Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Lima Keberanian Menulis

×

Lima Keberanian Menulis

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Menulis bukan hanya membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi termasuk keberanian. Beberapa orang yang sempat saya ajukan pertanyaan kepadanya, “mengapa tidak mau menulis?” Jawabannya “belum berani”, minimal dan tepatnya belum berani tulisannya dibaca oleh orang lain. Berangkat dari hal tersebut, salah satunya, yang menginspirasi saya untuk membuat tulisan ini dengan judul “Lima Keberanian Menulis”.

Konsepsi “Lima beberanian”, pertama kali saya dengar dan baca dari KH. Abdullah Gymnastiar yang akrab disapa Aa Gym, kurang lebih 16 tahun yang lalu. Aa Gym yang terkenal dengan “Manajemen Qalbu”-nya pernah menegaskan tentang “Lima keberanian” yang harus dimiliki dalam hidup ini: Pertama, keberanian bercita-cita. Kedua, keberanian memulai. Ketiga, keberanian berproses. Keempat, keberanian berkorban. Dan kelima, keberanian mengevaluasi.

Lima keberanian di atas, bagi Aa Gym secara fungsional dioptimalkan sebagai modal penting dalam mengarungi kehidupan khususnya dalam mengapai impian-impian. Saya pun berkali-kali, tidak kurang dari tiga puluhan forum perkadaeran dan LDK OSIS, berupaya untuk mengontekstualisasikan konsepsi Aa Gym ini dalam muatan materi tertentu, terutama dalam hal “belajar efektif” atau “quantum learning”.

Pada kesempatan kali ini, melalui tulisan, saya kembali melakukan kontekstualisasi konsepsi “Lima Keberanian” tersebut dalam hal menulis. Lima keberanian di atas secara fungsional, menjadi sejenis modal penting yang harus dimiliki dalam menulis. Mustahil kita bisa menulis jika tidak memiliki keberanian ini. Sudah pasti ada banyak keberanian, tetapi “Lima Keberanian” ini sejenis “kode”—yang dalam tradisi semiotik—seakan-akan mewakili jenis keberanian lain yang dibutuhkan dalam menulis.

Pertama, Berani Bercita-Cita

Hal yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan ini, sesungguhnya adalah “Berani Bercita-cita”. Kita seringkali menemukan dalam hidup ini, ada orang-orang atau minimal seseorang, yang tidak berani bercita-cita. Padahal bisa dianalogikan “hidup tanpa cita-cita itu bagaikan tengkorak yang berjalan”. Coba bayangkan, bagaimana penilaian dan sikap kita jika melihat ada tengkorak yang berjalan. Singkatnya atau bisa disimpulkan, menakutkan dan tidak berguna.

Bercita-cita tentang sesuatu hal, adalah pemantik pertama dan utama dalam menggapai impian. Cita-cita bisa berperan sebagai navigator, kompas dan bahkan sebagai mercusuar yang akan memandu arah perjalanan yang dilakukan. Bercita-cita secara psikologis mampu memengaruhi spirit, komitmen dan konsistensi.

Bercita-cita—jika saya meminjam pandangan-pandangan Yuval Noah Harari, yang dikutipnya dari para pakar biologi—bisa menjadi algoritma biokimiawi, yang akan memandu langkah-langkah metodis, pemecahan masalah. Dan selanjutnya menentukan keputusan-keputusan yang akan ditempuh.

Dalam menulis dibutuhkan pula keberanian bercita-cita, yaitu bercita-cita sebagai penulis. Salah satu kendala terbesar yang membuat kita tidak mau menulis, bisa jadi karena dalam diri sama sekali tidak ada cita-cita untuk menulis atau mau jadi penulis. Bercita-cita untuk menjadi penulis itu sama saja mengawali sesuatu dengan “sikap”. Padahal John C. Maxwell telah pernah menegaskan bahwa “sikap awal menentukan lebih dari apa pun”. Bercita-cita adalah sikap awal yang harus dimiliki, termasuk dalam menulis.

Bercita-cita jadi penulis, secara psikologis berarti sedang melakukan “visualisasi”. Selain itu, bisa berarti relevan dengan cara pandang “to see”-nya Rhenald Kasali. Dengan bercita-cita menjadi penulis itu sama saja—jika meminjam dan menginterpretasi ulang pandangan Ibrahim Elfiky (Sang maestro motivator muslim dunia, dan penulis buku international bestseller, “Terapi Berpikir Positif”)—sama saja dengan mengalir sesuatu dalam aliran darah kita. Dan yang terakhir ini penting dan efeknya sangat dahsyat.

Bercita-cita menjadi penulis, sebaiknya diawali pula dengan apa yang dipopulerkan oleh Bobbi DePorter & Mike Hernacki, yaitu “AMBak”.  AMBak adalah akronim dari “Apa Manfaatnya Bagiku”. AMBak ini akan mendorong lahirnya cita-cita, termasuk cita-cita untuk menjadi penulis, setelah itu mampu pula mengokohkannya. Semakin banyak AMBak yang dirumuskan maka semakin menguatkan atau mengokohkan cita-cita tersebut. Selanjutnya AMBak ini, berdasarkan interpretasi saya terhadap konsepsi Quantum Learning DePorter & Hernacki, akan mempengaruhi suasana hati yang mampu membangkitkan kedahsyatan otak.

Menulis bagi saya adalah kerja-kerja “keabadian” dan “mengabadikan. Menulis mampu mengabadikan sesuatu yang dicintai, disukai, dan yang memberikan spirit. Menulis juga termasuk aktivitas yang menyehatkan jiwa dan otak. Menulis berarti pula menebarkan kebaikan dan pencerahan, dan selanjutnya bisa berujung pada amal jariyah.

Kedua, Keberanian Memulai

Setelah berani bercita-cita, selanjutnya yang harus dimiliki adalah “keberanian memulai”.  Perjalanan ribuan kilometer yang telah ditempuh, syarat utamanya adalah memulai langkah utama. Keberanian bercita-cita saja tidak cukup, dan bahkan mustahil membuahkan hasil, tanpa diiringin keberanian kedua ini, “berani memulai”.

Seringkali para mentor, motivator, pelatih, menyampaikan tiga pesan sebagai syarat untuk bisa menulis, yaitu: menulis, menulis, dan menulis. Artinya apa? Segera mulai menulis. Ribuan diklat, kursus, atau pun pelatihan menulis, tidak akan pernah mengantarkan kita untuk menjadi penulis, jika tidak ada keberanian memulai, mulai menulis.

Saya sendiri, meskipun belum bisa dikategorisasikan sebagai penulis prolifik, tidak pernah mengikuti pelatihan khusus, apa pun itu tentang menulis (kecuali hanya pernah mengikuti pelatihan jurnalistik online yang dilaksanakan oleh Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan). Saya hanya berupaya memiliki lima keberanian di atas, dan termasuk keberanian kedua ini, saya segera menulis.

Aktivitas menulis, meskipun hanya bentuk cerpen, sesungguhnya saya memulainya sejak di bangku sekolah tingkat SMK, tepatnya kelas 1 SMK. Pada saat itu, saya masih ingat dengan jelas, saya menulis cerpen atau mungkin bisa dikategorikan sebagai novel, dengan panjang kurang lebih seratus halaman. Saya menulis cerpen tersebut, pada kertas bekas yang saya lipat dan jahit membentuk buku. Dan tulisannya pun hanya dengan tulisan-tangan. Pikiran saya yang sangat “liar” menelesuri belantara imajinasi, unuk melahirkan cerpen tentang seorang siswa yang sedang jatuh cinta kepada teman kelasnya itu.

Selain tulisan tersebut, pada saat itu sampai kuliah (meskipun tidak sukses menjadi sarjana), senang membuat makalah dengan narasi yang cukup panjang dan dengan landasan teoritik yang jelas. Makalah tersebut selain itu tugas pribadi saya, termasuk seringkali ada teman-teman minta tolong dibuatkan makalah, dan saya senang melakukan hal tersebut. Bahkan pernah sempat ada teman perempuan, dan tidak berlebihan jika dijuluki “bunga kampus”, meminta tolong membuatkan makalah untuk tugas kuliahnya, dan ternyata ada teman laki-laki lainnya, diam-diam membuat makalah untuk dia. Makalah yang diterima dan disetor adalah yang saya buatkan, sedangkan makalahnya dia terkesan “ditolak”, sehingga merasa sedikit kecewa, berdasarkan informasi dari teman-teman lainnya, yang sempat membahas masalah makalah.

Pada saat sudah aktif di media sosial, di Facebook, saya senang menulis status yang cukup panjang, mungkin kurang lebih tujuh sampai sembilan tahun yang lalu, hampir setiap hari, selama beberapa bulan, saya menulis “Inpirasi Pagi, “Ibrah Kehidupan”. Dan untuk beberapa tahun terakhir ini, saya rutin minimal satu tulisan dalam sepekan di media online tertentu. Termasuk tulisan ini, akan diterbitkan di media online.

Dalam keberanian memulai ini pun, saya menerapkan aturan sekaligus prinsip pada diri sendiri, yaitu “memaksa” diri sendiri untuk menulis. Karena saya sangat memahami dan meyakini, bahwa sesuatu yang mungkin awalnya dilatari atas sikap dan perilaku “terpaksa” atau “dipaksa”, tetapi berdasarkan “filosofi habits”, kelak akan menjadi karakter dan itu akan semakin terasa ringan dan mudah.

Ketiga, Keberanian Berproses

Keberanian ketiga ini tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan keberanian pertama (berani bercita-cita) dan keberanian kedua (berani memulai). Dalam hidup ini, bukan hanya untuk aktivitas menulis saja, keberanian berproses merupakan hal yang sangat urgen dan memiliki implikasi besar. Bahkan hanya orang yang berani berproses yang bisa memulai dan meneruskan/melanjutkan apa yang telah dimulainya.

Bahkan ada banyak pesan hikmah dan bahkan ibrah kehidupan yang menganjurkan kita untuk lebih fokus menikmati proses daripada hasil. Karena jika fokus pada hasil tidak selama sesuai harapan, tetapi yang terasa nikmat adalah ketika menikmati prosesnya. Apalagi seringkali setelah mencapai hasil yang satu, kita mengharapkan lagi hasil yang lain. Atau setelah kesuksesan yang satu kita menancapkan harapan atau kesuksesan lainnya. Jadi kesannya kita tidak lama berdiam diri dari hasil atau kesuksesan, tetapi kita mempunyai waktu yang cukup panjang dalam sebuah proses.

Dalam berproses membutuhkan juga keberanian atau disebut keberanian berproses karena melewati ruang-waktu yang tidak selama sesuai dengan harapan. Ada banyak rintangan, cacian, ejekan atau penilaian-penilaian “aneh” lainnya yang sesungguhnya bisa saja menghambat laju apa yang telah kita memulainya.

Dalam keberanian berproses terkandung pula keberanian untuk dinilai dengan apa pun jenis penilaian itu. Dalam keberanian ini, saya pribadi punya cara tersendiri untuk menguat keberanian ini.

Setiap tulisan-tulisan yang saya produksi, saya sebarkan secara massif ke group WhatsApp (jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh group). Begitu pun group Facebook yang tidak kurang dari dua puluhan. Bahkan ada tiga sampai lima group WhatsApp di dalamnya beranggotakan para akademisi, ada banyak doktor, profesor, dekan, rektor, bahkan ada menteri, dan tidak sedikit staf ahli menteri, dan eks staf ahli presiden. Di facebook pun ada beberapa group yang anggotanya banyak penulis dan pemikir hebat Indonesia, termasuk ada rektor.

Saya sebagai penulis (mungkin masih penulis pemula), sedikit pun tidak ada rasa “takut”, “khawatir”, dan “cemas” untuk meng-share tulisan-tulisan saya ke dalam group-group di mana mereka yang saya sebut di atas ada di dalamnya. Dan Alhamdulillah tidak sedikit yang membaca dan mengapresiasi.

Jika seandainya ada yang menghina atau mencela, saya biasa-biasa saja, karena saya sudah punya sikap bahkan komentar bahwa “saya masih sedang belajar dan merawat spirit menulis”, wajar saja jika belum sempurna. Tetapi saya punya keyakinan bahwa intensitas dan rutinitas menulis akan mengiringi lahirnya kualitas tulisan.

Di dalam satu sampai dua group WhatsApp, pernah ada satu sampai tiga orang (dari ribuan orang yang membaca dan ratusan yang mengapresiasi tulisan saya) kesannya mencela, protes, tetapi bagi saya itu biasa-biasa saja. Bahkan jika saya mau bandingkan kualitas keilmuan si pencela itu, maqam-nya jauh sekali di bawah dari orang-orang yang mengapresiasi tulisan saya, termasuk ribuan pembaca lainnya yang ada di group tempat saya senantiasa meng-share tulisan.

Di Facebook pun ada satu sampai dua group yang di dalamnya ada yang kesan “menghina”, tetapi sebenarnya saya menangkap substansinya bukan pada tulisan saya, hanya saja saya sedang mengutip dan/atau menulis tentang orang tersebut, yang menurutnya (si penghina itu, adalah sosok yang kurang disenangi). Bahkan di group tersebut, saya pernah dituduh sebagai “buzzer pemerintah”. Gumam saya dalam hati “Wow, seekstrim dan sehebat itukah tulisan saya, sehingga muncul tuduhan aneh-aneh itu”.  

Ada pula, yang kesannya tidak suka tulisan saya karena menggunakan bahasa, diksi, atau narasi yang tidak pas dengan dunia milenial atau generasi milenial (untuk diketahui generasi milenial yang dimaksudkan di sini bukanlah “Generasi Y” sebagaimana perspektif Neil Howe dan William Straus, tetapi semua generasi yang menghabiskan lebih banyak porsi waktunya di media sosial).

Tentunya saya tidak mau mengikuti harapan yang seperti itu, karena dalam berproses saya tetap punya prinsip, saya harus memiliki karakter, saya tidak mau terombang-ambing dengan selera orang luar, apalagi secara filosofis saya sedikit paham karakter para generasi milenial tersebut. Olehnya itu melalui tulisan-tulisan saya, dengan karakter tulisan yang ada, harus mampu mewarnai mereka. Bukan justru sebaliknya, saya diwarnai oleh selera mereka. Saya pun harapan besar, dengan melalui tulisan saya karakter mereka bisa berubah, memiliki masa depan yang jelas, meskipun saya tidak sedang bermaksud menggeneralisir bahwa generasi milenial itu tidak punya masa depan. Sama sekali kesimpulan saya tidak bermuara pada hal tersebut.

Setiap tulisan akan menemukan pembacanya sendiri, minimal ini adalah spirit bagi saya, selain harapan-harapan agar tulisan-tulisan tersebut bisa menjadi pemantik untuk perubahan karakter bagi anak bangsa dan elit negara sekali pun, yang sempat membaca tulisan tersebut.

 

Keempat, Keberanian Berkorban

Setelah berani bercita-cita, berani memulai, dan berani berproses dengan sekelumit hal positif dan negatif yang telah dijelaskan di atas, sudah pasti membutuhkan pula “keberanian berkorban”. Dalam menulis sudah pasti ada pengorbanan, baik yang bersifat material maupun immaterial.

Apalagi, sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak sedikit hal negatif dialamatkan pula kepada penulis. Sehingga harus mau dan mengorbankan “perasaan”. Meskipun dalam hal ini, seringkal hal negatif pun saya punya perangkat dan mekanisme psikologis untuk mengoversi perasaan tersebut menjadi positif. Dan prinsip saya, hal negatif tersebut tidak berujung negatif bagi diri saya, tetapi bisa bernilai positif. Tetapi bagi mereka yang memancarkan hal “negatif” tersebut akan kembali pada dirinya sendiri sebagai rumusan law of attraction, salah satunya dijelaskan dengan baik oleh Rhonda Byrne.

Bagi si pencela tulisan saya, itu berujung positif kepada saya, tetapi bagi diri sendiri akan selalu negatif, karena minimal dirinya tidak akan pernah mampu melahirkan karya yang sama dengan saya, tidak akan punya semangat seperti saya.

Yang pasti dalam menulis pun membutuhkan banyak pengorbanan. Minimal bisa diilustrasikan bahwa menulis membutuhkan banyak waktu untuk membaca dan termasuk bahan bacaan yang cukup dan memadai. Untuk mendapatkan banyak bacaan, yang terbaik adalah harus memiliki banyak koleksi buku. Sedangkan untuk bisa memiliki banyak koleksi buku, kita harus mampu “berkorban” untuk mau membeli buku, dan melawan godaan lain, yang telah berhasil menggoda banyak lainnya untuk dimiliki. Membaca dan menulis menurut Hernowo adalah “gerak hermeneutika siklis”

Dalam menulis, saya harus bersedia duduk di depan laptop berjam-jam. Dan tentunya dibalik itu ada hal material yang harus saya siapkan dan itu siap dikorbankan, seperti “listrik”. Belum lagi perasaan “lelah” fisik karena harus banyak duduk. Namun satu hal yang harus dipahami, bahwa apa pun yang telah disematkan atau dinilai sebagai “pengorbanan”, maka dibalik itu terjadi “konversi perasaan” sehingga semua akan selalu terasa menyenangkan dan membahagiakan. Penuh hal positif, bukan sebaliknya: negatif.

Kelima, Keberanian Mengevaluasi

Keberanian terakhir ini penting pula untuk mendapatkan porsi perhatian yang cukup. Sorotan, hinaan, atau celaan terhadap tulisan saya itu tentunya juga masuk sebagai bahan evaluasi, meskipun tidak harus selalu, bahwa saya akan mengikuti sepenuhnya harapan mereka itu.

Begitu pun apresiasi, yang tidak sedikit dialamatkan ke saya atas tulisan-tulisan yang rutin saya produksi itu pun berdimensi evaluasi. Pada saat saya sedang menyelesaikan tulisan, via chat pribadi masuk pesan singkat “Alhamdulillah, Setiap kali membaca tulisan Ustad Agus, setiap kali itu pula perbendaharaan kata dan gagasan sy bertambah. Semoga sehat selalu untuk sigap menulis. Sangat bermanfaat. Aamiin”.

Jadi setelah terbit tulisan-tulisan tersebut, saya baca kembali berkali-kali. Selain itu, termasuk dalam beberapa group, saya sering kali sampaikan dan tegaskan bahwa “Insya Allah saya tetap terbuka dengan kritikan, dan berharap senantiasa ada saran-saran konstruktif.”

Insya Allah menulis tidak berat, jika pun berat mungkin hanya pada tulisan pertama sampai yang kesepuluh yang berat, setelah kita bisa melewatinya menuju tulisan yang kesebelas, Insya Allah akan semakin terasa ringan, apalagi jika sudah menjadi karakter. Dan semoga kita ditakdirkan menjadi penulis yang prolifik.

Menulis menenangkan, menyenangkan dan membahagiakan jiwa, selain adanya harapan untuk memberikan pencerdasan dan pencerahan kepada pembaca meskipun hanya satu narasi sederhana. Dan Insya Allah kelak tulisan-tulisan itu akan sangat bermanfaat dan menjadi amal jariyah. Insya Allah.

 

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply