Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpini

Jawaban Meta-Etika dalam Kasus Ahok-Buni Yani (Bagian 1)

×

Jawaban Meta-Etika dalam Kasus Ahok-Buni Yani (Bagian 1)

Share this article

images-5

Oleh : Dr. Yustin Paisal, ST, MT (Dg Isa)

Kasus Ahok – Buni Yani dapat dianalisis secara komprehensif melalui metode analisis fenomenologis dan mukhasyafah-irfani-falsafatis-Ilahiyah. Tulisan ini didahului dan didasarkan atas kedua metode analisis ini.

Pertama, analisis fenomenologis sudah saatnya dapat kita gunakan sebagaimana fakta apa adanya. Bahwa tidak ada interest atau kepentingan tertentu untuk menganalsis suatu peristiwa. Peristiwa disampaikan menurut fakta, baik tersurat, maupun yang tersirat.

Fakta tersurat sangatlah mudah apabila disertai dengan berbagai bukti-bukti fisik. Namun fakta tersirat adalah sangat sulit. Yang kedua ini memerlukan sejumlah pengetahuan khusus akan terjadinya suatu fenomena. Namun pada dasarnya juga ditopang oleh pengetahuan secara komprehensif.

Bahkan faktor moral mesti menjadi perhatian disamping faktor psikologis itu sendiri. Dan lebih dalam lagi faktor penjelasan spiritualitas-agama adalah patokan yang memberikan arah yang jelas sepanjang secara esensial menjelaskan secara fundamental faktor kauniyah dan faktor qauliyah, tanpa ada keraguan didalamnya.

Disini, oleh penulis yang lain mengpopulerkan istilah meta-etika yang mana menurut saya, mungkin penulis itu kayaknya belum yakin akan kebenaran dari falsafah metaetika itu sendiri sebagaimana terurai dalam koran fajar beberapa hari yang lalu. Padahal, Pancasila dan UUD 1945 tidak terlepas dari pandangan meta-etika itu sendiri yang mana beranjak dari ruh atas slogan perjuangan semesta “merdeka atau mati berkalang tanah daripada hidup dijajah”.

Fokus pada slogan yang sudah populer pada jaman revolusi kemerdekaan tersebut, jelas memiliki falsafah meta-etika. Rakyat Indonesia kala itu, karena berhadapan dengan kerasnya aura penjajahan sehingga pemikiran dan aktifitas rakyat Indonesia kala itu yang sejatinya dapat tersalurkan melalui karya nyata, maka yang terjadi kemudian adalah adanya suasana ketakutan dan keterkungkungan pemikiran dan aktifitas sosial budaya pendidikan politik ekonomi pokoknya dalam segala dimensi perikehidupan rakyat indonesia.

Akibatnya, seakan- akan terasa “ada tali goib” yang menyatukan batin dan hatinurani seluruh rakyat Indonesia: semua suku bangsa, semua agama, tua-muda, pria-wanita, dari Sabang sampai Merauke saling bahu-membahu untuk bergerak melawan bentuk-bentuk penindasan tersebut walaupun darah dan nyawa menjadi taruhannya! Fakta ini secara tersurat dan tersirat tidak dapat dipungkiri bahwa peran para tokoh agama dan nasionalis hingga bung Tomo sekalipun saat mengusir penjajah dari surabaya, arek-arek suroboyo itu meneriakkan takbir “Allahuakbar!!” yang menggema dan menggetarkan hati para pejuang kemerdekaan itu.

Tidak peduli dengan tajamnya peluru besi yang sewaktu-waktu membunuh raga-raga mereka dan tiada takut kehilangan harta dan dunia yang mereka miliki! Apakah ini bukan suatu metaetika yang menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah melawan segala bentuk kezoliman seperti perbudakan bangsa-bangsa yang pernah dilakukan oleh para penjajah, pendukung paham kolonialisme dengan kesadaran bahwa adanya keyakinan yang kuat dari semua enstitas pemeluk agama di nusantara bahwa Tuhan bersama dengan orang-orang yang berjuang melawan penindasan, perbudakan, dan segala bentuk perusakan kemanusian dan lingkungan?.

Kedua, metode analisis mukhasyafah-irfani-falsafati-Ilahiyah. Khusus metode ini, lebih cocok untuk dikatakan sebagai petunjuk Ilahiyah yang dialami oleh seseorang atau yang diberikan oleh seseorang untuk orang yang terdekat darinya. Ciri-ciri yang terungkap pada akhirnya merupakan suatu hal yang sulit terbuktikan sebelumnya dan ketika waktu berjalan menunjukkan adanya kecocokan akan fakta dibawah alam sadar dengan fakta di alam nyata.

Jadi ini sangat bersifat ekslusif. Namun, ini harus ditafakkuri dan ditadabburi secara mendalam pada seseorang yang dikaruniai seperti ini untuk menjaga lisan dan hatinya untuk tetap memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu dalam petunjuk dan tidak tersesat oleh paradigma yang menggelincirkan. Jadi ada kemiripan dengan metode fenomenologis dalam hal fakta tersirat, namun di sini efek fenomena fakta ayat Qauli sangat jelas dalam pemikirannya yang beleh jadi orang lain disekitarnya sangat bertentangan dengan apa yang “dilihatnya melalui mata batin”.

Ini boleh jadi bagian terkecil dari ilmu laduni dalam bahasa irfan. Dalam persfektif keagamaan inilah para Nabi dan para Wali Allah dalam segenap agama-agama samawi. Yang menjadi masalah adalah untuk konteks kekinian apakah masih relevan atau sudah tidak komprehensif lagi? Sebagai jawaban secara sederhana adalah, ini kembali kepada sejauh mana mereka meyakini bahwa ketika tubuh kehilangan ruh, maka tubuh itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Bahwa ketika rasa keimanan itu sudah tidak ada lagi, maka sudah dapat dipastikan kehidupan entitas manusia seperti ini akan kering akan arti perikehidupan yang suci, sejak niat-niat suci dan amal-amal suci! Kemudian, pada akhirnya terperangkap dalam “ketersesatan paradigma hawa nafsu”.

Oleh karena itu, semua yang dipikirkan dan diperbuat adalah untuk meyakini bahwa kebenaran yang dituju hanyalah pada yang memberi keterangan tentang kebenaran hakiki secara alam sadar atau dibawah alam sadar. Dan manusia mustahil dapat menemukan kebenaran hakiki, baik ayat-ayat kauni, apalagi ayat-ayat Qauli jika mereka tidak meyakininya dengan tulus dan sadar sebagai pintu menuju tercerahkannya Aqal dan hati mereka oleh ilhami dan petunjuk Ilahi.

Dalam persfektif kitab suci kaum muslimin dikatakan “Dan hanya orang-orang yang berjihad menuju keridaan Kami saja, niscaya Kami akan menuntunnya dalam jalan-jalan Kami (Q.S. Ankabut 69). Dari sini kita mesti berangkat agar keterbimbingan akan petunjuk Suci itu benar-benar terpancarkan dalam realitas niat yang tulus dan realitas perbuatan yang dicintai oleh siapa pencipta setiap diri. Sekedar memberi ingatan atas apa yang dibaca oleh seorang pilot Lion Air ketika pesawatnya harus mendarat di bengawan solo? Si pilot itu hanya yakin bahwa Tuhanlah yang akan menyelamatkannya. Setelah mendarat di sungai itu, sang pilot menangis tersedu-sedu akan pertolongan dari Tuhan yang menyelamatkannya!

Apakah ini bukan meta-etika bagaimana sikap kita kepada Tuhan bahkan dalam saat –saat mencekam seperti yang dialami oleh sang pilot itu? Boleh jadi ini adalah sebagaian dari fenomena meta-etika dan lebih pasti ini adalah sebagian mukasyafah-irfani-falsafati-Ilahiyah yang mengilhamkan pada seseorang bahwa pada saat seperti itu keyakinan yang kuat hanya Tuhanlah yang mampu menyelamatkannya!

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL