Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Urgensi Prinsip dalam Kehidupan

×

Urgensi Prinsip dalam Kehidupan

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO,- Menjalani hidup dalam kehidupan tidak bersifat satu arah. Pilihannya tidak tunggal. Ada banyak arah yang bisa dipilih. Selain itu, kehidupan ini bukan hanya menyiapkan jalan lurus yang penuh dengan kebaikan dan kebenaran sesuai tuntunan ilahi, yang dalam istilah N. Syamsuddin CH. Haesy menyebutnya platinum track. Namun, kehidupan ini pun menawarkan dan menyiapkan pilihan arah sesuai selera, tanpa kecuali yang berpotensi menggerus sari diri kemanusiaannya, hal ini pun senada dengan kehendak bebas yang diberikan kepada manusia,.

Example 300x600

Aneka menu atau pilihan yang tersaji dalam kehidupan, dan kebebasan yang diberikan kepada manusia, sehingga tidak sedikit yang bukan hanya tidak memilih jalan yang sesuai tuntunan ilahi, tetapi termasuk pula jauh dari prinsip-prinsip kebenaran, kebaikan, etika, dan mengikuti kaidah kepatutan sebagai orang yang beriman. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Yasraf Amir Piliang, di mana fenomena dunia kehidupan masa kini, telah banyak yang “hidup sekadar hidup”. Mengingat ungkapan dan pandangan Yasraf ini, saya pun teringat dengan pandangan Buya Hamka.

Secara ringkas dari buku Setelah Dunia Dilipat (2020), kita bisa memahami bahwa maksud Yasraf “hidup sekadar hidup” adalah ketika kita telah kehilangan “tujuan”, “nilai”, dan “makna”. Dan di balik kondisi kehilangan ini, ada hal paradoks yang terjadi dan itu pun sesungguhnya jika kita memahami jati diri atau sari diri manusia, maka tampak betapa diri ini secara sadar dibiarkan terseret dalam limbah peradaban. Yasraf menegaskan “[kita] mengalami runtuhnya nilai-nilai moral, degradasi nilai-nilai kultural, dan tergerusnya makna-makna spiritual”.

Kesadaran di atas, menuntut kita untuk memiliki prinsip. Prinsip yang di dalamnya mengandung tujuan, nilai, dan makna yang benar, baik, dan sesuai dengan nilai-nilai etika, moralitas, dan tuntunan ilahiah adalah pegangan yang kokoh bagi setiap orang untuk mengarungi kehidupan. Ada prinsip yang tidak sekokoh dengan yang digambarkan ini, sebaliknya sangat rapuh karena kandungan tujuan, nilai, dan maknanya pun sesaat, pragmatis, materialis, dan destruktif. Membaca sejarah perjalanan kehidupan, kedua model prinsip ini bisa ditemukan dan dipahami dengan baik.

Jika kita membaca dan memahami dengan baik Pandangan Ary Ginanjar Agustian, kita akan sampai pada pemahaman bahwa berbagai bentuk sikap dan tindakan manusia, sangat dipengaruhi oleh prinsipnya. Prinsip pun memengaruhi pemikiran. Bahkan proses menjadi setiap orang tergantung dengan prinsip yang dianutnya. Hasil dari prinsip bisa dianggap hebat, mengerikan, bahkan menyedihkan—ini penegasan Ary Ginanjar.

Ada banyak jenis prinsip yang bisa dijumpai dalam kehidupan: Harakiri di Jepang; tiba masa tiba akal; menyediakan payung sebelum hujan; dalam budaya Bugis-Makassar ada Siri’; rela mati demi cinta dalam cerita klasik Romeo dan Juliet; Macan-Asia; Dragon of Asia; mengatakan kebenaran walaupun pahit; dan ada juga apapun caranya yang penting tujuan tercapai. Banyak lagi contoh prinsip lainnya, saya yakin pembaca pun banyak mengetahui terkait contoh-contoh prinsip yang diterapkan dalam kehidupan. Dan saya pun teringat dengan prinsip yang disampaikan oleh almarhum Bapak saya, “lebih baik mati kelaparan daripada mencuri”.

Di balik prinsip pun ada sejenis the power of choice (kekuatan memilih) atau sederhana dan lazimnya adalah kebebasan memilih. Hanya saja patut disadari bahwa dibalik kebebasan memilih, tentunya setiap pilihan mengandung konsekuensi logis yang terkadang pada posisi ini, kita tidak bisa lagi atau tidak punya lagi kemampuan memilih. Artinya jika manusia punya kebebasan memilih, maka manusia tidak punya kebebasan memilih dampak atas pilihannya.

Bisa dipastikan jika prinsip yang kita miliki mengarahkan diri kita melalui pilihan yang keliru, tidak sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan kepatutan, maka cepat atau lambat meskipun awalnya terkesan baik, pada akhirnya kelak hukum alam apatah lagi hukum Allah, akan membawanya pada keburukan. Begitupun sebaliknya jika prinsip mengarahkan diri kita pada pilihan yang baik, benar dan sesuai nilai kepatutan, bisa jadi awalnya terasa buruk, tetapi kelak akan berujung pada sesuai yang baik, positif, dan konstruktif.

Bercermin bagaimana prinsip yang menggerakkan Nazi Jerman dan Hitler, awalnya memang mampu membawa Jerman semakin perkasa, pada akhirnya Nazi Jerman pun hancur dan Hitler bunuh diri. Begitu pun Fir’aun, dan beberapa sosok perkasa lainnya, melalui prinsip yang keliru tidak sesuai dengan nilai kebenaran dan kebaikan universal, pada akhirnya hancur juga.

Prinsip sangat penting dalam hidup, baik yang bersifat personal maupun yang bersifat kelembagaan. Prinsip mampu menjadi driver agar perjalanan hidup kita tetap di atas rel yang telah ditetapkan. Dalam satu institusi atau kelembagaan jika personalitas yang ada di dalamnya memiliki prinsip yang tidak lagi relevan atau menjalankan prinsip yang tidak sesuai dengan prinsip kelembagaannya yang telah diatur dan ditetapkan dengan baik, dengan basis nilai pada sesuatu yang kokoh dan benar, maka bisa dipastikan akan membawa malapetaka atau minimal membuat dirinya sendiri terpelenting ke luar dari rel yang ada.

Sama hal, ketika saya mengatakan bahwa sumpah dan janji jabatan itu, bukan hanya urusan duniawi semata, tetapi termasuk pula urusan akhirat, maka itu adalah bagian dari prinsip. Dan siapa saja yang prinsip sejenis ini, tentunya memberikan pula pengaruh pada sikap dan tindakannya. Dan sebaliknya bagi yang hanya menyadari sebatas urusan duniawi semata, maka itu pun pengaruhnya terhadap sikap dan tindakannya akan berbeda dengan orang yang memiliki prinsip yang pertama.

Agar hidup tidak menjadi seperti yang disinyalir oleh Yasraf “hidup sekadar hidup”: kehilangan tujuan, makna, dan nilai; runtuhnya nilai-nilai moral; degradasi nilai-nilai kultural, dan tergerusnya makna-makna spiritual, maka diri kita harus mampu memilih prinsip yang memiliki basis nilai, kesadaran, filosofis, ideologis, dan teologis yang kokoh dan bersifat universal.

Secara teologis rukun-iman yang terdiri enam rukun tersebut, sesungguhnya bisa menjadi basis yang kokoh bagi prinsip yang akan menjadi driver dalam kehidupan. Prinsip yang berbasis pada kesadaran ilahiah, Kasih-Sayang dan Kemahakuasaan Allah, termasuk pula tentang hari pembalasan (akhirat). Prinsip malaikat, bagaimana menampakkan kinerja dan proses yang sesuai rel kebaikan, kebenaran, dan kepatutan tanpa diawasi sekalipun. Prinsip pembelajaran sebagai derivasi dari rukun iman kepada kitab-kitab. Detailnya bisa pula dibaca pada tulisan saya dengan judul, “Mengokohkan Prinsip Hidup dengan Enam Rukun Iman”.

Secara ideologis-teologis, Pancasila sesungguhnya bisa menjadi basis prinsip yang kokoh seperti untuk sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” idealnya ini menjadi fundamen moral bagi fundamen kemanusiaan dan politik di Indonesia. Begitu pun sila kedua sampai sila kelima harus mampu menjadi basis prinsip yang kokoh. Jika ini disadari dan dimiliki maka bisa dipastikan maka apa yang menjadi harapan (silakan dibaca juga ini) “Berkuasa dengan Benar” akan terwujud. Begitu pun kehidupan ini tanpa kecuali dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara akan jauh dari perilaku koruptif, diskriminasi, dan intolernasi.

Dengan prinsip, kita pun akan berani memilih arah meskipun tidak banyak dilalui oleh orang lain.

*Ketua Pemuda Muhammadiyah Bantaeng Periode 2014-2018, dan Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply