Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Mahasiswa Sebagai Bangsawan Pikiran

41
×

Mahasiswa Sebagai Bangsawan Pikiran

Share this article
Example 468x60

Mahasiswa Sebagai Bangsawan Pikiran

(Kado gagasan menjelang Musycab IMM Makassar)

Example 300x600

IMG_20160716_154318_edit2

Oleh : Muh. Asratillah Senge, ST

            Dasawarsa awal abad ke 20 hingga tahun 1950 an, Indonesia mengalami apa yang disebut dengan “surplus kepemimpinan”. Begitu banyak dan mudah kita menunjuk nama yang merupakan sosok pemimpin, intelektual ataupun negarawan yang disegani, memiliki integritas moral publik yang tak diragukan serta kaya akan modal kultural dalam hal ini kepemilikian wawasan pengetahuan. Tak ada yang mengetahui jelas apa sebab kemunculan fenomena “surplus kepemimpinan” saat itu. Mungkin saja karena saat itu kita memiliki common enemy yang jelas, yaitu pemerintah kolonial belanda, mungkin saja karena saat itu kita mengalami opresi dari penjajah sehingga melahirkan reaksi yang sebaliknya, atau mungkin saja – dan ini anggapan saya – karena para pemimpin dan negarawan saat itu sekaligus sebagai bangsawan pikiran. Siapakan bangsawan pikiran itu ? sebelum saya menjawab pertanyaan tersebut saya ingin membahs yang lain terlebih dahulu. Kenapa kepemimpinan Indonesia tergerus pasca  1950-an ?

            Dalam Jurnal Prisma volume 32,No 4 tahun 2013, Mochtar Pabottingi, mengatakan bahwa pemiskinan eksistensi pemimpin dimulai saat berlakunya Demokrasi Terpimpin di masa Soekarno, tetapi mencapai titik kulminasinya di bawah rezim Orde Baru. Karena pada saat itu Soeharto hanya memperkenankan dirinya sebagai satu-satunya pemimpin. Bibit-bibit kepemimpinan di luar lingkarannya yang ada di ormas-ormas ataupun di kampus-kampus, diberangus sampai ke akar-akarnya, dengan mendayagunakan beragam rupa instrumen aparatus ideologi negara seperti normalisasi kegiatan kampus, OPSUS, penyensoran terhadap naskah-naskah khutbah keagamaan dan lain-lain, Daniel Dakhidae menyebut hal tersebut dengan ungkapan “pengambilalihan wacana totalisme, suatu totalisasi sistemik”. Dan dampak dari penggerusan eksistensi pemimpin ini terasa dampaknya hingga di era reformasi, Mochtar Pabottingi mengatakan bahwa kosmik kepemimpinan nasional kita saat ini dalam kondisi “…kekacauan serta kekaburan kriteria tentang mana yang benar mana yang salah, mana yang patut dan mana yang tak patut, pemimpin sangat sulit muncul, apalagi berkiprah. Kepemimpinan memang selamanya tak terpisahkan dari kejelasan arah menuju kebajikan bersama”.

Soal kepemimpinan bukanlah soal menang-kalah belaka, soal kepemimpinan bukanlah soal voting suara belaka, soal kepemimpinan bukanlah sekedar memobilisasi suara belaka, tapi jiwa dari kepemimpinan adalah kepemilikan atas visi mengenai “arah menuju kebajikan bersama”, suluh kepemimpinan adalah kepemilikan atas weltanschauung, pandangan jauh ke depan dan merupakan hasil dari refleksi yang dalam. Bambang Sugiharto dalam sebuah kesempatan seminar mengatakan bahwa, salah satu asbab dari corat-marut kehidupan berbangsa kita adalah semakin menganga nya jurang antara reflektivitas dan non-reflektivitas, apakah dalam kehidupan berpolitik, ekonomi, sodial, budaya bahkan ke-agamaan. Sebagian besar elit politik, ormas, LSM, organisasi peguyuban kita merespon sesuatu dan mengambil keputusan, ibarat seperti penderita epilepsi, di mana ada “fatamorgana finansial” di situlah gerak “tubuh sosial, budaya dan politik” mereka mengarah, sehingga yang terlihat dan ditonton oleh rakyat melalui media massa bukanlah kedalaman dan kebijaksanaan, tetapi kedangkalan dan hiruk pikuk belaka. Makanya sudah sangat mendesak bagi kita, terutama sahabat-sahabat mahasiswa meretas hal ini, kita sudahi bercerita banyak mengenai “nostaligia heroisme” kita ditahun 1998 silam, yang diperlukan saat ini adalah “heroisme bijak serta bajik” dalam menghadapi situasi bangsa kekinian terutama dalam menghentikan laju abrasi eksistensi kepemimpinan bangsa,  mahasiswa memilki peran strategis dalam membawa reflektivitas dalam panggung kepemimpinan nasional dan untuk hal satu ini mahasiswa sekali lagi perlu menjadi “bangsawan pikiran”. Siapakah bangsawan pikiran itu ?

Yudi Latif dalam bukunya Intelegensia Muslim dan Kuasa menjelaskan bahwa istilah pertama dalam bahasa melayu yang merupakan tinanda (signifier) bagi eksistensi kaum intelektual/intelegnsia di Nusantara adalah istilah “bangsawan pikiran”, istilah ini muncul dalam ruang publik Indonesia pada awal abad ke 20. Saat itu istilah “bangswan pikiran” merupakan kode untuk menamai lapis generasi Hindia Belanda yang terdidik dan ikut serta dalam gerakan menuju kemadjoean. Istilah “bangsawan pikiran” saat itu juga merupakan oposisi biner bagi istilah “bangswan oesoel” yaitu sebuah kebangsawanan yang ditakar melalui asal-usul kedaerahan, garis keturunan darah biru serta kepemilikan harta belaka. “bagsawan pikiran” adalah kebangswanan yang ditakar dari kepemilikan wawasan pengetahuan, keberpihakan pada ide kemadjoean dan tekad untuk membumikan “kebajikan bersama”. Dalam kosakata filsafat Aristotelian “bangsawan pikiran” adalah kelompok yang berikhtiar keras menjadi manusia utama dan membangun masyarakat utama. Mc Keon dalam buku berjudul An Introduction to Aristotle, menuliskan “ manusia utama tidak terjebak ke dalam bahaya konyol, juga tidak menggemari bahaya. Namun dia siap menghadapi bahaya-bahaya besar dan Jika itu terjadi, dia takkan peduli  pada jiwanya sendiri,karena menyadari bahwa ada keadaan-keadaan di mana jiwa tak lagi berharga dimiliki”. Dengan lain kata, “bangsawan pikiran” adalah manusia utama yang berhasil melampaui kesempitan egonya, kejumudan berpikirnya, kefanatikan terhadap golongannya dan rela mendonasikan dirinya demi kemajuan dan kebaikan bersama.

“Bangsawan pikiran” bukanlah sosok yang dalam istilah Antonie Gramsci sebagai “Intelektual tradisional”, yaitu sekelompok cerdik pandai yang terjebak dalam verbalisme-kultur omong belaka- tapi tak mampu menubuhkan gagasannya dalam gerak, agenda konkrit dan aksi nyata. “Bangsawan pikiran”  bukan pula sekelompok aktivis hyper-aktif, hitam peluh karena seringnya protes di jalan, tanpa dituntun oleh gagasan besar nan luhur. “Bangsawan pikiran” adalah sosok yang tak berhenti berpetualang dalam dunia “gagasan” dan tak pernah kehabisan stamina untuk berkarya dalam dunia “aksi konkret”. Jayalah Mahasiswa, Jayalah Rakyat, Jayalah Indonesia.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

[metaslider id="39673"]