Oleh: Muhammad Chirzin*
Judul tulisan ini kutipan dari unggahan salah seorang kolega Guru Besar di grup WA PROFESOR PTKIN pada 25/11 19:38, dengan tambahan tanda tanya dari penulis. Tulisan yang dimaksud selengkapnya, termasuk cetak tebal dalam tulisan itu, adalah sebagai berikut.
KARENA KALAH SEMUA JADI SALAH
Prof. Nadirsyah Hosen, LLM, MA, PhD.
Monash University.
Generasi kalah, maka semuanya jadi salah.
Perkara mubah jadi haram. Masalah muamalah jadi aqidah.
Beda fiqh jadi dikafirkan. Ribut perkara siyasah, padahal ujungnya cuma jadi siasat.
Sudah miskin tradisi dan rendah literasi, tambah lagi mental pecundang dalam hal budaya, ekonomi dan politik.
Cadar yang menutup tubuhmu itu sebetulnya nggak seberapa. Yang parah itu kalau sampai menutupi dirimu dari pandangan dan perspektif yang berbeda seolah dirimu lebih baik dan lebih benar, dan selain dari dirimu dan kelompokmu itu keliru.
Jidat hitam itu sebetulnya nggak perlu dipersoalkan. Yang gawat itu ketika pikiran dan hatimu hitam gelap melihat perilaku keagamaan saudaramu yang berbeda dan kau tuding bid’ah-nggak nyunnah, atau kafir-sesat.
Celana cingkrangmu sebetulnya nggak masalah. Yang masalah itu kalau kau menganggap ukuran celana itu sebagai kriteria masuk surga atau neraka, padahal kesombongam dirimu itulah yang menutup pintu surga.
Alunan musik kau haramkan, padahal suara piring kosong dan isak tangis kelaparan tetanggamu tak kau hiraukan.
Khilafah masa lalu kau anggap solusi. Padahal generasi lalu yang lebih shalih dari dirimu saja banyak melanggar syariat demi kekuasaan, sementara kamu membedakan khalifah dengan khilafah saja nggak bisa.
Mereka yang tak menutup auratnya kau caci-maki, padahal Qur’an hanya memintamu untuk menundukkan pandangan, bukan mencaci mereka.
Ketika kau menundukkan pandangan, sesungguhnya bukan saja kau tak melihat aurat mereka yang terbuka, tetapi juga kau menghormati pilihan mereka dengan rendah hati.
Urusi pandanganmu, bukan malah melotot mengurusi tubuh mereka.
Bermain catur boleh saja kau haramkan karena khawatir melalaikanmu dari mengingatNya.
Tapi lebih parah lagi kalau kau mengingatNya dengan cara menuduh orang lain lalai dariNya.
Tiup lilin saat ulang tahun kau haramkan. Tapi yang lebih berat lagi jika engkau setiap saat meniup-niup kebencian dan menebar berita hoax untuk memaki-maki Pemimpinmu.
Suara takbirmu menggelegar. Entah kau sedang membesarkan namaNya, atau kau tengah meneriakkan semua perasaanmu sebagai generasi kalah dalam peradaban dunia saat ini?
***
Sebagai pembaca awam tentang dunia sastra dan wacananya, penulis menanggapi tulisan itu dengan singkat: Enak dibaca, tapi tak tahu nawaitunya…
Penulis berharap komentar tersebut mendapat respons dari teman-teman anggota grup WA PROFESOR PTKIN.
Supaya mendapat apresiasi dan tanggapan lebih banyak, tulisan Prof. Nadirsyah Hosen tersebut penulis share di beberapa grup WA, agar lebih banyak orang lagi yang mendapatkan manfaat dengan membacanya.
Berikut tanggapan teman-teman di grup-grup WA secara spontan dan apa adanya.
Arah kritikannya agak kabur juga ana lihat, Ustadz.
Mutasyabih Ustadz.
Mungkin bermaksud untuk umat Islam toleran, meskipun fokus menyoroti satu model keislaman.
Jadi kurang toleran…
Narasinya ya itu ke itu, dan mulai nggak laku.
Justeru faktanya sekarang orang-orang seperti beliau ini yang merasa paling NKRI, paling Pancasilais, paling toleran; dan muslim lain dituduh radikal dan teroris.
Komentar tersebut dan komentar-komentar berikut adalah dari grup-grup sebelah. Maksudnya, bukan hanya dari satu grup saja. Padahal dalam setiap grup tentu terdapat perbedaan pendapat, termasuk terhadap tulisan Profesor yang diunggah oleh sahabat Guru Besar yang memantik diskusi kecil ini.
Ya, memang kalau kalah serba disalahkan, bahkan teman sendiri menyalah-nyalahkan, bukan hanya orangnya, malah ajaranya.
Sampai dikatakan “Islam tak sempurna.”
Yang jelas disyubhatkan, menjadi ragulah semua amalan.
Prinsip kafir minta diimankan.
Kalah dalam perang pemikiran, sampai musuh dituankan.
Yang dari tuan (kafir) serba dibenarkan, yang dari Islam serba disalahkan.
Khilafah serba disalah-salah,
Demokrasi serba suci.
Kedaulatan Allah disingkirkan.
Kedaulatan manusia diagungkan.
Kamu sudah menguasai ilmu demokrasi yang kamu anggap suci, maka dengan kesucianmu kau merasa berhak untuk menilai.
Pemakai cadar, pemelihara jenggot, pecinta khilafah, seakan selain demokrasi menjadi tidak suci.
Kalau “lana a’maluna wa lakum a’malukum”, ‘kan bagus, adem, nyaman, tak gaduh; ndak perlu tulisan kayak gini.
Ya, memang kami kalah dalam materi.
Kami tak punya senjata secanggih kalian. Tak punya perusahaan seomset kalian, dan sebagainya.
Tapi tidak kalah dalam isi pikiran kami.
Peradaban segera dipergilirkan.
Sebentar lagi jadwal sejarah giliran kami… dengan Islam murni, bukan Islam oplosan seperti yang kamu pahami.
Al-Quran Surat Ali-Imran/3:140,
Jika kamu mendapat luka, maka sesungguhnya kaum kafir itu pun mendapat luka yang serupa. Dan masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan di antara manusia, agar mereka mendapat pelajaran; dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir, supaya sebagian kamu dijadikan-Nya gugur sebagai syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.
Nawaitu penulis biarkan urusan penulis, ya Prof.
Yang penting kacamata baca kita ya, hehe… Bisa positif, bisa negatif, sangat tergantung kacamata.
Dari bunyi narasinya, maka sasaran tembaknya (TO) sudah dapat diketahui dengan gamblang terang benderang. Kalau TO-nya sudah bisa diketahui, maka nawaitunya sudah dapat diprediksi ???
****
Dalam khazanah kajian Al-Quran, para ulama memiliki kaidah, “Shahibul qauli a’lamu bima yaqulu – Pemilik perkataan, paling mengetahui tentang apa yang Dia katakan.”
Dalam konteks Al-Quran sebagai firman Allah swt, Dialah yang paling mengetahui maksud, arti, makna, dan tujuan dari setiap dan/atau semua ayat-Nya.
Allah swt Yang Maha Tahu lagi Mahabijaksana memberikan kesempatan kepada manusia untuk menangkap pesan-pesan-Nya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing, baik pada dataran pemahaman dengan akal pikiran, perasaan, dan hati, hingga dataran pengamalan dalam sikap, laku, dan perbuatan.
Di sisi lain, dalam ranah pemahaman terhadap teks, baik tersurat maupun tersirat, para sarjana memperkenalkan hermeneutika sebagai alat bantu/sarana memahami. Secara garis sangat besar, para sarjana membagi aliran-aliran hermeneutika ke dalam dua kategori, yakni hermeneutika objektif dan hermeneutika subjektif. Hermeneutika objektif berorientasi memahami maksud pengucap (memahami maksud Tuhan), dengan melakukan reproduksi makna.
Sedangkan hermeneutika subjektif berorientasi menemukan dan mengungkapkan makna-makna melampaui makna yang dimaksud oleh pengucap (menafsirkan ucapan Tuhan menurut kapasitas dan kehendaknya). Salah satu paradigma hermeneutika subjektif adalah, ketika teks lahir, maka pemilik teks dianggap mati. Pembaca memiliki ruang pemahaman yang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, yang boleh jadi hingga bertolak belakang dengan makna dasar dan maksud semula pengujarnya. Di sini dikenal ungkapan ekstrem, “Persetan dengan pengarang.”
Pakar hermeneutika yang hati-hati mengambil langkah jalan tengah, konvergensi, yakni hermeneutika objektif cum subjektif (wasatiyah).
Mudah-mudahan catatan kecil ini menginspirasi pembaca untuk berpartisipasi menyumbangan ide, gagasan, wawasan, dan pandangan yang mencerahkan, serta membawa manfaat dan maslahat bagi kehidupan umat dan bangsa.
* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta