Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH. CO – Saya yakin jika judul di atas sekaligus sebagai kesimpulan, itu tidak keliru. Warna kehidupan yang tampak dalam setiap episode yang kita jalani sangat ditentukan oleh niat yang mengawalinya serta nilai dan makna yang dilekatkan terhadapnya. Jika berbagai pendekatan dan/atau tawaran solusi atas berbagai problematika kehidupan telah ditempuh, begitu pun—sebagaimana tulisan saya—Merawat Kemuliaan Manusia Merawat Masa Depan Kehidupan—yang seakan bisa menjadi solusi jitu, jika belum juga membuahkan hasil, maka jalan terakhirnya adalah perbaiki niat, nilai, dan makna.
Satu contoh, saya bertahan dengan gaya dan karakter tulisan yang selama ini tersuguhkan ke hadapan sahabat pembaca. Padahal, ada segilintir orang yang kesannya tidak suka, bahkan ada pula berdasarkan penyampaian teman, ketidaksukaannya menurut saya, itu tidak rasional. Mengapa? Karena, saya memberikan nilai terhadap karya saya, dan telah memaknai kehidupan ini secara internal dan eksternal diri ini sehingga saya pun berniat dan berkomitmen untuk tidak mengikuti selera pasar secara membabi-buta. Saya yang harus mewarnai karena ada niat agar nilai dan makna yang saya miliki dan yakini menjadi bagian dari warna kehidupan. Apakah mereka mengikutinya atau tidak, itu urusan lain dan urusan mereka sendiri.
Sama halnya ketika saya bertahan pada satu prinsip “Menegakkan aturan, integritas, dan kode etik kelembagaan” ketimbang “Loyalitas terhadap pimpinan”. Bagi kebanyakan orang, terutama yang terjebak pada kalkulasi materialistik dan pragmatis, kedua prinsip ini adalah posisi sulit dan dilematis atau terkesan “buah simalakama”. Bagi saya, kita harus tegas, ini bukan posisi sulit dan dilematis, ketika kita memberikan nilai dan makna dalam kehidupan termasuk amanah yang diemban dan diawali dengan sumpah/janji jabatan, sikap dan tindakan kita wajib harus jelas. Loyalitas terhadap pimpinan tentu bisa harga mati, ketika sama-sama berada dalam rel aturan, integritas, dan kode etik kelembagaan. Di luar itu, tidak ada loyalitas.
Niat dalam pengertian di luar dari makna yang menjadi rukun dari ibadah-ibadah yang ada—khususnya dalam konteks Islam—adalah tujuan yang ditargetkan dan diimpikan sebelum memulai langkah awal. Dalam rukun ibadah, niat itu di dalam hati, sehingga bisa pula dimaknai niat itu adalah kecenderungan hati. Sehingga, niat pun bisa dimaknai sebagai sikap, maka relevanlah dengan pernyataan John C. Maxwell yang menegaskan “Niat awal menentukan lebih dari apa pun juga”. Namun, bagi saya yang terinspirasi dari beberapa pandangan pakar, di antaranya Dr. Joe Dispenza dan Prof. Dr. Nevzat Tarhan, niat itu adalah paduan sinergis dan selaras antara pikiran dan perasaan yang memancar lebih awal dan jangkauan yang lebih luas dan jauh dalam mengawali suatu tindakan atau perbuatan.
Ketika, Rhenald Kasali dalam buku karyanya, Change (2005) menegaskan satu di antara tiga langkah untuk melakukan perubahan adalah “to see” (melihat lebih dini tujuan, impian, dan cita-cita dengan menggunakan mata batin, bukan mata kepala, atau melihat secara mental), maka ini sebenarnya bisa dimaknai sebagai niat atau minimal mekanisme kerjanya seiring dan melekat bersama dengan niat, jika Seandainya ini tidak sama dengan niat. Untuk sekadar diketahui, dua langkah berikutnya dari Rhenald adalah “to move” dan “to finish”.
Nilai itu adalah ukuran, barometer, dan/atau standard yang dimiliki oleh seseorang yang kemudian dilekatkan terhadap sesuatu, baik itu internal maupun eksternal, sebelum memutuskan seperti apa sikap, tindakan, kesimpulan, dan keputusan yang diambil terhadap sesuatu tersebut. Nilai itu bisa menjadi prinsip atau minimal sebagai basis prinsip yang kuat dalam diri seseorang, sehingga memberikan pengaruh yang kuat atas sikap dan tindakan, bahkan termasuk dalam perumusan kesimpulan dan pengambilan keputusan.
Tentu saja, nilai antara orang yang satu dan lainnya, itu berbeda-beda karena dipengaruhi oleh banyak faktor, ilmu pengetahuan, agama, dan terutama paradigma atau pandangan dunia yang dimiliki oleh orang tersebut. Bahkan, nilai itu bisa pula dipengaruhi bagaimana seseorang memaknai kehidupannya, agama, dunia, dan Tuhannya. Nilai ada yang benar, ada pula yang salah, ada yang baik, termasuk ada yang buruk. Standard nilai benar-salah dan baik-buruk, bisa saja berbeda-beda antara orang yang satu dan yang lainnya, tetapi kita pun harus memahami dan menyadari tetap ada yang bersifat universal, diterima banyak orang, dan tidak menimbulkan kerugian dan kerusakan bagi orang lain dan alam semesta.
Selain niat dan nilai, makna pun kita harus memahaminya sebagai pengertian atau pemahaman yang diberikan atau dilekatkan terhadap sesuatu yang bisa saja sesuatu itu berwujud kata, simbol, tindakan, dan/atau pengalaman. Makna dan pemaknaan yang kita miliki kemudian dilekatkan kepada sesuatu tersebut bisa pula dipengaruhi oleh niat dan termasuk nilai yang kita miliki.
Politik uang, sebagai contoh, bagi orang yang memiliki nilai negatif, destruktif, materialistik, pragmatis, dan berorientasi duniawi semata dan individualistik, bisa saja memaknai sebagai perilaku dan tindakan yang dibenarkan dalam perebutan kursi kekuasaan. Namun, bagi orang-orang yang merasa bahwa orientasi hidup dan kehidupan ini, bukan semata duniawi tetapi tujuan utamanya adalah akhirat dan kepentingan kolektif, tentu saja politik uang tidak boleh dibenarkan dan dibiarkan terus berkembang dan mewarnai dinamika demokrasi dan perpolitikan Indonesia. Apa lagi jika kita menyadari, bahwa sesungguhnya politik uang itu adalah “bom waktu” bagi kehancuran suatu bangsa dan negara.
Dalam konteks contoh di atas, dalam hal ini politik uang, tentu ini pula bisa dipengaruhi oleh niat. Anda ingin menjadi pemimpin dan/atau wakil rakyat, niat awal dan utamanya apa? Apakah niat utamanya ingin memperbaiki kehidupan daerah, bangsa, dan negara? Niatnya ingin memperjuangkan kepentingan rakyat? Atau niatnya ingin menaikkan status sosialnya? Niatnya ingin mencari pekerjaan dan/atau penghasilan besar? Tetapi bagi yang nilai dan makna kehidupannya belum matang, kedua niat baik itu pun masih bisa dijadikan instrumen spekulatif sehingga membenarkan politik uang.
Sampai di poin ini, kita bisa merasakan, bahwa niat, nilai, dan makna positif, produktif, konstruktif, kontributif, fungsional, dan orientasi duniawi-ukhrawi, itu adalah satu kesatuan yang semestinya mewarnai perjalanan dalam episode kehidupan ini, jika kita mengharapkan kehidupan yang lebih baik dan tetap dalam platinum track (jalan yang diridai Allah).
Berbicara nilai yang posisinya sama dengan prinsip yang mampu menggerakkan dan memengaruhi sikap dan tindakan serta perumusan kesimpulan dan pengambilan keputusan, maka dalam konteks Islam ada basis yang kokoh untuk menguatkan nilai dan prinsip tersebut. Yaitu, enam rukun iman. Hanya saja, rukun iman pun tidak akan memberikan pengaruh dalam realitas kehidupan kita, ketika kita tidak mampu memberikan makna yang lebih fungsional.
Contoh saja, “Iman kepada malaikat” semestinya ini diberikan makna yang lebih fungsional sehingga agama yang dipandang memiliki kemampuan mengubah kehidupan itu benar-benar terwujud dan bisa dirasakan. Setelah diberikan makna secara fungsional, kemudian makna itu diinternalisasi ke dalam diri, lalu ditransformasikan serta diimplementasikan dalam kehidupan.
Bagaimana caranya atau contoh pemaknaan fungsional terhadap iman kepada malaikat ini? Bahwa malaikat itu adalah makhluk Allah yang paling patuh. Malaikat pun senantiasa menjalankan amanah dengan prestasi dan integritas tanpa batas. Tentunya, ini pun diinternalisasi ke dalam diri sehingga diri kita dalam menjalani kehidupan terutama dalam menjalani amanah besar dan mulia, dari masyarakat, negara dan/atau rakyat, kita melakukannya dengan penuh kepatuhan berdasarkan aturan dan integritas yang tinggi.
Contoh lain lagi, iman kepada kitab-kitab Allah. Maknanya bukan hanya, bahwa kita percaya dan mengakui ada Al-Qur’an, injil, zabur, dan taurat. Tetapi, kita harus memaknai bahwa kitab itu tentu saja adalah sesuatu yang bisa disimpulkan sebagai pedoman hidup. Berisi tuntunan berupa perintah dan larangan, selain peristiwa-peristiwa sejarah yang mengandung nilai dan makna.
Dari pemaknaan ini pun, kita bisa mendapatkan pemaknaan baru dan utama bahwa kitab berarti dipelajari. Artinya iman kepada kitab-kitab Allah semestinya menjadi basis prinsip untuk membangun secara kokoh prinsip belajar yang tinggi dan sepanjang masa. Apa lagi Al-Qur’an, perintah pertama adalah “iqra” yang salah satu makna lainnya selain bacalah, adalah belajarlah.
Yang bisa menyelamatkan pula kehidupan bernegara dari cengkeraman para koruptor terutama korupsi pada tingkat “tergila”, selain iman kepada Allah dan iman kepada malaikat, iman kepada hari akhir pun, jika itu mampu dimaknai, ditemukan dan ditarik nilainya dalam kehidupan, sangat fungsional untuk memberantas atau mencegah tindakan korupsi. Artinya, jika para pejabat negara memiliki orientasi yang jelas bahwa hidup bukan hanya di dunia, termasuk pula hidup untuk akhirat bahkan kebahagian di akhirat adalah yang utama, maka bisa dipastikan mereka tidak akan korupsi. Mereka tidak akan melakukan pelanggaran dan pengkhianatan terhadap sumpah/janji jabatannya.
Nilai dan prinsip yang berbasis pada enam rukun iman, itu akan menjadi nilai dan prinsip yang kokoh. Sebab, kita perlu ketahui pula, bahwa dalam kehidupan ini ada prinsip yang lemah dan merusak. Seperti “Ketika uang dan jabatan atau kekuasaan adalah segalanya”, maka ini akan menimbulkan kerugian dan kerusakan bagi kehidupan dan orang lain, bahkan cepat atau lambat, termasuk akan menimbulkan kerugian dan kerusakan bagi dirinya sendiri.
Semoga, dari tulisan singkat di atas, para sahabat pembaca bisa menangkap pesan utamanya, bahwa betapa pentingnya niat, nilai, dan makna yang positif, produktif, konstruktif, kontributif, fungsional, dan berorientasi duniawi-ukhrawi dalam menjalani kehidupan kolektif di muka bumi ini, terutama dalam mengemban amanah mulia dan besar, baik dari masyarakat, negara, dan/atau rakyat. Sebab sebaliknya, akan menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan bagi diri, orang lain, dan kehidupan secara keseluruhan.
Niat, nilai, dan makna utama menjalani hidup dan kehidupan ini adalah tetap berjalan di atas platinum track, jalan lurus yang diridai Allah. Sebab, kita sebagai manusia sesungguhnya adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah.
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.