Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpini

“Islamisasi Sains” Zakir Naik yang Utopis

×

“Islamisasi Sains” Zakir Naik yang Utopis

Share this article

Oleh : Mahram Mubarak

KHITTAH.co – Dr. Zakir Naik, karib disebut Naik, adalah seorang pemikir Muslim kontemporer asal Mumbai, India yang sering muncul di media online, terutama youtube. Selain dalam bentuk video, gagasan-gagasan Naik juga banyak didokumentasikan menjadi buku, terutama buku yang berjudul The Qoran And Modern Science, Compatible and Incompatible.

Naik dikenal sebagai pendebat yang handal. Pemikirannya tidak hanya mencakup perbandingan agama, ia juga dikenal sebagai ahli dalam membincangkan kesesuaian antara sains dan kitab suci. Salah satu rekamannya di youtube yang paling banyak ditonton adalah ketika ia berdebat soal hubungan sains dan kitab suci bersama William Campbell, pemikir dari pihak Kristen.

Debat berlangsung sengit, Naik mendapat sorotan publik yang penuh apresiatif. Retorika yang dimainkan Naik begitu mempesona, argumen yang dilontarkan Naik sangat tajam, hampir-hampir seperti kita sedang menyaksikan pertandingan tinju. Islam dari sudut merah dan Kristen dari sudut biru. Bukannya argumen tentang apa peran sains dan agama untuk kemanusiaan, yang kita saksikan justru pukulan argumen dan tangkisan sentimen agama. Jadi, makna agama direduksi hanya pada soal menang kalah di atas panggung debat.

Hubungan antara sains dan agama telah lama menjadi polemik dalam tubuh Islam. Terdapat sederetan nama yang menjadi aktor rekonsiliasi antara sains dan agama. Aktor pertama adalah Maurice Bucaille, yang berupaya sebisa mungkin menemukan dasar normatif di dalam kitab suci atas temuan-temuan mutakhir sains.

Aktor kedua adalah Fazlur Rahman, yang justru kontra terhadap model Bucailisme. Ia menarasikan gagasannya bahwa yang menjadi tujuan utama adalah bukan kesesuaian temuan sains dan ayat-ayat suci. Tetapi yang utama adalah implikasi etis dari ilmu.

Ketiga, Seyyed Hossein Nasr yang mengampu pamor paling penting dalam persoalan ini. Dengan Islamic Science an Illustrated-nya, ia bertitik tolak pada era kejayaan Islam, sekitar abad ke-9 sampai ke-13. Paradigma sains Islam Nasr ingin mengupayakan term epistemologi holistik sehingga alam semesta dapat diamati secara menyeluruh terintegrasi. Hal ini menjadi penting, menurutnya, apalagi sebagai seorang Muslim, agar elemen ilahi tidak otomatis tertolak sebagai pengetahuan karena metode sains.

Sesungguhnya, upaya untuk mendialogkan antara sains dan agama adalah­, sebut saja langkah solutif, daripada berbagai krisis yang melanda dunia: manusia, lingkungan, sosial, dan budaya. Apa yang coba Naik lakukan justru melampaui latar belakang itu, yaitu merehabilitasi sains dengan mendialogkannya dengan Al-Qur’an sekaligus menutup diri terhadap narasi kitab suci yang lain. Jadi, Naik mengangkat superioritas Al-Qur’an dan menjadikan kitab suci lain sebagai yang inferior.

Bila diperhatikan, argumen Naik agaknya sesuai dengan model Bucailisme, yaitu tautologi ayat suci terhadap temuan sains. Model ini memang menarik dan langsung menyentuh klimaks dari pengharapan umat Muslim, yaitu membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran karena lebih dulu tahu sebelum sains menemukan.

Ziauddin Sardar justru mengkhawatirkan model Bucailisme ini dipegang oleh umat Muslim. Sebabnya, Al-Qur’an adalah kitab suci yang normatif tetap, sedangkan sains bertumpu pada relativitas teori. Bila dikemudian hari ditemukan teori yang lebih kokoh dari teori sebelumnya, maka teori itu secara otomatis runtuh. Jadi, bila suatu teori yang sebelumnya sesuai dengan ayat suci justru diruntuhkan oleh teori yang baru, maka akan terjadi bias pada ayat suci itu sendiri.

Ilmu pengetahuan hidup dalam dialektika, sedangkan agama eksis dalam romantika. Ilmu selalu punya intensi ke arah masa depan dengan berdasar pada konsistensi logis, sedangkan agama selalu mengarah ke belakang dengan mengacu pada keyakinan dan normativitas teks.

Bulan April ini, bertempat di auditorium Universitas Hasanuddin Makassar, Naik menyelenggarakan seminar dengan mengangkat tema “Islam dan Sains Modern”. Bagi sebagian orang, antusiasme peserta bukanlah apresiasi karena kebaruan gagasan Naik, melainkan karena figur Naik. Agaknya penulis tergoda untuk mengatakan bahwa gagasan Naik itu polemis sekaligus utopis.

(Baca Juga: Zakir Naik dan Bias Debat Agama)

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply