Oleh: Agusliadi Massere
KHITTAH.CO,- Marilah, kita memperhatikan orang-orang yang sukses, atau orang-orang yang memiliki keunggulan tertentu dalam hidupnya. Saya bisa memastikan bahwa, kita akan menemukan dari mereka salah satu modal utamanya adalah komitmen.
Brian Klemmer, penulis buku Compassionate Samurai mengatakan “Di dunia ini, yang paling memiliki komitmenlah yang menang”. Nada sebaliknya, Klemmer menegaskan “Tragedi terbesar adalah menjalani hidup tanpa memenuhi komitmen atau menjalani hidup yang kehilangan prinsip”.
Iman yang tertancap dalam dada akan terus menjadi napas kehidupan, memberikan makna, dan manfaat, ketika dilandasi atas komitmen yang kuat. Agama pun bisa tegak, ketika komitmen senantiasa mengiringi dan/atau mewarnainya. Cinta selain sarat, persyaratan utamanya pun harus dengan komitmen.
Komitmen bisa dipahami sebagai perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu, kontrak, dan/atau tanggungjawab. Makna kontrak di sini, bukan hanya dalam bentuk tertulis di atas dokumen resmi yang ditandatangi oleh kedua belah pihak atau lebih, tetapi termasuk pula ucapan lisan atau bisikan hati yang berisi pernyataan kesediaan untuk melakukan atau pun akan senantiasa melakukan sesuatu.
Puasa, khususnya selama dalam bulan Ramadan ini, mustahil akan mampu dilakukan tanpa ada komitmen yang bekerja dalam mekanisme psikis dan teologis. Saya memandang bahwa komitmenlah, salah satunya yang harus menjadi syarat utama dalam menjalankan puasa. Tanpa komitmen, tanpa kecuali komitmen keimanan kepada Allah, maka bisa saja seseorang akan melanggar atau melakukan sesuatu yang sesungguhnya berpotensi membatalkan puasanya.
Apalagi urusan puasa, hanya yang bersangkutan dan Allah yang bisa mengetahui apakah masih mematuhi aturan yang ada atau sesungguhnya secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang lain, dirinya telah melanggar atau melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya. Jadi komitmen menjadi modal penting dalam puasa.
Para sahabat pembaca mungkin sudah mengetahui bahwa, sejak tahun 2004 sampai sekarang saya senantiasa beli buku sebagai koleksi pustaka pribadi yang saya menamainya dengan “Cahaya Insprasi’. Per hari ini, pada saat jemari ini menari di atas tombol keyboard laptop untuk menyelesakan tulisan ini, koleksi buku saya, sudah berjumlah 1.101 eksamplar. Saya yakin para sahabat pembaca sepakat bahwa, tanpa komitmen dalam diri saya, mustahil saya bisa bertahan untuk senantiasa beli buku yang sudah berjalan selama kurang lebih 19 tahun, dengan jumlah koleksi yang sudah mencapai ribuan tersebut.
Sama halnya, ketika sebelumnya selama dua tahun berturut-turut, pada bulan Ramadan, saya menulis setiap hari sehingga lahir sebanyak 60 tulisan dengan judul sub bahasan yang berbeda-beda, mustahil akan bisa dilakukan tanpa adanya komitmen. Begitu pun, untuk tulisan hari kedelapan Ramadan 1444 H, tahun 2023 ini, tidak mungkin—apalagi kepadatan urusan di kantor—bisa selesai dan terbit, tanpa adanya komitmen.
Para sahabat pembaca pun, saya yakini bisa menemukan dalam dirinya, yang menegaskan bahwa karena komitmenlah sehingga sesuatu itu, baik berupa keunggulan ,skill, dan/atau capaian tertentu bisa diraih/dimiliki. Selain pada dirinya, sahabat pembaca pun pasti pernah menemukan sesuatu pada diri orang lain, dan jawabannya atau salah satu modal utamanya adalah komitmen.
Jika mempelajari proses penciptaan diri kita selaku manusia, maka sesungguhnya diawali dengan proses teologis yang bisa dimaknai sebagai “ikrar komitmen” di hadapan Allah Swt. Dari Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag. melalui bukunya Islamic Character Building: Membangun Insan Kamil, Cendekia Berakhlak Qurani (2014), kita bisa memahami dengan baik terkait “ikrar komitmen” di hadapan Allah Swt.
Asep Zaenal menegaskan, “sebelum roh masuk ke dalam janin, Allah Swt. bertanya ulang kepada roh, ‘Alastu birabbikum’ (bukankah aku ini Tuhanmu?). Pertanyaannya bukan ‘Man Rabbuka’ (siapa Tuhanmu?). Roh pun menjawab bala syahidna”. Menurut Asep Zaenal, mengapa Allah menggunakan pertanyaan berbentuk question tag, di Lauh Mahfuzh, karena sesungguhnya yang “diharapkan” dari manusia adalah komitmen dan monoloyalitas terhadap Allah, bukan sekadar jawaban “Allah”.
Jadi sangatlah jelas bahwa, komitmen itu bisa dipandang—selain sebagai modal unggul–juga sebagai mutiara kehidupan. Sebagai mutiara kehidupan seharusnya senantiasa bersinar, dalam menjalani dimensi kehidupan duniawi.
Orang-orang yang memiliki komitmen yang berbasis pada monoloyalitas terhadap Allah, dalam menjalankan dimensi kehidupannya pun di dunia, senantiasa memberikan yang terbaik, tetap menjaga etika, tidak menimbulkan kerusakan, dan kerugian baik bagi diri sendiri terutama bagi orang lain.
Siapa pun yang memiliki komitmen yang kuat, maka bisa dipastikan tidak akan pernah ingin menodai sumpah/janji jabatannya. Dan bisa dipastikan mereka adalah orang-orang yang amanah dan tidak akan pernah menimbulkan kekacauan, kerugian, dan kerusakan dalam kehidupannya.
Apatah lagi jika kita merenungkan kembali, kapan Allah memberikan pertanyaan berbentuk question tag kepada roh di mana jawaban yang “diharapkan” adalah komitmen, itu adalah pada saat sebelum ditiupkan ke dalam janin. Artinya apa, Allah “ingin” komitmen yang berbasis monoloyalitas terhadapNya, itulah yang seharus mengiringi perjalanan kehidupan manusia, tanpa kecuali dalam mengemban amanah duniawiah atau apapun posisi jabatannya dalam kehidupan ini.
Apakah kita akan selalu mengingat komitmen itu? Sebelum menjawab, maka sebaiknya kita belajar komitmen yang ada dalam diri masing-masing.
Saya yakin kita semua mengetahui, bahwa awalnya kita berasal dari satu sel, sebagai hasil dari relasi cinta dan kemesraan kedua orang tua kita. Dari satu sel, menjadi dua, dari dua, menjadi empat, empat menjadi delapan, delapan menjadi enam belas, dan seterusnya sampai ratusan miliar.
Jika kita memperlajari DNA, maka kita akan memahami bahwa sesungguhnya setiap sel itu, di dalamnya ada DNA dengan huruf kimiawi yang sama antara satu dengan yang lainnya, meskipun—berdasarkan mekanisme on/off DNA—yang teraktivasi akan berpotensi berbeda-beda.
Singkat saja saya menjelaskan: DNA yang ada dalam sel pada kuku kita, sesungguhnya punya potensi untuk menjadi rambut, lidah, dan lain-lain. Sel pada kulit pantat kita, punya potensi menjadi atau tumbuh hidung termasuk mata. DNA yang ada pada kulit kepala kita, potensinya bukan hanya tumbuh rambut, tetapi berpotensi pula tumbuhnya kuku bahkan gigi. DNA dalam sel gigi kita berpotensi untuk menjadi rambut.
Coba imajinasikan dan/atau bayangkan para sahahat pembaca, apa jadinya jika pada diri kita, yang tumbuh di kepala, justru bukan rambut tetapi gigi atau kuku. Kira-kira bagaimana hidup kita, jika seandainya pada bagian pantat kita, tumbuh hidung. Atau seperti apa jadinya kehidupan ini, jika gigi yang seharus ada dalam mulut, justru yang tumbuh adalah rambut. Jika kita memahami teori DNA, potensi itu ada dalam diri kita.
Namun, mengapa kuku hanya tumbuh menjadi kuku, gigi tumbuh hanya menjadi gigi, rambut hanya tumbuh menjadi rambut, dan pada kulit pantat tidak tumbuh mejadi hidung, padahal jika Allah tidak menunjukkan kekuasaan, maka diri ini bisa berpotensi mengalami kekacauan. Jawabannya adalah karena di antara sel dan termasuk DNA yang di dalamnya terdapat kekuasaan Allah, telah terbangun komitmen bersama antara satu dengan yang lainnya.
Komitmen yang terbangun bahwa, yang di-on-kan pada DNA Sel kuku, hanya susunan huruf kimiawi yang berpotensi menjadi kuku, selebihnya potensi untuk menjadi rambut, mata, hidung, dan lain-lainnya sedang di-off-kan. Sama halnya—sebagai satu contoh lagi, mudah-mudahan bisa dipahami—DNA pada sel kulit pantat yang di-on-kan hanya susunan huruf kimiawi yang berpotensi menjadi kulit pantat, sedangkan potensi lainnya seperti potensi menjadi hidung, itu sedang di-off-kan. Jadi betapa kuasanya Allah, dan dibalik ini kita patut kembali menegaskan “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan”. Ayat ini diulang sebanyak 31 kali dalam QS. Ar-Rahman.
Selain kita belajar komitmen pada diri sendiri, kita patut untuk senantiasa takut untuk melakukan dosa yang berpotensi Allah murka, dan Allah membalikkan, yang seharusnya di-on-kan pada DNA dalam diri, justru karena kita melanggar komitmen kepada Allah, maka di-off-kan. Begitu pun sebaliknya, potensi yang seharusnya di-off-kan, yang terjadi di-on-kan.
Marilah kita senantiasa berupaya untuk membangun komitmen positif pada diri, dan berkomitmen atas setiap amanah yang telah diterima, sekaligus ini adalah bagian dari komitmen yang telah diikrarkan di hadapan Allah, dalam alam Lauh Mahfuzh. Takutlah pada Allah, karena Allah punya kuasa dalam mengendalikan mekanisme on/off DNA kita
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023