Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Intelektual Kolektif (Bag.2)

×

Intelektual Kolektif (Bag.2)

Share this article

Oleh :Saifuddin Al-Mughny

Studi intelektual


Bicara  intelektual sering membicarakan istilah intelegensia. Istilah intelegensia pertama kali berkembang di  dataran Eropa Timur abad 19 setelah Polandia terpisah dari Prusia (Jerman sesudah tahun 1871), di Rusia dan Austria (di Austria–Hongaria sesudah tahun 1867). Intelegensia sejak awal sebuah strata sosial  masa kekuasaan Peter The Great di Polandia dan Rusia lalu menemukan bentuknya tahun 1960–an  saat kepemimpinan Tsar Rusia  mengirim pelajar (Kaum Muskovi) keBarat (Eropa Barat) untuk menguasai dasar-dasar kebudayaan barat (teknik dan sains).

Hal serupa terjadi di Polandia. Strata intelegensia Polandia sebagai perumus dan artikulator identitas kolektif beriring dengan tugas–tugas  membagun bangsa Polandia dan menghapus kekaisaran untuk membawa bangsa menuju ke masa depan lebih sejahterah. Seperti  di Rusia, strata intelegensia di Polandia membentuk sebuah stratum yang berdiri sendiri dengan mengandaikan adanya sebuah identitas kolektif dari krateristik psikologis, perilaku, gaya hidup sistem nilai,dan panggilan historis bersama.Istilah intelegensia mempunyai nuansa berbeda di Jerman—dalam  bahasa jerman dikenal istilah intelligenz.

Istilah ini dalam formulasi Karl Mannheim adalah sebagai berikut:“di dalam setiap masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang memiliki tugas khusus untuk menafsirkan dunia bagi masyarakat tersebut, kita menyebut kelompok–kelompok ini para intelegensia.Tidak hanya membawa sebuah bangsa menuju kemasa depan yang sejahterah, istilah intelegensia dijerman bermakna lebih luas lagi.Strata ini bisa mengklaim untuk menginterpretasikan dunia danmemonopoli kebenaran serta memimpin dalam perihal moral,pendidikan dan penafsiran akan dunia.”

Sementara inteligensia mempunyai sejarah dan genealogi sendiri demikian juga dengan istilah intelektual sebagai kata benda yang menunjuk pada orang yang secara tipikal memiliki pendidikan dan dengan kemampuan intelektualnya melibatkan diri dalam kerja kebudayaan yang dianggap penting oleh orang tersebut. Istilah ini digunakan di inggris  awal abad 19 dan sering dimaknai peyoratif.

Istilah intelektual, sebelum dipakai secara luas di Prancis diperkenalkan pertama kali oleh Georges Clemenceau  tahun 1898 dengan istilah ’les intellectuels.’ Serangan Benda hasil karyanya la trahisondes Clers—penghianatan kaum cendikiawan—tahun1927  memuat celaan benda terhadap intelektual yang beraktifitas untuk mencapai tujuan–tujuan praktis.  
Berdasarkan paparan diatas, setidaknya dapat ditarik perbedaan antara intelektual dan inteligensia. Inteligensia merupakan strata sosial yang mempunyai respon kolektif dari identitas kolektif mereka.

Strata ini mempunyai ingatan kolektif bersama sedang intelektual fungsi sosialnya dan respon tersebut tidak menyuarakan tradisi dan kepentingan dari kelas tertentu. Perbincangan tentang intelektual juga tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan tentang kepentingan dan perang intelektual dalam masyarakat. Pertanyaan ini membela jawaban dalam dua kubu.

1. Kubu pertama berpijak pada pendekatan Julien Benda terhadap pertanyaan mengapa kaum intelektual yang seharusnya menyibukan diri dengan penelitian yang minim kepentingan mau terlibat dengan urusan politik negara terutama dengan pemerintah yang merupakan representasi status–quo dan mengapa pemerintah atau institusi di luar akademis memerlukan keahlian para intelektual, adalah dengan mengatakan bahwa terhadap antinomi antara kekuasaan dan kebenaran, dimana mencari kebenaran adalah pekerjaan kaum intelektual. Jadi, menurut pandangan Benda, para intelektual yang bekerja di pemerintah atau perusahan bisnis dipandang telah berselingkuh dari kebenaran karena mereka ingin mendapatkan kekuasaan,popularitas dan uang.

  1. Kubu kedua bersendi pada pemikiran Antonio Gramsci kerap disebut oleh para penganut perspektif Marx bahwasemua orang adalah intelektual namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual dalam masyarakat. Dalam kerangka ini,kelompok intelektual adalah salah satu dari kelas sosial yang ada: mereka menggunakan pengetahuannya untuk mempromosikan kepentingan dan kekuasanaan kelas intelektual. Di sini antinomi normatif antara pengetahuan dan kekuasaan telah ditinggalkan diganti dengan pengetahuan sebagai bentuk kekuasaan yang dimiliki kaum intelektual.

Dari argumen kelas di atas membuka perdebatan mengenai apa yang membuat pengetahuan berubah menjadi kekuasaan.Dalam hubungan ini, setidaknya ada tiga mekanisme penting yang terlibat dalam proses pengalihan pengetahuan menjadi kekuasaan. Pertama adalah mekanisme penutupan (closure): mereka memiliki pengetahuan memperoleh kekuasaan dengan membatasi akses kepengetahuan yang dimiliki.

Monopoli pengetahuan memberikan kekuasaan bagi pemilik pengetahuan. Tetapihanya membatasi akses kepengetahuan saja tidak cukup untuk mengubah pengetahuan menjadi kekuasaan. Kedua; mekanisme keterbukaan sebagai kelompok pemilik pengetahuan bisa mengunakan pengetahuannya sebagai kekuasaan jika mereka mampu menawarkan pengetahuan yang dimiliki sebagai berguna,relevan dan dapat digunakan oleh orang lain,artinya jika publik dapat merasakan manfaat dari kebenaran kaum intelektual.

Jika hanya mekanisme penutupan yang dipakai maka yang terbentuk adalah menara gading kelompok intelektual—Intelektual  di menara gading tidak berperan banyak dalam kehidupan sehari-hari, tidak dicari untuk di minta pendapat dan nasehatkarena mereka tidak dapat secara efektif mengunakan pengetahuannya sebagai kekuasaan.

  1. Pengetahuan dapat menjadi kekuasaan jika ada keseimbangan antara dua mekanisme yang ada—penutupan dan keterbukaan.Mekanisme penutupan diseimbangkan oleh adanya keterbukaan dalam hubungan sosial dan diskursus sehingga pengetahuan milik para pakar di pakai secara nyata oleh konsumennya. Karena itu kekuasaan intelektual tergantung pada kemampuannyamenyeimbangkan antara merepresentasikan dirinya sebagai pengamat yang tak berkepentingan dan sekaligus berguna dan relevan.Juga bergantung dari keseimbangan antara hubungan sosial yang terbuka dan tertutup.

Keseimbangan ini terlihat bagi mereka yang menempatkan diri sebagai pengamat atau komentator. Seorang pengamat memerlukan dua keahlian pada satu sisi pegamat harus mampu mempengaruhi opini agar pendapatnya  didengar berasal dari dirinya bukan  dari suatu intitusi yang berkuasa. Ketiga, memilih suatu intitusi luminal dimana batas antara menara gading dengan penguasa fleksibel dan mudah dimanipulasi. Diposisi inilah seorang intelektual akan memiliki kekuasaan terkuat baik dilihat dari sisi professional maupun politik di intitusi yang bersifat luminal ini seorang intelektual dapat menurunkan batas antara akademis dan pemerintah sehingga mampu mempengaruhi kebijakan yang di ambil pemerintah,tapi sudah itu dia dapat mendirikan batas antara ilmiah dan politik salin mengklaim bahwa pendapat yang diberikan adalah pendapat ilmiah yang murni berasal dari pengamat yang tak memiliki kepentingan selain kepentingan ilmiah.

Baca juga Intelektual Kolektif (Bag.1): https://khittah.co/intelektual-kolektif-bag-1/5076/

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply