh dikatakan beliau tidak pernah absen dalam rapat.

Masuk kantor pun sangat rajin. Ada atau tidak kegiatan, senantiasa berusaha masuk kantor, walaupun beberapa menit saja. Begitulah Kiai Nas.

Ketika itu, beliau masih dosen Universitas Hasanuddin. Jaraknya dari kantor PWM Sulsel sekitar 10 km. Sepulang dari kampus, dia selalu sempatkan singgah di kantor sebelum pulang ke rumahnya di Perumahan Dosen Unhas Baraya.

Jika tidak sempat siang atau sore, bahkan malam hari pun beliau datang. Hanya untuk memeriksa, apakah ada perkara organisasi yang mendesak untuk diselesaikan.

Dalam Musyawarah Wilayah Muhammadiyah tahun 2000 di Kabupaten Takalar, Pak Kiai Nas terpilih sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan periode 2000-2005, menggantikan KH. Djamaluddin Amien.

Saya ingat waktu itu, almarhum bukanlah peraih suara terbanyak. Bahkan almarhum berada pada urutan keempat atau kelima. Justru ayahanda dr. H. Subari Damopolii (saat ini bermukim di Provinsi Sulawesi Utara) yang menjadi ketua formatur, sebagai pemilik suara paling atas.

Begitulah tradisi demokrasi dalam Muhammadiyah. Tidak ada keharusan menetapkan peraih suara terbanyak yang jadi ketua. Semua diserahkan kepada forum rapat, musyawarah, dan mufakat.

Bahkan, pernah dalam beberapa kasus di Muhammadiyah, orang yang tidak masuk dalam formatur, ditetapkan menjadi ketua. Sebab dalam mengurus Muhammadiyah, sangat berat. Hanya kepada orang-orang yang tawaduk, yang mampu dengan sukses mengemban amanah, memegang pucuk pimpinan organisasi.

Dalam periode ini 2000-2005 inilah, penulis lebih banyak berinteraksi dengan Pak Kiai Nas. Ketika kantor Muhammadiyah sudah pindah dari Jalan Gunung Lompobattang ke Jalan Perintis Kemerdekaan, persis di depan Kampus Universitas Hasanuddin.

Di sini, keaktifan almarhum berorganisasi menjadi lebih sangat tinggi. Apalagi rumahnya juga sudah pindah ke Sudiang. Jadi sebelum masuk atau sepulang dari kampus, beliau singgah dulu ke kantor.

Selama lima tahun menjadi ketua Muhammadiyah, loyalitas dan dedikasi almarhum dalam memperjuangkan Islam melalui Persyarikatan Muhammadiyah, sangat teruji. Boleh dikatakan bahwa beliau hidup hanya untuk mengurus umat.

Beliau mengelilingi Provinsi Sulawesi Selatan, melakukan perjalanan dalam rangka membina dan mencerahkan umat. Hampir setiap saat pergi ke daerah, penulis ikut mendampingi beliau. Mulai dari Soroako Luwu Utara, hingga Bulukumba dan bahkan sampai ke Mamuju, yang saat itu masih bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan.

Dalam perjalanan singgah di masjid atau kantor Muhammadiyah sekedar memberi tausiah, menyemangati semangat beragama kepada umat.

Selain mengurus organisasi Muhammadiyah, almarhum juga adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan. Di MUI, beliau juga aktif bersama dengan almarhum KH. Sanusi Baco.

Selain itu, sebagai mubalig, almarhum juga selalu mengisi pengajian dari masjid ke masjid di Kota Makassar. Satu kelebihan almarhum adalah selalu menerima di masjid mana saja dia ditugaskan sebagai khatib. Apakah masjid besar atau masjid kecil. Apakah di pusat kota maupun di pinggiran kali, semua diterima dengan lapang hati.

Suatu ketika awal tahun 1990-an, Panitia Hari-hari Besar Islam Kotamadya Ujung Pandang meminta beliau untuk menjadi khatib salat Idul Adha di lapangan Karebosi. Lapangan ini adalah pusat kota Makassar.

Sebagai ikon utama Kota Daeng, puluhan ribu umat Islam selalu melaksanakan salat Iduladha dan Idulfitri di sini. Setiap ulama atau mubalig, pasti senang jika diundang untuk khutbah di sini.

Tetapi berbeda dengan Pak Kiyai Nas. Beliau menolak dengan sangat halus. Beliau lebih memilih pergi mengisi khutbah di pedalaman Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Tepatnya di Desa Balebo Kecamatan Sabbang.

Di situ, ada pesantren Muhammadiyah yang baru dibangun. Untuk bisa sampai ke sana, belum bisa langsung naik mobil. Sepotong jalan mesti masih jalan kaki. Tetapi Pak Kiai Nas tetap membulatkan tekad ke sana, karena pengurus pesantren sudah lebih dahulu mengundangnya. Tidak mungkin baginya membatalkan jamaah yang kecil untuk pergi ke jamaah yang lebih besar, pun bergengsi.

Wollongong, 6 Agustus 2021

Ditulis oleh:
Haidir Fitra Siagian Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Australia

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply