KHITTAH.CO – IPM – yang bagi saya – sebagai kampus, selama kurang lebih 5 atau 6 tahun menghabiskan lebih banyak waktu di sekretariat IPM/IRM ⸻ kompleks Masjid Raya Muhammadiyah Banteang. Bahkan selama kurang lebih 5 – 6 tahun itu saya hanya ada di rumah orang tua jika sedang mau mandi, mau makan, mau berangkat ke sekolah dan sepulang dari sekolah. Selebihnya menghabiskan waktu di sekretariat IRM, antara forum perkaderan yang satu ke forum perkaderan yang lain dan beberapa kegiatan IRM yang cukup massif dilakukan pada saat itu.
(Baca juga: IPM Kampusku, IPMawan Titelku)
Ketika saya aktif di IRM, Alhamdulillah satu kesyukuran, mama saya pada saat itu terkesan mengizinkan untuk tidak bekerja lagi sebagai buruh bengkel, kecuali pada saat waktu libur sekolah (istilahnya libur panjang) saya ikut jadi buruh bangunan. Padahal jika dipandang secara pragmatis, idealnya saya harus fokus kerja untuk kebutuhan makan sehari -hari, karena saya hidup tanpa seorang bapak yang bisa memberikan nafkah yang layak.
Dan paling terkesan yang menunjukkan bahwa hidup saya sangat kekurangan pada saat itu, ketika akan mengikuti perkaderan Taruna Melati 2 (TM.2) saya diajak dan disuruh mengikutinya oleh Pimpinan IRM Bantaeng. Dalam rumah yang hanya diterangi lampu pelita (berbahan bakar minyak tanah) pada malam itu, saya menyampaikan bahwa berminat ikut tetapi saya tidak sanggup memenuhi persyaratannya berupa infaq berbentuk uang, termasuk beras sebanyak 2 (dua) liter yang dipersyaratkan bagi setiap calon peserta. Tetapi oleh PD. IRM saya diizinkan untuk ikut dengan catatan tak usah ceritakan ke peserta lain dan pimpinan IRM yang lain. Ada spesialisasi dan pemberlakuan khusus untuk saya.
Di sekretariat IRM tidak pernah ada waktu yang terlewatkan selama masih terjaga (belum tidur) tanpa mempercakapkan, mendialogkan berbagai diskursus keilmuan. Bahkan menghapal istilah – istilah ilmiah pun dilakukan bersama. Itu pula berlangsung kurang lebih 5 -6 tahun. Di IRM ini pula minat membaca saya untuk tema –tema yang jauh melampaui dari pelajaran di bangku SMK (sekolah kejuruan) semakin meningkat.
Di IRM saya merasakan bahwa saya memang lahir dari rahim biologis serta kondisi sosial dan psikologis dari orang tua yang mungkin biasa –biasa saja. Tetapi setelah melakukan hijrah, ngampus di IRM saya seakan terlahir kembali dari “Rahim” psikologis, ideologis dan teologis yang menjadi starting point perjalan hidup saya yang penuh optimisme bahkan berhadapan dengan soerang sarjanapun dalam hal keilmuan saya tidak pernah merasa pesimis. Melainkan sebaliknya penuh rasa percaya diri.
Saya masih teringat dengan satu kejadian, di mana ada seorang guru di sekolah Muhammadiyah ⸻ bukan kader ⸻ tetapi dengan jabatan dan titelnya (strata 2 / S2 /Master) seakan mau mengambil alih materi yang sering saya bawakan dan saya sudah dijadwalkan oleh panitia perkaderan Taruna Melati (TM.1) pada saat itu. Dan bahkan materi tersebut seakan sudah terbangun stigma bahwa jika materi itu, maka saya yang wajib membawakannya. Materi yang dimaksud adalah ESQ (kecerdasan emosi dan spiritual).
Informasi dari panitia bahwa guru tersebut (sudah ASN juga) ngotot mau membawakan materi ESQ karena merasa dirinya lebih mampu apalagi setelah dirinya mengetahui saya hanya seorang pelajar SMK pada saat itu. Mengetahui hal itu saya tetap datang, sambil menyiapkan “perang urat saraf” dengan membawa 5 buah buku yang sering saya jadikan referensi untuk materi tersebut. Setiba di lokasi perkaderan, guru yang bersangkutan sudah berada dalam forum menyiapkan diri untuk membawakan materi yang dijadwalkan untuk saya. Seolah –olah saya tidak mengetahui niatnya yang ngotot menggantikan saya, saya mendekatinya sambil menyimpan buku tersebut di dekatnya. Akhirnya dia bertanya tentang buku tersebut dan saya menjelaskan gambaran isinya dan termasuk materi ESQ. Kurang lebih 10 menit diskusi pada akhirnya guru tersebut langsung mempersilahkan agar saya saja yang membawakan materinya karena menurutnya saya lebih paham.
Selama di IRM/IPM dan setiap kali membawakan materi, saya seringkali menyampaikan pesan kepada peserta perkaderan bahwa jika serius mengikuti perkaderan, memahami materi –materinya dan massif mengikuti follow up dan kegiatan lain IPM, maka bisa saja tingkat pendidikan masih kelas 3 (tiga) SMP atau SMA, tetapi Insya Allah pemikirannya sudah selevel minimal sarjana.
Mengapa demikian? Karena di IRM selain ada penguatan keilmuan dan amalan keagamaan berdasarkan pemahaman Muhammadiyah juga diajarkan berbagai disiplin ilmu. Di IRM pada saat saya masih siswa SMK, saya sudah diajarkan bahkan mengajarkan (menjadi pemateri) tentang ESQ, Analisis Sosial, Konsep Diri, Visi Misi Hidup. Konsep Kesadaran Kritis, Falsafah Pergerakan, Filsafat Perkaderan, Khittah Perjuangan selain materi –materi wajib lainnya tentang ke-Muhammadiyah-an, ke-IRM-an sampai pada persoalan pengelolaan jenazah.
Setelah kurang lebih satu tahun pasca dikader di tingkat 2 (Taruna Melati 2) saya diberi amanah sebagai Ketua Bidang Perkaderan Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah (PD. IRM) Bantaeng. Dan beberapa tahun berikutnya saya diamanahi sebagai Sekretaris Umum PD. IRM Bantaeng.
Di IRM pulalah saya menemukan spirit koleksi buku dan mulai berkomitmen koleksi buku sesuai dan pada akhirnya sampai tulisan ini saya tuliskan koleksi buku saya sudah berjumlah 923 yang sudah diberi label. Meskipun selain yang ini, sebelumnya ada kurang lebih 150 buah buku yang belum dilabeli yang dipinjam seseorang dan belum kembali sampai sekarang. Jadi sejatinya sudah ada kurang lebih 1073 buah koleksi buku saya sebagai buah spirit yang saya temukan di IRM.
Pada akhirnya saya sungguh mengakui bahwa meskipun tulisan reflektif ini tidak mampu menampung secara keseluruhan atas pergumulan dan pergulatan dinamika kehidupan saya di Ikatan Remaja Muhammadiyah sampai berubah kembali menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dengan ratusan forum perkaderan tempat mengajar dan belajar bagi saya, kurang lebih 5.000 orang yang pernah minimal mendengarkan materi – materi saya bagikan, maka sungguh IPM adalah KAMPUSKU dan IPMawan adalah TITELKU.
(Baca juga: IPM, Jadilah Motor Gerakan Ilmu)
Penulis: Agusliadi, Mantan Ketua Pemuda Muhamamdiyah Bantaeng, dan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bantaeng.