Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Keluar dari Tempurung ala Marxis-Andersonian

×

Keluar dari Tempurung ala Marxis-Andersonian

Share this article

1471707454061_355320
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah*

Buku Benedict Anderson Hidup di Luar Tempurung (2016) punya arti penting bagi orang Indonesia, dan orang-orang muda yang hidup membujur dari kota kecil, kota menengah, hingga kota metropolis. Saya membaca beberapa ulasan mengenai buku ini. Hanya saja ada perasaan tak puas. Alasannya antara lain; pertama, Hidup di Luar Tempurung (HLT) adalah buku biografi seorang peneliti kajian wilayah yang hidup di berbagai spasialitas ruang-waktu dan keberuntungan telak seorang pecinta enigma. Sepanjang buku, Ben bercerita mengenai kehidupannya yang penuh teka-teki sebagai seorang “sardjana ngawur” yang berkembang menjadi “nasionalis Indonesia” dan kembali menjadi “internasionalis pecinta Indonesia”. Dalam konteks ini, orang Indonesia punya semacam “hutang” pada Ben. Point berikutnya di situ.

Kedua, orang-orang muda Indonesia harus berterima kasih karena dua hal, yakni mengenai warisan teoritis Ben mengenai cara jitu mengatasi salah-satu batu sandungan bagi peminat Marxisme; nasionalisme. Karya-karya Ben sejak disertasinya tentang Revolusi Pemuda, diarahkan untuk menjawab mengapa dan bagaimana nasionalisme punya daya dalam kehidupan politik modern. Sejak Imagined Communities (1983) hingga Under Three Flags (2005) Ben mewariskan hal-hal baru yang cukup menginspirasi. Orang yang membaca Imagined Communities misalnya akan sadar bagaimana sebenarnya nasionalisme dapat menjadi topik yang segar dan berani. Bagi peminat Marxisme tentu saja tidak perlu ambil pusing terlalu jauh soal dugaan orientasi Ben yang menafikan peran aksi massa (lihat kritik Max Lane yang diuraikan secara kritis dalam, Unfinished Nation, 2014). Sama seperti George McTurnan Kahin, guru Ben, orientasi anti-aksi massa yang ditujukan pada keduanya masih sangat relatif ambigu terutama jika membaca riwayat karangan-karangan yang mereka hasilkan.

Wajar jika tidak semua Marxis menyukai (atau mungkin sependapat dengan) buku Imagined Community yang memang ditulis pasca terbitnya buku polemik lainnya The Break-Up of Britain karya Tom Nairn (1977) di kalangan intelektual Marxis Eropa. Ben mendeskripsikan Nairn dengan menulis “satu-satunya yang aneh sendiri ya Tom Nairn, Skot tulen dan seorang radikal Marxis Kiri Baru” (hlm. 121). Maksud Ben, karena umumnya ada anggapan di kalangan Marxis (maksudnya lingkaran Marxis Inggris) terutama Eric Hobsbawm bahwa “tak ada Marxis sejati yang bisa menjadi nasionalis; Marxisme sejak awal berkomitmen pada internasionalisme” (hlm. 122). Warisan Ben dalam perkara ini tentu saja seharusnya menjadi bahan penting bagi intelektual Marxis di Indonesia. Alasannya jelas bahwa ada sesuatu yang tak dapat diatasi oleh teori Marxis ala kelompok Hobsbawm yakni kronik hidup kecil-kecil mengenai daya magis yang mendorong politik modern bergerak semacam nasionalisme. Maka tak terlalu berlebihan saya jadi tertarik membuat kategori Marxis-Andersonian untuk merujuk cara kerja intelektual Marxis Baru dalam menyelesaikan perubahan fundamental politik modern.

Ketiga, ada kecenderungan akhir-akhir ini yang terjadi pada intelektual Marxis di Indonesia. Beberapa di antara mereka mulai menulis soal genealogi nasionalisme dari perspektif Freudian atau Lacanian. Beberapa lagi menulis mengenai proses perjuangan subnasionalisme melawan politik represif pemerintah Indonesia. Beberapa lagi konsisten melalui jalur kajian wilayah dengan mempelopori kuratorial seni, budaya pop, dan merintis penerbitan bacaan-bacaan bagus meliputi sastra Amerika Latin atau kajian best practice ala politik Kiri, yang secara umum dimaksudkan sebagai cara memulai penataan baru iklim intelektual. Kelompok lainnya (sekalipun tidak mendaku Marxis) mengerjakan proyek pembentukan komunitas literasi, studi Folklor, hingga proyek pengarsipan (dengan tingkat keseriusan melebihi lembaga nasional semacam Perpusnas atau pusat dokumen negara yang sangat lesu). Ben dalam hal ini sebenarnya akan memainkan peran yang relatif bagus karena warisan kompleksitas gagasannya. Buku Hidup di Luar Tempurung dengan demikian sangat sayang jika hanya diposisikan sebagai bacaan mengenai riwayat hidup. Buku ini jelas-jelas akan menjadi pengantar yang mujarab bagi orang-orang muda Indonesia yang meminati “hidup asik” di zaman ini.

Ada dua hal yang penting untuk diingat mengapa Ben menulis dan berdedikasi atas kajian wilayah. Ben memang (pada akhirnya) dikenal sebagai teoritikus nasionalisme, seorang ahli kajian wilayah. Pertama, penting untuk dicatat bahwa Ben tergerak menekuni bidang ini karena sebab-sebab historis dan konsekuensi atas metode pemecahan enigma yang digandrunginya sejak kecil. Ben hidup pasca “Zaman Bergerak” tumbuh dalam iklim implikatif Perang Dunia I dan Perang II, serta punya kecintaan pada metode “Komparatif”. Hidup di Luar Tempurung mengisahkan paling tidak dimensi-dimensi spesifik dari konteks-konteks tersebut.

Sewaktu membuat kategori Marxis-Andersonian, saya benar-benar didorong oleh kerangka perbandingan ala Ben di dalam analisa-analisa yang dibuatnya. Dalam Imagined Community dan Under Three Flags, kerangka perbandingan akan memainkan peran mulai dari gagasan, pustaka, alur logika, hingga model penyusunan tulisan. Saya jarang menemukan buku-buku yang ditulis dengan cara begitu. Untuk memahami kerangka perbandingan yang Ben maksud, kita dapat memulainya dengan konsep “ruang” yang berkembang dari Imagined Community hingga Under Three Flags. Sebenarnya bagian ini yang menjadi pertanyaan saya bagi Ben. Konsep “ruang” dalam Imagined Community jelas dipengaruhi oleh Erich Auerbach dan Walter Benjamin, hal itu juga dijelaskan gamblang oleh Ben dalam buku Hidup di Luar Tempurung. Tetapi bagaimana dengan konsep ruang yang berkaitan dengan pemodelan Rhizomatik yang digunakannya dalam Under Three Flags. Saya tak menemukan bocorannya dalam buku Hidup di Luar Tempurung. Kemudian ada teknik narasi “montase” ala Sergei Eisenstein yang juga tak bocorannya dalam Hidup di Luar Tempurung. Bagi saya pribadi dua pertanyaan ini akan memberi informasi tambahan mengenai kategori Marxis-Andersonian, yang memang tak selalu mengacu pada Ben, tetapi juga Perry Anderson yang sama mengagumkannya.

Hal kedua, masih berkaitan dengan warisan metodologi berpikir ala Marxis-Andersonian adalah pengkondisian kolaborasi antara keingintahuan yang tinggi, ketekunan, dan perasaan sabar terhadap proses. Hal itu muncul saat membaca salah-satu bagian favorit saya dalam buku Hidup di Luar Tempurung, tepatnya antara halaman 152 hingga 153. Halaman itu kurang lebih membicarakan mengenai cara Ben memperhatikan kompleksitas “ruang” dalam kerangka komparatif. Pemahaman terhadap “waktu kosong” ala Benjamin telah menjadi inspirasi bagus dalam mengatasi persoalan yang juga terjadi dalam banyak penelitian, yakni soal bagaimana menyikapi hal-hal yang super-riil. Teori “waktu kosong” punya andil dalam melihat benang merah antara imajinasi dan semesta fisik. Ben pernah menggambarkannya dengan puitik pada pendahuluan Under Three Flags; “If one looks up at a moonless, dry-season, tropical night sky, one sees a glittering canopy of stationary stars, connected by nothing but darkness visible and the imagination.”

Yang terakhir, halaman-halaman penuh inspirasi ini juga menunjukkan penghargaan Ben terhadap pengaruh orang-orang dekat bagi hidupnya. Dan bagaimana “baik hati” orang-orang tersebut telah menuntunnya menyelesaikan sebagian enigma penuh makna bagi banyak orang.

Katak_ pekerja bersatulah!

*Penulis adalah pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UNISMUH MAKASSAR