Indonesia dan Nasionalisme Kewargaan
Oleh : Muh. Asratillah Senge
Sejak momentum sosial-politik di tahun 1998 meledak, yang kemudian kita namai dengan reformasi, maka kemudian lahirlah dua perihal tentang masa depan Indonesia, perihal yang pertama adalah kecemasan dan perihal kedua adalah harapan. Kita cemas karena kita sedang mempertaruhkan masa depan, dan tentang asal-usul kecemasan akan masa depan ini Jean Paul Sartre pernah berucap dalam bukunya yang berjudul Being and Nothingness (1943) “ saya menantikan diri saya di masa depan, di sana saya akan membuat janji dengan diri saya sendiri pada ujung lain dari jam itu, hari itu atau bulan itu. Penderitaan adalah rasa takut kalau-kalau saya tidak akan menemukan diri saya pada saat janji itu sudah tiba pada waktunya, atau rasa takut kalau-kalau saya bahkan tidak berharap ada di sana pada waktu itu…… Saya adalah diri saya yang akan ada, dengan cara tidak menjadi diri saya yang akan ada”. Jikalau kata “Saya” dalam ucapan Sartre tersebut penulis subtitusi dengan kata “Indonesia” maka kalimatnya akan menjadi “ Indonesia menantikan dirinya di masa depan, di sana Indonesia akan membuat janji dengan dirinya sendiri pada ujung lain dari jam itu, hari itu atau bulan itu. Penderitaan adalah rasa takut kalau-kalau Indonesia tidak akan menemukan dirinya pada saat janji itu sudah tiba pada waktunya, atau rasa takut kalau-kalau Indonesia bahkan tidak berharap ada di sana pada waktu itu…… Indonesia adalah dirinya yang akan ada, dengan cara tidak menjadi dirinya yang akan ada”.
Tapi kecemasan tersebut merupakan hal yang sangat beralasan, kenapa demikian ? saat momentum reformasi 1998 simbiosis antara nasionalisme dan demokrasi menjadi retak. “Nasionalisme” menjadi slogan para pembela status-quo saat itu dan atas kepentingan nasional rezim orde baru memangkas, menculik dan “menagamankan” segala pihak yang dianggap memprovokasi kondisi chaos sedangkan “demokrasi” menjadi senjata bagi kelompok pro reformasi saat itu, kelompok pro status-quo mengabaikan signifikansi “demokrasi” dalam “nasionalisme, kelompok pro reformasi mengabaikan signifikansi “nasionalisme” dalam “demokrasi” . Padahal Nasion dan Demokrasi bisa tumbuh kuat dan sehat jika keduanya saling mengandaikan, mengindahkan dan melengkapi, itu dikarenakan “nasion” dan “demokrasi” berbagi bersama akan prinsip-prinisip utama yaitu “kemerdekaan, keadilan, kesetaraan, persatuan, keberagaman, solidaritas, rasionalitas politik, supremasi hukum dan pertumpuan pada konstitusi”. Mochtar Pabottingi dalam Lima Palang Demokrasi (2000) menjelaskan bahwa “Nasion, kolektivitas politik terbesar, memiliki bangunan afektif historis terkuat bagi tegaknya demokrasi. Sebaliknya, dengan landasan objektif rasionalnya dalam menata pelbagai masalah keadilan dan kemerdekaan, demokrasi memperkuat serat-serat dan akar tunjang nasion”. Dan menurut saya inilah janji Indonesia dengan dirinya di ujung lain lorong sejarah, dengan meminjam gagasan Ir. Soekarno yaitu kesatuan organik antara prinsip sosio-nasionalisme dan prinsip sosio-demokrasi yang dilandasi oleh prinsip Ketuhanan yang berkebudayaan. Kesatuan organik antara nasionalisme yang terbuka dan menerima “nafas” kemanusiaan universal, demokrasi yang tidak hanya mengurusi “keberesan politik” tetapi juga “keberesan perut” dan dilandasi oleh Kebertuhanan yang menerangi serta membela eksistensi kemanusiaan. Dalam dialektia antara nasionalisme dan demokrasi inilah akan lahir konsep “Nasionalisme Kewargaan” atau “Nasionalisme civic” yang idealnya merupakan menjadi wajah Indonesia Kewargaan.
Dalam perdebatan yang sifatnya teoritis, seringkali dilakukan dikotomi antara Nasinalisme etnik dan Nasionalisme civic atau Nasionalisme Kewargaan. Nasionalisme etnik adalah nasionalisme yang didasari oleh asal-usul primordial, berorientasi sepenuhnya pada masa lalu serta minim partisipasi politik di dalamnya sedangkan Nasionalisme Kewargaan adalah Nasionalisme yang tidak didasari oleh asal-usul primordial, masa lalu penting tapi sebagai bahan untuk menatap tajam masa depan serta bertumpu pada partisipasi politik yang optimal. Walaupun ada yang menyangsikan kefektifan dikotomi civic-etnik ini, semisal Bernard Yack dalam The Myth of The Nationalism (1999) yang meragukan sepenuhnya meragukan eksistensi Nasionalisme-civic karena sifat keanggotaanya yang tidak benar-benar bebas memilih, begitu pula dengan Kai Nielsen dalam Misunderstanding Nationalism (1999) mengatakan bahwa nasionalisme tidak sepenuhnya etnik maupun sepenuhnya civic tapi bersifat kultural. Tapi menurut J. Sutanto dalam Bangkitnya Nasionalisme Kewargaan (2014) menuliskan “ Konsepsi ke-Indonesiaan justru menemukan penjelasan terbaik dalam kontras konsepsi nasionalisme civic yang vis-a-vis nasionalisme etnik itu. Nasionalisme etnik cenderung kedap, ekslusif, dan bergantung pada kesamaan bahasa , agama, adat Istiadat, suku bangsa dan lain-lain, sementara nasionalisme civic cenderung terbuka, inklusif dan bersandar pada arti penting persamaan hak warga negara di depan hukum serta nilai-nilai kebajikan bersama”.
Tapi yang perlu diingat agar gagasan Nasionalisme Kewargaan dapat menubuh dalam realitas sejarah yang konkrit dalam ke-ber-Indonesia-an kita, Nasionalisme Kewargaan mensyaratkan kesetaraan di antara warga negara, tapi justru disitulah lahir paradoks, yaitu paradoks yang lahir dari konsep “ke-warga negara-an”. Konsep kewarganegaraan secara simultan memuat “partikularitas” dan “universalitas” di dalam dirinya. Sebagai sebuah partikularitas kewarganegraan selalu mengasumsikan kehadiran oknum yang asing atau liyan (the others) yaitu mereka yang tidak dianggap sebagai warga negara, orang atau pihak yang menyandang status “legal” sebagai warga negara secara hukum akan terjamin hak-haknya yang asasi. Tapi sebagai sebuah universalitas , kewarganegaraan merupakan simpul perjuangan panjang di masa lampau untuk menentang segala bentuk tatanan feodal dan fragmentasi kehidupan kolektif atas dasar hak-hak komuniter. Kontestasi antara partikularitas dan universalitas kewarganegaraan inilah yang sering menjadi sasaran empuk kepentingan politik jangka pendek, tapi justru di sinilah titik yang menandakan bahwa kewarganegaraan, kewargaan, Nasionalisme dan Indonesia adalah hal yang masih berproses dan terus berproses. Jikalau Nasionalisme civic yang adalah simbiosis kreatif antara nasionalisme dan demokrasi, dimana berlangsung dialektika progressif antara sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi merupakan “janji dengan dirinya sendiri” di masa depan, maka paradoks dalam kewarganegaraan lah yang akan membuat “Indonesia adalah dirinya yang akan ada, dengan cara tidak menjadi dirinya yang akan ada”.