Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipLiterasiNasionalOpiniPolitik dan Hukum

Kebebasan Yang Me-MERDEKA-kan

×

Kebebasan Yang Me-MERDEKA-kan

Share this article
                     Sumber : mobavatar.com

Oleh : Muh. Asratillah Senge

 

72 tahun sudah, sejak peristiwa itu, saat Bung Karno dan Bung Hatta, dan tentunya atas nama bangsa Indonesia, menegaskan bahwa Bangsa Indonesia adalah Subjek dari sejarah. Menegaskan bahwa Bangsa Indonesia merupakan bagian dari tata dunia yang ada, memiliki posisi yang setara dengan bangsa-bangsa lain, memiliki hak untuk mengambil peran secara bebas dan aktif dalam pergulatan sejarah dunia.

Merdeka memang terdengar menggembirakan serta mengikut sertakan seribu satu macam harapan. Tapi merdeka bukanlah perkara mudah, selain dari segi sejarah peperangan dan pemberontakan terhadap penguasa kolonial yang berlarut-larut, merdeka itu sulit karena kesulitan yang sangat, dalam menentukan apa yang akan dilakukan setelah memproklamirkannya. Soekarno, Hatta dan Sjahrir seringkali dibuat bingung, apakah negara yang baru ini, akan lebih memberikan porsi yang besar pada kebebasan individu ?, ataukah memberikan porsi yang lebih besar pada posisi negara sebagai representasi sosial yang perfect ?.

Pilihan yang pertama akan menghantarkan pada politik liberal dan pilihan lainnya akan menghantarkan pada politik yang totalitarian. Dan hal tersebut sepertinya menghantui kita hingga detik ini. Contoh misalnya pada kasus Ahok menjelang pemilihan Gubernur Jakarta silam, terjadi perebutan antara berbagai kelompok kepentingan atas makna kebebasan, satu kelompok menyeret “kebebasan memilih” sebagai slogannya, bahwa preferensi agama tak seharusnya menjadi rujukan satu-satunya dalam memilih. Kelompok yang lain menggandeng slogan “kebebasan beragama” untuk menaklukkan lawan politiknya, yang katanya telah menyakiti perasaan kaum muslimin yang memiliki porsi demografi sosial dominan di negeri ini.

Belum lagi kontroversi Perpu Ormas, yang mendukung beralasan bahwa perpu tersebut diperlukan dikarenakan pentingnya untuk melindungi rumah bersama, melindungi ideologi negara sebagai representasi sosial. Bagi yang menolak berdalih bahwa perpu tersebut bisa menggerek kebebasan berkelompok dan berserikat. Bahkan salah satu parpol transnasional yang menentang demokrasi (dimana kebebasan inhern di dalamnya), melakukan pembelaan diri setelah dibubarkan oleh pemerintah, juga mengatas namakan kebebasan.

Dan yang paling menarik bagi saya, adalah adanya fenomena “paramiliterisasi” kelompo-kelompok masyarakat sipil. Gerakan-gerakan sipil keagamaan, justru menggunakan mobilisasi simbol ala militer, untuk melakukan pressure terhadap negara ataupun kelompok lain dalam merubah atau saling berebut porsi dalam kebijakan-kebijakan tertentu. Bahkan menggunakan media “paramiliter” untuk menekan pihak lain dengan mengatasnamakan kebebasan. Dengan kata lain kebebasan, kini telah menjadi pusat orbit, dari perdebatan-perdebatan politik.

Sebelum proklamasi kemerdekaan, di masa rapat-rapat BPUPKI, Soekarno pernah menyampaikan argumen yang mencoba mengantisipasi kesulitan-kesulitan ini. Soekarno menyebutkan istilah-istilah Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Sosio-Nasionalisme dimaksudkan sebagai sikap cinta tanah air yang tetap menjunjung tinggi aspirasi-aspirasi kemanusiaan. Sedangkan Sosio-Demokrasi diberi pengertian bahwa demokrasi yang dibela oleh Indonesia merdeka kelak, bukan hanya demokrasi politik belaka tetapi juga demokrasi ekonomi, Indonesia yang merdeka kelak akan berikhtiar mengejar dua rupa “keberesan”, yaitu keberesan negara dan keberesan rezeki.

Tapi argumen tetaplah argumen, kita bisa saja membuat proposisi yang mengantisipasi dua proposisi yang saling bertolak belakang, kita bisa saja menemukan atau merumuskan argumen sintesa dari tesa dan antitesa yang menggelayut dalam pikiran. Yang jadi soal adalah saat kita mencoba untuk menerjemahkannya dalam keputusan-keputusan politik ataupun dalam bentuk kebijakan-kebijakan.

Kenneth Arrow salah seorang yang pernah memenangkan Hadiah Nobel Ekonomi berpendapat, bahwa tidak mungkin katanya untuk menemukan titik potong atau area irisan yang konsisten antara prferensi individu dan preferensi sosial, kecuali kalau kita menerima sistem diktatorial, dan inilah yang dikenal dengan istilah the impossibility theorm. Tapi pasca reformasi 1998 kita telah memilih (dan ini bukan sekedar soal pikiran tapi juga keyakinan), dan tentunya menolak yang dikatakan oleh Kenneth Arrow.

Menolak berarti keberanian untuk mencari alternatif. Dan di sini kita bisa menengok yang dikemukakan oleh Amartya Sen soal kebebasan. Bagi Amartya Sen kebebasan adalah soal merdeka atau tidaknya kita dalam mengambil keputusan. Lalu yang menjadi tanya adalah, bagaimana agar keputusan yang diambil secara merdeka, bisa menjadi resultan bagi preferensi individu dan preferensi sosial ?.

Amartya Sen lalu melakukan kritik terhadap teori keputusan rasional (rational theory Choice), bahwa setiap pilihan ataupun keputusan yang diambil seseorang ataupun kelompok tertentu, didasari oleh pertimbangan rasional. Disinilah letak perkaranya, bahwa sebenarnya pertimbangan rasional adalah eufemisme dari kepentingan diri (self interest), dengan kata lain rasionalisasi pilihan tak lain dan tak bukan adalah maksimalisasi kepentingan diri (self-interest Maximation). Dan jika ini ditarik dalam skala besar, misalnya jika elit tertentu mengambil keputusan untuk melakukan mobilisasi massa misalnya dan menganggap bahwa mobiliasasi massa tersebut adalah keputusan rasional, maka fardhu ‘ain bagi kita untuk mencurigai (dan sepertinya publik harus mengenal dan diperkenalkan dengan “seni mencurigai”, karena publik saat ini lebih banyak dituntut untuk “meyakini” daripada “mempertanyakan dengan kritis”) , jangan sampai hal tersebut, sekedar penggelembungan dari kepentingan diri (self interest) elit tertentu atau sekelompok elit tertentu.

Sen memahami kebebasan dalam dua aras, yaitu aras proses dan kesempatan real. Kebebasan dalam aras proses, berarti kebebasan untuk menjatuhkan pilihan pada sesuatu yang dianggap baik, tanpa adanya paksaan dari luar. Sedangkan kebebasan dalam aras kesempatan real (real opprtunity) sebagai kemampuan untuk mencapai (ability to achieve) sesuatu yang dianggap bernilai. ” Kemampuan untuk mencapai” inilah yang disebut Sen sebagai kapabilitas (capability).

Kapabilitas oleh Sen selanjutnya diurai menjadi dua konsep utama, yaitu “kebebasan kesejahteraan” (well being freedom) dan “kebebasan ke-pelaku-an” (agency freedom). “Kebebasan Kesejahteraan” berkaitan dengan kebebasan seseorang dalam mengejar serta mendapatkan segala hal yang berkaitan dengan kesejahteraan dirinya. Sedangkan “kebebasan ke-pelaku-an” adalah kebebasan seseorang dalam menjadi agen dalam merengkuh sesuatu yang dianggap, bernilai dan penting.

Disinilah orisinalitas Sen menurut saya, saat melakukan kritik terhadap beberapa progress pembangunan yang sangat berorientasi kesejahteraan (well being oriented), karena kebebasan yang coba untuk dibela dan dilindungi sekadar “kebebasan kesejahteraan” dan sumbu utama (axis) “kebebasan kesejahteraan” adalah kepentingan pribadi (seld Interest). Seharusnya negara juga menyuburkan dan mengkulturkan “kebebasan kepelakuan” (agency freedom), karena axis dari “kebebasan kepelakuan” adalah “komitmen”.

Dan saya rasa “kebebasan kepelakuanlah” yang menjadi etos para pejuang dalam merebut kemerdekaan. Etos untuk menjadi bebas sebagai “Subjek” sebagai “agen”, bukan tunduk sebagai “hewan ternak” ataupun “boneka” para penjajah. Kini kita telah merdeka, di sudut-sudut lorong kota, angka “72” telah menjadi angka yang paling viral di bulan ini, dan itu menunjukkan bahwa kita telah merawat “Indonesia Merdeka” sudah cukup lama tepatnya dua pertiga abad lebih. Tapi rakyat tetaplah rakyat, mereka sekedar suara atau massa yang hanya penting saat pemungutan suara, kampanye ataupun demonstrasi. Kita masih enggan melihat dan mencita-citakan rakyat sebagai “agen”, seakan-akan masih ada saja pihak yang berkata “biarlah mereka bebas memilih kepala daerah ataupun presiden mereka, bebas memilih komoditi apa yang mereka akan konsumsi, bebas memilih style apa yang mereka gandrungi, asal mereka tak menjadi “agen”…..”. Menjadi merdeka berarti menjadi “agen” yang punya komitmen akan hal penting tertentu, sudahkah kebebasan kita me-merdeka-kan ?.

Dirgahayu Indonesia ku……………..

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply