KHITTAH.co, Makassar- Lazismu Sulsel menggelar Diskusi Syariah bertema “Implementasi Zakat Perusahaan dan Kajian Syariah Qurban”, Ahad, 19 Juni 2022 di Aula Asmadina Kampus Unismuh Makasssar.
Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sulsel, Dr KH Mustari Bosra mengungkapkan, Muhammadiyah didefinisikan sebagai gerakan tajdid yang bersumber pada Quran dan Sunah.
Zakat menurut Muhammadiyah, kata Kiai Mustari, merupakan ibadah mahdah yang berdimensi muamalat duniawiyyah.
Artinya, zakat tidak hanya terkait hubungan manusia dengan Sang Khalik saja, melainkan berkaitan juga dengan hubungan antarmanusia (habluminannas).
“Karena muamalat duniawiyyah itu terus mengalami perkembangan sesuai ilmu pengetahuan dan zaman, maka Muhammadiyah memandang zakat sebagai sesuatu yang tajrid tapi masih membutuhkan tajdid,” ungkap Kiai Mustari.
Bagi Muhammadiyah, lanjut Kiai Mustari, ibadah mahdah itu merupakan bagian dari tajdid atau pemurnian yang selalu merujuk kepada Quran dan Sunah.
Meski demikian, ibadah ini tetap memungkinkan untuk tajdid atau pembaharuan terus-menerus.
“Itulah sebab, di Muhammadiyah, ada yang disebut zakat kontemporer. Tapi diakui atau tidak, Muhammadiyahlah yang merintis pertama kali adanya amil zakat. Waktu itu, sebelum tahun 1920-an, amil zakat Muhammadiyah merupakan bagian dari PKOe (Penolong Kesengsaraan Oemoem),” ungkap Kiai Mustari.
Sementara itu, Ketua Lazismu Sulsel, Dr. Alimuddin mengungkapkan, salah satu jalan untuk mewujudkan Islam rahmatan ‘alamin adalah dengan dampak dari zakat.
Karena itu, ia menegaskan, saat ini, pihaknya sedang mengupayakan totalitas upaya untuk lebih menggiatkan pengumpulan dan penyaluran zakat, infak, dan sedekah (ZIS).
“Kalau Lazismu dan amal zakat lain meng-setting baik-baik bagaimana gerakan kita mengumpulkan dan mendistribusikan ZIS ini, saya yakin, kita bisa membantu saudara-saudara kita yang digolongkan sebagai kaum miskin.“
Dr Alimuddin juga berharap, ada dukungan secara legislasi atau politik untuk lebih menguatkan adanya zakat perusahaan.
Ungkap Alimuddin, hal ini sesuai UU Nomor 23 Tahun 2011. Menurut dia, regulasi ini dapat menjadi landasan bagi zakat pendapatan, jasa, juga badan usaha.
“Berdasarkan UU ini, Bab I, pasal 1 yang mengatakan seorang muzakki adalah seorang muslim atau badan usaha. Mudah-mudahan dengan diadakannya diskusi Syariah ini, bisa menghasilkan rumusan-rumusan untuk dijadikan pijakan terkait penghimpunan zakat badan usaha dan perseorangan,” tutur Dia.
Sekretaris Badan Pembinan Harian (BPH) Poltekkes Muhammadiyah Makassar ini juga menjelaskan, diskusi Syariah merupakan respons atas pemahaman yang masih belum seragam terkait zakat kontemporer.
“Di kalangan masyarakat, bahkan pelaksana amil zakat sendiri, masih belum sepakat, baik nisab maupun haul-nya terkait zakat kontemporer ini. Untuk itu, dirasa penting untuk merumuskan kebijakan yang dapat menjadi pijakan kita,” tutup Alimuddin.
Dalam Diskusi Syariah ini, hadir sebagai pembicara, Ketua Majelis Tarjih PW Muhammadiyah Sulsel KH Jalaluddin Sanusi, Ketua Baznas Sulsel dr Khidri Alwy, dan Dewan Syariah Lazismu Sulsel Dr KH Abbas Baco Miro.
(*)