Oleh : Adam Malik*
Dalam sebuah wawancara Kompas TV dengan Ali Imron terpidana seumur hidup kasus bom Bali. Ali Imron banyak memberikan keterangan seputar bagaimana seseorang dapat terlibat aksi terorisme dengan berdalih membela agama. Alim Imron menuturkan bahwa salah satu landasan seseorang terlibat aksi terorisme adalah doktrin Jihad Fisabilillah. Konsepsi jihad yang multi tafsir, tetapi di kalangan pelaku teror konsepsi jihad adalah amunisi pertama dalam melakukan aksi terorisme seperti bom bunuh diri, meledakkan diri di tempat yang di anggap saran kemaksiatan. Sehingga doktrin jihad tersebut yang mengantarkan seseorang berlatih militer dan merakit bom.
Menurut Ali Imron terma radikal, ekstrimis dan fundamentalisme tidak jauh berbeda, semuanya saling terkait tetapi untuk sampai pada istilah teroris seseorang harus melakukan tindakan kekerasan yang merugikan orang. Untuk kasus di Indonesia, aksi teror lebih banyak dilakukan pemboman. Berbeda dengan di Timur Tengah yang memang terlibat langsung kontak senjata dengan militer. Jika ada yang mengatakan bahwa Indonesia tidak ada teroris dan teroris adalah konspirasi Amerika dan sekutunya atau istilah teroris di persepsikan dengan kebencian pada Islam. Maka, sebenarnya publik telah memberikan support psikologis pada pelaku teror dalam melakukan aksinya karena bagi teroris ini adalah legitimasi moral.
Bagi Ali Imron, baik pemerintah maupun masyarakat harus meradikalisasi gerakan-gerakan yang dapat memicu muncul dan berkembang biaknya gerakan terorisme di sekitar kita. Artinya masyarakat perlu di ajak untuk membedakan antara Islam, pahaman keislaman, dan radikalisasi keagamaan. Jika masyarakat memahami hal tersebut maka bukan hal yang sulit untuk mengantisipasi gerakan terorisme. Aktivitas pengajian keagamaan terselubung di masyarakat tanpa kita sadari kalau tidak dalam rangka merekrut tetapi, setidaknya memberikan pahaman pada masyarakat bahwa gerakan jihad dengan aksi kekerasan patut di apresiasi atau bahkan sampai mendoakan semoga para pelaku terorisme dapat bersanding dengan tujuh puluh bidadari perawan yang siap ditiduri.
Indonesia sebenarnya dengan adanya dua organisasi Islam terbesar NU dan Muhammadiyah setidaknya dapat melakukan filterisasi bagi munculnya gerakan teroris atau menjadi oase di tengah tingginya semangat masyarakat dalam belajar agama. Karena seorang teroris secara keagamaan memang ortodoks nah, fungsi organisasi Islam tersebut adalah memberikan pahaman keagamaan yang moderat dan rahmatan Lil’alamin. Bagi teroris senior mendoktrin sampai merekrut anggota bahwa baru tidak membutuhkan waktu lama hanya butuh dua jam bagi Ali Imron. Bisa jadi pelaku teror tidak selamanya memiliki latar belakang pernah belajar di pesantren tetapi pelaku teror bisa dari berbagai kalangan, akademisi, pelajar, mahasiswa dan masyarakarat luas pada umumnya. Pelaku teror walaupun berbeda afiliasi dengan gerakan Al-Qaida dan ISIS tetapi mereka telah membangun basic Jihad yang bisa di salah gunakan.
Ceramah di tempat ibadah yang enteng mengkafirkan, berteriak takbir sembari memanas-manasi jamaah adalah salah satu variabel yang dapat memicu munculnya gerakan terorisme. Kalau mereka belum berani melakukan teror tetapi rasa kebencian setidaknya sudah tertanam dalam pikiran mereka. Bagi para teroris istilah Jihad di konversi menjadi sebuah gerakan kekerasan yang merugikan banyak orang.
Tak dapat di pungkiri selain konsepsi keagamaan mengenai Jihad yang salah kaprah dan di latar belakangi kondisi sosio-kultur dan psikis pelaku menjadi sebab munculnya gerakan terorisnya. Pada aspek psikologis para teroris memendam rasa kekecewaaan pada penguasa yang tidak menegakkan syariat Islam secara Kaffah. Sehingga kekecewaan tersebut di reproduksi ulang hingga mendapatkan legitimasi pembenaran dengan doktrin Jihad dan terlibat pelatihan perakitan bom dan militer. Bagi seorang teroris, dirinya harus terlibat langsung menegakkan syariat Islam.
Para pelaku teroris juga tidak serta merta langsung menjadi pelaku teror. Faktor lingkungan juga berkontribusi besar munculnya sikap membenci dan melakukan tindakan teror. Bagaimana keluarga dan lingkungan andil dalam membentuk jati diri kepribadian seseorang sehingga atau tidak terlibat dalam gerakan terorisme. Pada Akhirnya potensi munculnya pelaku terorisme ada di sekeliling kita. jika merujut pesan Ali Imron maka pemerintah dan masyarakat harus terlibat langsung dalam menderadikalisasi gerakan-gerakan teror di tengah masyarakat. Belajar agama adalah kewajiban tetapi agama bukan legitimasi untuk membenci apa lagi berbuat kekerasan.
*Penulis adalah aktivis JIMM Sulsel