Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Hikmah RamadanLiterasiOpini

Kelas Rebahan pun Meng-Klik Pahala Ramadan

×

Kelas Rebahan pun Meng-Klik Pahala Ramadan

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Masih teringat dengan baik masa kecil saya bersama teman sebaya, dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu. Kebiasaan kami setelah shalat subuh, keluar dari masjid langsung pergi jalan-jalan ke arah pantai. Tepatnya pantai seruni, yang pada saat itu belum seindah hari ini. Selain subuh, pada sore hari pun, kami ramai-ramai pergi mengendarai sepeda, dan tidak sedikit diwarnai atraksi, bagaimana memainkan skill tertentu dalam mengendarainya.

Di antara kami, terkadang ada yang membincangkan terkait potensi “merusak” pahala puasa ketika berjalan-jalan pasca shalat subuh. Alasannya sangat sederhana, “banyak godaan”. Namun, bukan berarti bahwa selain kami, yang berjalan-jalan itu adalah manusia penggoda, najis atau setan. Alasan kami, tidak ada yang lain bahwa, kami punya nafsu yang berpotensi “tertarik” dengan makhluk ciptaan Allah lainnya, yang berlawanan jenis kelamin.

Saya pun seringkali memberikan respon bahwa “bagaimana caranya kita bisa menguji/mengukur tingkat keimanan yang dimiliki, ketika tidak melewati lorong ujian”. Ini sama sekali bukan dalil pembenaran, yang bertujuan mengakomodir keinginan bahwa, saya suka. Hanya ingin menegaskan bahwa, kita tentunya tidak boleh sekaku itu menilai, apalagi jika ada yang mengharamkan “jalan-jalan subuh” itu. Untung saja, gairah dan pandangan keagamaan pada saat itu, tidak sama seperti hari ini dalam mengekspresikannya, andaikan sudah banyak beredar dalil “haram jalan-jalan subuh”.

Dibandingkan pada saat itu, hari ini kondisinya dipastikan sangat berbeda. Hari ini, bisa diamati lebih banyak yang memilih berselancar di dunia maya melalui media online dan/atau media sosialnya masing-masing, ketimbang menjelajahi jarak tempuh dengan kekuatan alamiah: berjalan kaki. Apatah lagi, bagi sosok yang pada dirinya dilekatkan atribusi sebagai “Kelas Rebahan”.

Saya pertama kali membaca dan mengenal istilah ”kelas rebahan” dari Nia Lavinia dalam sebuah artikelnya: Artificial Inteleligent dan Kemunculan Kelas Rebahan, terbit pada tanggal 1 Februari 2020 di media online mojok.co. Dalam pembacaan saya, yang dimaksud kelas-rebahan oleh Nia Lavinia adalah sosok manusia yang tidak perlu lagi bekerja karena pekerjaannya telah diambil alih oleh artificial intelligent.

Kelas-rebahan memiliki banyak waktu luang, karena pekerjaannya dilakukan oleh robot cerdas. Kelas baru ini oleh Yuval Noah Harari disebutnya useless class, kelas tidak berguna. Disebut demikian karena tidak bekerja lagi.

Berbeda dengan Nia Lavinia dan Harari, saya menyebut kelas-rebahan sebagai sosok manusia yang waktunya lebih banyak di rumah, namun tetap eksis merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan segala program dan kegiatan yang menjadi tujuan dan harapan hidupnya. Kelas-rebahan ini, demi tujuan dan harapan hidupnya memanfaatkan secara maksimal pilar-pilar revolusi industri 4.0 antara lain: artificial intelligent, algoritma, dan segala sesuatu yang berbasis perangkat digital dan media sosial.

Bagi kelas-rebahan, tidak perlu lagi khawatir seperti kekhawatiran kami pada saat masih masa anak-anak sampai remaja. Meskipun, potensi yang kami maknai seperti di atas, “merusak pahala puasa”, itu berpeluang atau justru lebih besar melalui teman-mesranya kelas-rebahan: perangkat digital yang berada dalam genggaman. Tetapai, melalui tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa kelas-rebahan pun punya banyak peluang untuk meng-klik pahala Ramadan.


Istilah “klik” terinspirasi dari buku F. Budi Hardiman yang berjudul Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Istilah klik dalam tulisan saya ini, kita memaknainya saja dengan “meraih”, “menerima” dan/atau “mendapatkan”.

Kelas-rebahan pun, tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka tetap punya peluang untuk meng-klik (baca: meraih) pahala Ramadan. Allah sama sekali tidak memandang atau membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin, bangsa, dan sukunya. Apalagi kelas-rebahan ini hanya sebagai konsekuensi logis dari sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan era digital.

Yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. “…sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa…”, QS. Al-Hujurat [49]: 13. Jadi kelas-rebahan, jika dirinya bertakwa maka tetap mulia di mata Allah. Kelas-rebahan pun punya peluang untuk menebarkan pahala yang bermuara pada catatan kebaikan dari Allah melalui malaikatnya: Malaikat Raqib, selain meng-klik pahala Ramadan melalui puasa dan ibadah-ibadah lainnya.

Kelas-rebahan yang beragama Islam tentunya tetap berpuasa pada bulan Ramadan, tidak ada yang berbeda apalagi spesialisasi khusus bagi dirinya untuk diberikan bonus atau sebaliknya dihukumi yang menggambarkan hal paradoks. Kelas-rebahan jika seandainya tidak shalat tarawih di masjid, tentu saja tetap memiliki peluang melaksanakannya di rumah. Apalagi jika didalami dan dikorelasikan dengan pemahaman ilmu lain, seperti teori gelombang otak, kekhusyukan shalatnya di rumah, apalagi dilaksanakan pada tengah malam, potensi pahalanya bisa lebih besar.

Kelas-rebahan, jika seandainya dirinya adalah seorang ibu rumah tangga, maka peluang untuk menyajikan menu buka puasa bagi suami dan anak-anaknya, lebih banyak atau besar, baik yang diolahnya sendiri, maupun (bisa saja) dengan melalui pesan online. Ini pun mengandung pahala kebaikan yang diridoi oleh Allah Swt.

Seorang ibu yang dikategorika kelas-rebahan tetap punya banyak peluang kebaikan berlipatganda dengan cara, selain merawat anak-anaknya, menyiapkan kebutuhan keluarga termasuk untuk persiapan buka puasa, dirinya pun bahkan punya peluang membantu ekonomi keluarga dengan cara jual online dan memaksimalkan peran kurir. Kelas-rebahan punya peluang untuk memaksimalkan cara kerja yang dikategorikan multitasking, sebagai ruang dan/atau fasilitasi dari kecanggihan teknologi digital.

Waktu yang lebih banyak dimiliki di rumah, bagi kelas-rebahan memberikan peluang besar untuk beribadah, termasuk menjelajahi khazanah ilmu versi tulisan maupun video. Sebaliknya pun, kelas-rebahan bisa memaksimalkan dakwahnya melalui pemanfaatan teknologi digital, melalui media online atau media sosial.

Bahkan hari ini, di tengah kondisi kehidupan yang disebut era digital, dakwah melalui media online atau media sosial atau menggunakan berbagai platform atau fitur-fitur tertentu, memiliki daya jangkau yang lebih luas daripada dakwah di mimbar-mimbar masjid. Meskipun, dakwah di masjid masih dipandang tetap penting untuk kondisi kehidupan hari ini, terutama dalam konteks Indonesia, terutama yang masih dihuni oleh generasi baby boomers dan generasi x, yang sebagian masih gaptek (baca: gagap teknologi).

Dakwah digital pun bisa dipandang sebagai pola baru dakwah era disrupsi. Para mubalig yang tidak bisa move-on, apatah lagi jika ada yang memiliki cara pandang “anti” atau memandang haram perkembangan dan pemanfaatan teknologi, maka bisa dipastikan ke depan atau beberapa tahun ke depan, dirinya terseret dan tergusur.

Kelas-rebahan yang memaksimalkan perangkat digital dalam berdakwah, justru punya peluang besar merebut (baca: memengaruhi) cara pandang publik, umat dalam memahami agama, ketimbang cara pandang mubalig, bahkan ulama yang memiliki otoritas keilmuan sekalipun, jika dirinya (baca: mubalig & ulama) itu tidak ikut memaksimalkan pemanfaatan perangkat digital dalam berdakwah.

Sederhana saja, dalil dan argumentasi perebutan peluang dakwah tersebut: pertama, hari ini ruang dan waktu lebih banyak ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik; kedua, kini manusia lebih banyak menghabiskan waktunya berselancar di dunia maya melalui media online dan/atau media sosial dengan memaksimalkan perangkat digital; dan ketiga, kini sesuatu yang viral memengaruhi cara pandang terkait sesuatu yang dipandang benar atau kebenaran. Kelas-rebahan justru punya peluang besar untuk memanfaatkan dan memaksimalkannya.

Kelas-rebahan pun harus mengedepankan kecerdasan dan etika. Kelas-rebahan harus menerapkan prinsip yang ditawarkan oleh Nadirsyah Hosen—jika tidak salah dijuluki Kiai Ujang dari Negeri Kanguru—“Saring sebelum Sharing”. Saring sebelum Sharing adalah salah judul buku karya Nadirsyah Hosen. Ini penting bagi kelas-rebahan supaya semakin maksimal dalam meng-klik pahala Ramadan dan di luar dari bulan tersebut.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply