Oleh: Mukhaer Pakkanna*
Model gerakan Muhammadiyah itu bottom-up. Bergerak dari partisipasi anggota dan simpatisan di level bawah. Doktrinnya sederhana yakni, gerakan al-Ma’un dan al-Ashr. Gerakan ini menekankan aspek perbuatan nyata dan bermanfaat bagi masyarakat. Kajian filosofis dan konseptual boleh, tapi harus segera diimplementasikan dalam amal nyata, yang disebut amal usaha.
Para aktivis Muhammadiyah di tingkat akar rumput, misalnya di ranting atau cabang selalu terdoktrin untuk selalu berlomba-lomba demi kebaikan (fastabiqul khaerat). Maka, antara ranting dan cabang selalu ingin berlomba dan terobsesi membuat amal kebajikan. Tidak heran, jika Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) bertebaran di seantero negeri. Mulai dari sekolah (PAUD, TK, SD, SLTP, SLTA), Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, Klinik, Panti Asuhan/Jompo, Rumah Singgah, Koperasi, Retail, Dana Pensiun, Persero, Jaringan Tani/Nelayan, Jaringan Usaha, Lazis, Wakaf, Hibah, dan seterusnya.
Dan harap diingat, amal-amal usaha yang terbentuk itu, acapkali banyak tidak terdesain untuk menjadi besar. Yang penting bergerak mengikuti irama keikhlasan dan sikap keistiqamahan anggota dan pengurus. Bahkan, kerapkali pula, para pendiri suatu AUM kaget sendiri melihat berkembang pesatnya AUM yang mereka dirikan.
Para aktivis Muhammadiyah juga selalu diingatkan agar di mana pun mereka berada tidak lupa untuk mengembangkan misi dakwah persyarikatan. Namun demikian, amal usaha yang dikembangkan itu, bukan untuk kepentingan pribadi atau pengurus tapi untuk misi dakwah rahmatan lil ‘alamin.
Dalam mengepakkan sayap dakwah bil hal Muhammadiyah itu, mereka tidak sungkan merogoh kocek sendiri alias iuran rutin. Bahkan, energi waktu untuk keluarga terkuras untuk persyarikatan. Dukungan atau sumbangan dari pemerintah atau pihak lain sebagai komplementer, bukan yang utama.
Maka, aktif di Muhammadiyah itu sejatinya jangan berharap menjadi orang kaya raya, karena riski yang para aktivis Muhammadiyah terima selalu disumbangkan kembali untuk peningkatan jumlah dan kualitas gerakan. Teringat ucapan Kiyai AR Fachrudin: “jangan tergesa-gesa menjadi orang Muhammadiyah. Karena menjadi orang Muhammadiyah sangatlah berat”.
Modal sosial yang terbentuk seperti itu yang membangun fondasi dasar persyarikatan itu. Banyak orang yang mengira, kebesaran jumlah Amal Usaha yang dimiliki persyarikatan itu karena sokongan dan sumbangan dana dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Padahal PP Muhammadiyah hanya memberi sokongan moral, arah, orientasi, dan motivasi untuk melangkah sesuai koridor. Lebih dari itu, adanya aturan organisasi yang diputuskan bersama dan kepemimpinan kolektif-kolegial yang menjadi semen perekat pergerakan.
Tidak heran, jika setiap hasil usaha dari amal usaha Muhammadiyah (AUM), bukan dialokasikan terbesar ke pengurus semacam dividen, tapi dialokasikan untuk re-investasi untuk mengepakkan sayap baru amal-amal usaha. Hanya sebagian kecil untuk pengelola (manajemen) AUM dan persyarikatan sebagai dana operasional.
Para warga dan pengelola amal usaha selalu teringat ucapan Kiyai Ahmad Dahlan: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah“. Petuah Kiyai Dahlan kepada para muridnya saat mendirikan persyarikatan Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta itu, sangat membekas hingga detik ini. Kalimat ini sebagai pengingat bagi warga dan kader Muhammadiyah, agar dalam ber-Muhammadiyah mengutamakan rasa tulus dan ikhlas dalam berkhidmat tanpa mengharapkan imbalan tatkala menjadi bagian dari persyarikatan.
Pesan imperatif moral ini juga bermakna jangan memanfaatkan Muhammadiyah untuk keuntungan pribadi dan keluarga. Menjadikan Muhammadiyah sebagai tempat bekerja berorientasi hanya materi tanpa ada rasa berkhidmat dan menghidupkan dakwah Muhammadiyahlah, tentu sangat dilarang. Pesan ini sebagai etos gerakan bagi para warga dan aktivis persyarikatan agar tidak memanfaatkan aset-aset Muhammadiyah untuk kepentingan pribadinya. Persyararikatan adalah alat dakwah dan tempat berikhtiar untuk mencari keridhaan-Nya.
Selamat milad Muhammadiyah ke 109. Semoga selalu menggores zaman dengan tinta emasnya untuk Indonesia yang majemuk, berkeadilan, dan berkemajuan.
* Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta