Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Lembaga Sanro Indonesia (LSI)

×

Lembaga Sanro Indonesia (LSI)

Share this article
Hadisaputra, Peminat Kajian Antropologi Politik
Hadisaputra, Peminat Kajian Antropologi Politik

Oleh: Hadisaputra

Peminat Kajian Antropologi Politik

“Berpolitik di era modern mesti pakai sains. Semua strategi pemenangan, mesti terukur. Perangkat ilmu pengetahuan modern sudah menyediakan semua instrumen yang dibutuhkan,” tandas Choel Mallarangeng, konsultan politik FOX Indonesia.

“Tapi masih banyak politisi yang bahkan bertitel Magister dan Doktor tetap suka pergi ke dukun daeng,” saya menyela spontan.

“Kasian sekali orang tua kita, kasi sekolah-ki tinggi-tinggi kalau berpolitik pun masih harus harus pakai dukun,” respon Choel sembari menepuk jidatnya.

Demikian salah satu fragmen perbincangan kami dengan Andi Zulkarnaen Mallarangeng, atau lebih akrab dengan panggilan Choel. Waktu itu, saya dan beberapa orang kawan dari Makassar diutus untuk berdiskusi seputar marketing politic kepada konsultan politik yang turut menjadi arsitek kemenangan Susilo Bambang Yudoyono pada Pilpres tahun 2009 lalu. Choel adalah representasi konsultan politik yang lahir dari rahim pendidikan modern. Namun tulisan ini tidak akan membahas riset atau konsultan pemenangan politik. LSI pada judul tulisan ini merupakan kepanjangan dari “Lembaga Sanro Indonesia”, bukan LSI (Lembaga Survei Indonesia, atau Lingkaran Survei Indonesia) sebagai singkatan nama lembaga riset politik yang populer sejak era Pilpres 2004.

Namun plesetan tersebut, bukannya tak berkaitan dengan aktivitas konsultan politik. Saya pernah menjumpai seorang konsultan “LSI” (Baca: Lembaga Sanro Indonesia) yang telah memberikan pendampingan spiritual kepada ratusan politisi. Mulai dari calon anggota legislatif, calon bupati/walikota, bahkan sampai calon gubernur dan calon presiden. Proses pendampingan politik yang ia lakukan berupa ritual zikir yang terdiri dari tiga tahapan: 1) Zikir Ma’pateppe’ (Prediksi), 2) Zikir Mohon Hajat, dan 3) Zikir “Sapu Mata”.

Proses zikir mappateppe’ , bertujuan untuk memperoleh petunjuk apakah sang politisi punya peluang terpilih atau tidak, juga untuk menakar apakah perjuangan yang akan dilalui berat atau ringan. Proses Zikir Ma’pateppe ini mirip dengan survei pemetaan, yang sering dilakukan oleh sejumlah lembaga survei. Jika modal popularitas dan elektabilitasnya cukup besar, biasanya lembaga konsultan politik akan menawarkan jasa konsultasi pemenangan.

Konsultan “LSI” tersebut menjelaskan, “Saya lihat namanya, begini, begini. Kalau ada harapan, kuzikirkanmaki’ dulu. Kalau memang ada bayangan-ta’ maju maki terus. Kalau tidak ada, nanti saya tanya-ki’ dulu. Biar dia bilang bagus surveinya, saya bilang tidak bisa. Atau biar juga rendah hasil surveinya, kalau memang bisa saya bantu, saya bantu”.

Bahkan, ia pernah berbeda pendapat dengan hasil yang dirilis sebuah lembaga survei. Seorang caleg yang telah mengantongi hasil survei pernah datang kepadanya. Caleg tersebut datang dalam keadaan mental pesimis, karena angka elektabilitas surveinya rendah. Ternyata prediksi “zikir ma’pateppe” lebih akurat dari survei sebuah lembaga riset politik. Kini si Caleg telah melenggang sebagai anggota legislatif.

Setelah menjalani ritual ma’ppateppe’, mulailah proses “zikir mohon hajat” untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas kandidat yang didampingi. Uniknya, proses zikir berjamaah ini melibatkan anak yatim sebagai peserta zikir. Rumusnya sederhana, “jika satu orang anak yatim mendoakan kita, maka ada empat puluh malaikat yang akan menjadi tim sukses”.

Ilustrasi Dukun Politik
Ilustrasi Dukun Politik

Fase terakhir disebut zikir “Sapu Mata” (Penerawangan). Zikir ini bertujuan untuk melihat hasil akhir Pemilu. Prosesi ini sering dilakukan oleh lembaga survei pada saat menjelang hari H Pemilu. Namun zikir jenis ini hanya digunakan oleh Calon Presiden atau Calon Kepala Daerah. Belum pernah ada caleg yang memanfaatkan jasa ini, karena biaya operasionalnya yang tergolong mahal, yakni 77 juta rupiah.

Modernitas Digugat

Modernitas sering dikaitkan dengan kepercayaan terhadap dogma rasionalitas, sedangkan fenomena maraknya politisi yang berkonsultasi ke paranormal sering dipandang sebagai perilaku yang tidak rasional. BagiBruce Kapferer (dalam Alhumami, 2009), kepercayaan kepada dukun dan praktik perdukunan merupakan local beliefs yang terpatri dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai local beliefs, keduanya tak bisa dinilai dari sudut pandang rasionalitas ilmu karena punya nalar dan logika sendiri yang disebut rationality behind irrationality.Praktik perdukunan bukan khas masyarakat tribal dan tradisional yang melambangkan keterbelakangan. Bangsa maju dan modern di Eropa dan Amerika yang mengagungkan rasionalitas juga punya sejarah perdukunan, berwujud santet (witchcraft).

Jika menilik Comte (dalam Ritzer, 2010:16), maka dunia ini telah melewati proses evolusi, yang terdiri atas tiga tahap: teologis, metafisis, dan positivis. Tahap “teologis” terjadi sebelum tahun 1300, ketika sistem ide utama dititikberatkan pada kekuatan supranatural dan figur-figur religius. Tahap “metafisis” terjadi antara tahun 1300-1800, dimana kekuatan abstrak seperti alam dapat menjelaskan berbagai fenomena. Sejak tahun 1800, dunia telah memasuki zaman “positivistik”, yang dicirikan oleh kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan.

Andaikata Comte masih hidup, nampaknya ia mesti memikirkan ulang teorinya dengan melihat signifikannya peran “LSI” dalam banyak aspek kehidupan manusia modern. Maukah anda jadi klien Lembaga Sanro Indonesia (LSI)? Hubungi saya, hehehe.***

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply