Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpini

Keber-agama-an Dan Agresifitas

×

Keber-agama-an Dan Agresifitas

Share this article

Sejumlah orang memukul petugas kepolisian saat unjuk rasa empat November di Jakarta, Jumat (4/11) malam. Aksi menuntut pemerintah untuk mengusut dugaan penistaan agama berakhir bentrok. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pd/16

Oleh : Adam Malik*

“Siapakah yang kalian anggap perkasa?”  kami menjawab: “orang yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun.” Nabi SAW bersabda, “Bukan itu, tetapi orang yang dapat mengendalikan dirinya pada saat marah.” (HR.Muslim)

Begitu berpengaruh tutur seorang Ahok, tutur  itu dianggap menyakitkan, dan menistakan. Lalu, menekan bahkan menghilangkan separuh kesadaran rasional seseorang atau kelompok manusia (human religion). Walaupun tutur itu tak bermaksud diarahkan untuk menyakiti, apa lagi menghinakan.

Tetapi kita berada dalam pusaran doktrin, agama menjadi sumber legitimasi politis. Lalu, energi kemarahan membuncah, di tekan oleh doktrin. Ada yang sanggup menangkap dan memersepsikan dengan nalar yang sehat, ada pula yang memberikan respon psikologis yang berbeda, menganggap tutur itu penghinaan, penistaan, direspon dengan suasana emosional berlebih dan  menimbulkan sikap agresif.

Apa itu agresif ?, seorang berjubah, berjenggot, berteriak Allahu Akbar, berteriak kafir, mengklaim kebenaran agama, lalu melakukan kekerasan, menjarah minimarket, memukul ?. Hanya maha aktor yang tahu. Apalagi atribut si penutur berbeda dengan si pendengar. Padahal mereka hanya menampilkan reaksi ketidakdewasaan dari sikap keagamaannya. Yah, cemas, lantaran ketenangan sedang terusik , lakukan pertahanan diri.

Lalu berteriaklah “Kafir!!!”. Mengapa Agresif?, Hasil penelitian Putri (2013), h 247) menunjukkan perilaku agresif dapat dipengaruhi oleh identitas sosial dari konformitas sebagai bentuk perilaku, sikap dan keyakinan yang ditampilkan oleh seseorang baik karena adanya tekanan dari kelompok maupun hanya ingin berperilaku dengan orang yang di dalam kelompoknya.

Agama menjadikan seseorang benar-benar bersatu dalam memersepsikan iman dan perilaku keimanan. Lalu jika itu benar-benar  terjadi maha benar Freud bahwa agama dan perangkat imannya hanyalah ilusi, dan delusi “universal, obsessional neurosis”.

Mendengarkan sekelompok manusia berteriak lantang membela agama boleh jadi asbabnya tak lain karena efek doktrin. Awalnya mengikuti pengajian, mendengarkan beberapa point ceramah-ceramah keagamaan, membaca selebaran buletian dakwah, lalu dilakukan pemrosesan atas informasi yang didapatkan inilah yang menghasilakn perilaku keagamaan, “inilah kebenaran”.

Muhammad Asratillah dalam bukunya Hasrat kebenaran, menjelaskan bahwa taat beragama  yang ditandai (barangkali) rajinnya kita beribadah, pergi ke mesjid ataupun gereja, membaca majalah, dan selebaran-selebaran keagamaa, semakin sering pula kita diajak untuk masuk dalam arus pertentangan yang abadi.

Karena  diskursus keagamaan selalu menyucikan dan mengabadikan amarah. Efek doktrin agama jika tak disaring oleh daya nalar dan referensi wacana keagamaan dapat  menghasilkan sikap abnormalitas dalam sikap beragama yang melahirkan bias antara ide moderat ke ide radikalisme.

Menambahkan penjelasan Asratillah, Jung menyebutkan bahwa doktrin (khutbah teologis), sebenarnya adalah serangkaian arketipal yang membentuk “gambaran yang agak tepat tentang transendensi yang tak terbayangkan”.

Jung berkata bahwa setiap ajaran agama (sistem doktrin) muncul pada satu sisi, atas dasar pengalaman yang batiniah, dan pada sisi lain, atas dasar kepercayaan pada pengalaman itu dan perubahan yang ditimbulkannya dalam kesadaran.  Kepercayaan lanjut Jung, adalah konstruksi dari pengalaman religius yang awal, yang timbul dari kontak dengan yang tak sadar. Bahwa arketip sama dengan dogma, menurut Jung, dapat ditunjukkan melalui perilaku empiris.

Demonstrasi tanggal 4 November kemarin benar-benar sebuah dramaturgi keagamaan tak terjadi dengan sendirinya, semuanya sudah di konsep, publik Islam dibuat resah, sedikit di sentil lalu muncullah reaksi kecemasannya, cemas bahwa agama kita dihinakan. Aksi bela Islam sebenarnya tak ubahnya adalah aksi praktikum keagamaan atas capaian-capaian doktrin agama yang mereka dapatkan selama ini.

Doktrin agama mengusai diri peserta demo, menundukkan rasionalitas, tak segang berteriak anjing, bajingan, kafir, menjarah tokoh dan berbagai kalimat serta perilaku yang mewakili luapan kemarahan itu.

Padahal, mereka bergerak karena efek simbol, kekuatan simbol-simbol agama, kata Jung adalah manifestasi psikis yang “alamiah” dengan kehidupan organis dan perkembangannya sendiri selama berabad-abad. Seluruh doktrin agama tersebut di simpan dalam alam bawa sadar. Lalu, tiba-tiba datanglah Ahok bertutur soal arus doktrin mereka. Merekapun terbangun, memersiapkan diri lalu menajamkan pedang, dan siap berperang. Lalu, kapan luapan kemarahan itu berakhir?. Zikirku di kalahkan oleh nafsu amarahku. Boleh jadi kita seagama namun berbeda dalam hal keyakinan, boleh jadi kita  berbeda agama namun sama dalam hal keyakinan.

* Penulis adalah peneliti di Profetik Institute
  

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UNISMUH MAKASSAR