Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Kita Tidak Lahir untuk Menyelamatkan Semua Orang

×

Kita Tidak Lahir untuk Menyelamatkan Semua Orang

Share this article

Oleh: Ummu ‘Athiyah Sudirman (Kader IMM UNM)

KHITTAH. CO – Belakangan ini, media sosial penuh dengan cerita perempuan yang merasa dirinya “tidak cukup, tidak pantas”. Padahal, mereka sudah menjalani begitu banyak peran. Ia jadi tulang punggung keluarga, tapi masih merasa bersalah. Ia berprestasi di luar, tapi dianggap lalai kalau rumah berantakan. Ia lelah, tapi takut istirahat. Ia sedih, tapi merasa bersalah jika mengeluh.

Kalimat-kalimat seperti ini sering terdengar: “Kalau saya istirahat, siapa yang urus semuanya?” atau “Saya harus kuat, karena semua bergantung pada saya.” Fenomena ini mencerminkan realitas generasi sandwich, generasi yang tumbuh dengan tanggung jawab ganda: ke atas, kepada orang tua atau generasi sebelumnya yang masih memikul luka masa lalu; dan ke bawah, kepada adik atau anak yang ingin dibimbing agar tak mengulang cerita yang sama.

Di tengah tekanan itu, perempuan sering kali menjadi pusat gravitasi keluarga. Mereka yang paling diandalkan, tapi paling jarang diberi ruang untuk lelah. Bahkan saat ingin berhenti sejenak, mereka diliputi rasa bersalah. Padahal, lelah bukan tanda kegagalan. Lelah adalah tanda bahwa kita telah mencoba, berusaha, dan peduli.

Gambaran ini divisualkan dengan sangat baik dalam drama Korea When Life Gives You Tangerines yang rilis bulan Maret lalu. Kisah Ae-Sun dan Gwan-Sik, pasangan yang tidak ideal menurut masyarakat karena beda status dan latar belakang, menunjukkan bahwa fondasi hubungan bukanlah kesetaraan status, tapi kesepakatan nilai.

Mereka memilih jalannya sendiri, melawan stigma, dan bertahan meski masyarakat menolak mereka. Sosok Ae-Sun menjadi cerminan nyata dari banyak perempuan hari ini. Ia perempuan tangguh yang menolak tunduk pada stereotip lama, bahwa perempuan cukup di “dapur, sumur, dan kasur”. Ia ingin belajar, ingin tumbuh, tapi keadaan memaksanya berhenti. Maka, ia menitipkan mimpinya pada anak perempuannya, tanpa sadar menjadikan anaknya sebagai perpanjangan dari ambisi yang tak selesai.

Situasi seperti ini tidak jauh dari realitas di sekitar kita. Niat orang tua memang baik, tapi tekanan yang disampaikan secara diam-diam bisa membuat anak-anak tumbuh dalam bayang-bayang harapan. Mereka belajar menjadi dewasa terlalu dini, memikul luka yang tak mereka ciptakan hanya karena ingin membahagiakan orang-orang terdekat.

Inilah sisi lain dari generasi sandwich yang jarang dibahas. Bukan hanya soal keuangan, tapi beban emosional yang dibawa dalam diam. Beban yang lahir dari rasa tidak enak hati, dari harapan tanpa batas, dan dari ekspektasi yang diwariskan turun-temurun. Semua dibebankan dengan alasan, “kamu kan yang paling bisa diandalkan”. Dan ya, mereka tetap harus senyum di depan layar Zoom, seolah semuanya baik-baik saja.

Psikolog Brené Brown menyebut kondisi ini sebagai shame trap, jebakan rasa bersalah karena merasa tidak pernah cukup, bahkan ketika sudah berusaha sekuat tenaga. Dalam bukunya The Gifts of Imperfection, Brown menjelaskan bahwa kita sering kali menyesuaikan diri dengan standar kesempurnaan yang tidak realistis, lalu merasa gagal jika tidak bisa memenuhinya. Namun, Brown juga menegaskan bahwa kerentanan bukan kelemahan, melainkan sumber kekuatan otentik.

Saat kita bisa berkata, “Saya lelah,” atau “Saya tidak bisa mengurus semuanya sendirian,” kita sedang membebaskan diri dari belenggu “selalu harus kuat”. Kita memberi ruang bagi orang lain untuk hadir, bukan sebagai beban, tapi sebagai mitra kehidupan.

Yang sering terlupakan adalah tidak semua orang dalam generasi sandwich adalah korban. Banyak dari kita justru tumbuh menjadi lebih bijaksana, lebih empatik, dan lebih sadar batas, karena mengalami dua sisi kehidupan sekaligus. Kita jadi generasi yang bisa menyembuhkan, bukan hanya mewarisi.

Kita belajar memutus siklus tekanan dan menggantinya dengan komunikasi yang lebih sehat, dengan kasih yang lebih sadar. Dan mungkin, sudah waktunya kita ubah cara pandang. Menjadi generasi sandwich tidak selalu berarti terjebak di tengah, tetapi bisa berarti jembatan penyembuh antar generasi. Kita yang mampu memahami luka orang tua tanpa meneruskannya ke anak-anak.

Kita yang memilih untuk menyampaikan harapan, bukan menumpuk ekspektasi. Kita yang memilih kasih sayang sebagai bahasa utama, bukan beban atau kewajiban. Seperti dalam Al-Qur’an: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah: 286)

Ayat ini bukan hanya penghibur spiritual, tapi penegasan bahwa kita boleh merasa lelah. Bahwa jeda bukan bentuk kegagalan, tapi bentuk keberanian untuk bertahan. Seperti judulnya, When Life Gives You Tangerines, hidup tidak selalu memberi apel merah atau anggur manis. Kadang, hanya jeruk kecil yang asam dan getir. Tapi jika bisa kita olah, jeruk itu bisa dinikmati. Bahkan bisa dibagikan manisnya ke orang lain.

Maka untukmu, perempuan yang berdiri di tengah tuntutan dan harapan:

Tak apa jika hari ini kamu hanya bisa “cukup”.

Tak apa jika kamu ingin berhenti sejenak.

Tak apa jika kamu belum bisa memenuhi semua ekspektasi.

Karena kekuatanmu tidak diukur dari seberapa banyak yang kamu tanggung, tapi dari keberanianmu untuk bilang:

“Aku juga manusia. Aku butuh ruang.”

Dan mungkin, dari ruang itulah kamu akan belajar bahwa menjadi cukup, adalah bentuk paling jujur dari kekuatan.

 

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply