Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
OpiniPolitik dan Hukum

Kewenangan Mutlak Komnas HAM

×

Kewenangan Mutlak Komnas HAM

Share this article

 

Oleh: Dr. Fadli Andi Natsif

(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar)

KHITTAH.CO – Miris dan sudah di luar akal sehat. Itulah yang dirasakan dan yang terbetik dalam hati ketika terjadi peristiwa yang menimpa enam anak manusia yang tidak pernah menduga akan dialaminya. Entah peluru atau tindakan penyiksaan lain yang merenggut nyawanya, proses hukum yang akan membuktikannya nanti.

Tidak perlu berdebat panjang untuk memahami kronologis peristiwa yang telah merenggut enam nyawa Laskar Khusus Front Pembela Islam (FPI) ini. (Senin 7 Desember lalu). Ada beberapa poin pertanyaan yang laik diajukan. Pertama, apa dasar seorang warga negara dapat dibuntuti aktifitas kesehariannya. Apakah karena seorang yang namanya Muhammad Rizieq Syihab (MRS), hanya ulama, yg kebetulan prototipe dalam berdakwah selalu mengkritisi kebijakan pemerintah? Seberapa besar pengaruh Imam Besar FPI itu, karena bukan hanya beliau yg materi dakwahnya sering “memerahkan telinga” para pemerintah. Masih banyak juga penceramah juga seperti itu.

Kedua, MRS dan para pengikutnya bukan seorang kriminal. Beliau hanya seorang pendakwah dan para pengagumnya yang setia mengawal ke mana sang habib akan berdakwah. Jangankan orang baik, sekelas penjahat sekalipun tidak boleh diperlakukan seperti itu, dengan dasar dia juga manusia yang harus dihormati harkat dan martabatnya. Hukum sangat menjunjung tinggi prinsip fundamental kemanusiaan ini, sehingga tidak ada seorangpun yang dapat melakukan tindakan “main hakim sendiri” (eigenrichting). Apalagi seorang penguasa sekelas aparat negara yang justru harus dan wajib untuk menghormati (to respect) dan melindungi (to protect) warga negaranya dari perlakuan main hakim sendiri.

Ketiga, kalau toh apa yang dilakukan oleh aparat negara itu dianggap sebagai pembelaan diri (noodweer), sudah ada standar yang ketat atau prosedur tetap (protap) yang menjadi acuan. Dalam penanganan kerusuhan atau demonstrasi, pasti aparat keamanan sudah memahami standar, kapan harus bertindak. Sehingga kalau tidak bertindak akan berdampak terjadinya kebrutalan dan bisa mengakibatkan kerusakan dan banyak korban, maka disebut pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dapat dikategorikan sebagai tindakan omissionis atau tindakan pembiaran (tindakan pasif), sehingga menimbulkan banyak korban.

Begitupun sebaliknya, ketika seharusnya aparat keamanan belum pantas melakukan sesuatu tetapi justru bertindak represif, sehingga tindakannya itu menimbulkan banyak korban (tindakan commissionis, tindakan aktif), maka hal itu juga sudah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Terhadap protap ini saya kira tidak mungkin aparat keamanan yang ditugasi sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum tidak mengetahui dan memahami prosedur ini. Oleh karena sudah menjadi standar operasional prosedur (SOP) yang harus dipegang teguh oleh aparat keamanan dalam menjalankan ketiga fungsinya itu.

***

Untuk mendapatkan titik terang jawaban atas pertanyaan tersebut di atas, kita juga tidak perlu menguras energi pikiran terlalu lama dan menuntut pemerintah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Berdasarkan pengalaman TPF tidak pernah efektif dan optimal dalam menjalankan tugas untuk mengungkap peristiwa yang diindakasikan sebagai pelanggaran HAM berat. Cukup kita mengacu pada instrumen hukum yang sudah ada terkait penanganan terhadap perbuatan pelanggaran HAM berat. Sejak tahun 2000 setelah dua tahun era reformasi, Indonesia sudah punya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. (UUPHAM). Di dalam UUPHAM sudah sangat jelas menentukan kewenangan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), sebagai lembaga penyelidik terhadap kasus Pelanggaran HAM berat. (Pasal 18 UUPHAM).

Politik hukum lahirnya UUPHAM yang menentukan Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik yang menggantikan posisi lembaga kepolisian bisa dimaklumi. Oleh karena jenis kejahatan atau pelanggaran yang ditundukkan pada ketentuan UU ini bukan merupakan delik biasa yang terdapat dalam KUH Pidana — Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran (ordinary crime). Akan tetapi delik dalam UUPHAM dikategorikan sebagai ekstra-ordinary crime. Jenis kejahatan yang potensi dilakukan oleh negara melalui aparatnya dengan melakukan abuse of power. Sehingga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

Berdasarkan analisis inilah, maka peristiwa yang menimpa enam nyawa Laskar FPI, dapat dikonstuksi oleh Komnas HAM sebagai peristiwa yg diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. (Pasal 9 UUPHAM). Untuk melakukan tugasnya Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc (Pasal 18 ayat 2), yang melibatkan unsur lain selain anggota Komnas HAM.

Jadi untuk menyelesaikan kasus yang menimpa Laskar FPI ini, seharusnya Komnas HAM segera bertindak. Usulan membentuk TPF oleh pemerintah, yang didalamnya ada Komnas HAM justru  saya menganggap sebagai “pengebirian” kewenangan Komnas HAM yg telah dimandatkan dalam UUPHAM. Seyogyanya Komnas HAM yang membentuk tim ad hoc dengan pelibatan unsur lain, agar betul-betul dapat independen bekerja dibanding kalau TPF itu dibentuk oleh pemerintah.

Sekali lagi harapan kita kembali kepada Komnas HAM untuk segera menuntaskan kasus yang hampir bersamaan kita merayakan hari Universal Declaration of Human Rights 10 Desember lalu. Penuntasan terhadap kasus ini tentu akan menjadi perhatian dunia internasional. Oleh karena Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi International Covenant on Cipil and Political Rights (Kovenan Hak Sipil Politik) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Sebuah instrumen HAM internasional yang didalamnya harus menjunjung tinggi integrity right (hak keutuhan hidup) dan doe process rights (hak untuk memperoleh proses hukum yang adil). ***

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply