Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Hari ketiga puluh Ramadan, sedih sekaligus bahagia adalah dua perasaan yang menyatu, sulit terurai bahkan sulit terucap, kecuali terekspresikan melalui bulir air mata yang berjatuhan membasahi keteduhan wajah yang terus terbasuh dengan air wudu. Semua ini adalah proses algoritmik sekaligus naluriah yang teraktivasi dari dalam diri semua umat Islam sebagai wujud kemenangan dalam melawan berbagai godaan yang berpotensi menyeret dirinya keluar dari platinum track (jalan ilahiah).
Kurang dari 24 jam, angkasa ini akan bergetar akibat dentuman suara tasbih, tahmid, dan takbir yang menandai kebesaran Allah dan betapa lemahnya diri ini, kita dan semua yang ada di alam semesta. Kurang dari 24 jam, diri kita semua akan tersungkur di hadapan Allah, menyesali dosa-dosa yang telah diperbuat seraya memohon ampunan kepada-Nya. Kurang dari 24 jam, diri kita pun—meskipun persoalan yang satu ini di luar dari wilayah otoritas manusia, namun semua harapan bermuara kepadanya—kita akan kembali suci, bagaikan bayi yang baru lahir dengan potensi fitrah tanpa noda.
Kurang dari 24 jam, semua menyatu tanpa beban setelah anyaman sinar ketulusan untuk saling maaf-memaafkan. Kurang dari 24 jam, kohesivitas sosial menyemburatkan harapan masa depan yang lebih baik tanpa intolenrasi, kekerasan, radikalisme, perpecahaan dan ketidakadilan. Kurang 24 jam, semua tertuju pada harapan besar semoga puncak prestasi spritualitas bisa digapai sebagai bekal menjalani kehidupan selanjutnya. Takwa dan/atau spiritualitas ihsan sebagai puncak prestasi spiritualitas, diharapkan terus melekat, mengiringi, menerangi, menuntun perjalanan umat Islam agar tetap berada di atas garis orbitnya untuk fokus pada akhiratnya sambil menghiasi kehidupan duniawi dengan kreativitas, inovasi, prestasi, dan manfaat tak terbatas berbasis pada kebenaran, kebaikan, dan keadaban.
30 hari telah dilalui. Berbagai proses mulai dari meng-charge, meng-install, meng-activation, meng-update, meng-upgrade, ¬dan me-refresh berbagai potensi dalam diri baik berupa hardware dan software yang telah built-in sebagai satu paket penciptaan diri oleh Allah maupun berbagai hal yang dipandang sebagai peripheral (perangkat tambahan) yang ter-install dan teraktivasi dalam perjalanan hidup, melalui bulan Ramadan, ibadah puasa dan ibadah lainnya, idealnya berlangsung atau terlaksana secara baik dan sempurna.
Dari berbagai proses yang telah dilakukan oleh umat Islam selama bulan Ramadan, idealnya mengalami transformasi diri menjadi manudia digital. Manusia digital, bukanlah dimaknai menjadi robot yang bisa dikendalikan dengan remote control oleh yang lain selain Allah. Manusia digital bukanlah menjadi manusia yang kebebasannya terkungkung atau sebaliknya semakin liar tak terkendali. Manusia digital bukan berarti menjadi manusia yang identik dengan industrialisasi yang terkadang menggiring nalar untuk semata fokus pada sesuatu yang rasional, pragmatis, dan materialistik semata. Manusia digital bukanlah manusia yang dikitari oleh asesoris dunia dan perangkat teknologi semata.
Manusia digital adalah manusia yang mampu membinerisasi dirinya. Suatu jenis bilangan yang hanya terdiri atas angka 1 dan 0. Dari simbol dan binerisasi ini, mengalami proses derivatif dan pemaknaan progresif yang menjadikan 1 sebagai simbol tauhid, simbol kekuatan prinsip akan Kekuasaan dan Kasih Sayang Allah. Dan menjadikan angka 0 sebagai simbol kesucian hati, terbebas dari belenggu, dosa-dosa, orientasi, niat, dan kepentingan yang keluar dari platinum track (jalan ilahi), garis orbit, dan/atau bingkai ridho Allah. Hal ini saya mendapatkan pemahaman yang sangat mencerahkan dari buku kedua Ary Ginanjar Agustian. Baca juga dua tulisan saya sebelumnya yaitu Bulan Ramadan Momentum Menjadi Manusia Digital di Era Digital dan Menjadi Manusia Digital Melalui Bulan Ramadan
Menjadi manusia digital secara praksis adalah menjadi manusia yang terus menyandang dan mengimplementasikan prestasi spiritualitas atau “takwa” yang telah digapainya. Menjadi manusia digital berarti mampu membumikan atau menerjemahkan makna “takwa” kedalam perangkat prosedural operasionalistik yang bukan hanya berorientasi “langit” dan “transendensi” yang berujung pada konversi amalan dan pahala menjadi surga, tetapi mampu mengonversi menjadi amal jariyah yang dirasakan manfaatnya oleh manusia lain yang ada di muka bumi ini. Sebagaimana Islam dimuarakan pada harapan rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta).
Menjadi manusia digital sederhananya adalah mampu menebar cahaya kebenaran, kebaikan dan keadaban di muka bumi ini. Manusia digital pun, mampu menjadi pejuang militan dan kekuatan pengorbanan alam Ibrahim as dan Ismail as. Manusia digital mampu mewujudkan kesabaran militant ala Nabi Ayyub as. Manusia digital mampu menjadi pendakwah yang penus kesabaran ala Nabi Yunus as. Menjadi manusia digital mampu menjadi penentang kapitalisme global ala Nabi Syua’ib as. Manusia digital mampu menunjukkan kekuatan cinta ala nabi Yusuf as. Menjadi manusia digital pun mampu menjiwai spirit pembaruan Muhammad saw.
Menjadi manusia digital, bukan menjadi “anti” kemajuan dan perubahan zaman, namun mampu memberikan nilai untuk menambal, memperbaiki dan menutup segala kekurangan yang ada. Termasuk untuk dalam konteks dunia yang dipandang sedang berlari atau “Dunia yang Berlari” dalam tesis Yasraf Amir Piliang, manusia digital harus mampu menebar cahaya kebenaran, kebaikan dan keadaban.
“Dunia yang Berlari” adalah suatu konsekuensi logis dari perkembangan teknologis informasi dan komunikasi, dan perubahan paradigma atau cara pandang yang tidak lagi berfokus pada aksioma Michael Foucault “Knowledge is power” (pengetahuan adalah kekuatan), tetapi bergeser pada “Speed is power” (kecepatan adalah kekuatan). Kecepatan kini menjadi ukuran suatu kemajuan.
Dunia yang berlari dalam pandangan Yasraf Amir Piliang adalah “Dunia yang berjalan dengan kecepatan yang tinggi, dengan tempo yang meningkat, dengan waktu yang dipadatkan, dengan ruang yang dimampatkan dan dengan durasi yang diringkaskan. Hal ini tidak hanya menjanjikan dan menjamin bagi efektivtas dan efesiensi bagi tugas manusia, namun menimbulkan pula berbagai problem kehidupan.
Dalam “Dunia yang Berlari” menimbulkan persoalan yang amat besar khusus bagi umat yang beragama. Dunia yang berlari, kini menggeser tahap perkembangan nilai dalam masyarakat sampai ke tahap ketiga yang ditandai dengan apa yang disebut dengan fraktal atau viral. Dari tahap ketiga perkembangan nilai ini, seringkali diri kita tanpa kecuali umat Islam mengambil rujukan kebenaran bukan lagi pada pemahaman agama yang sebenarnya, bukan lagi pada ulama yang kredibilitas tidak diragukan, bukan lagi pada pandangan yang memiliki otoritas, tetapi merujuk pada sesuatu yang viral. Apa yang viral, seringkali dianggap atau menjadi sesuatu yang dipandang benar. Secara praksis ini adalah realitas nyata dalam kehidupan, dan secara teoritik telah dipahami bahwa tahap fraktal atau viral, ciri khasnya adalah kehilangan titik referensi. Jadi tidak lagi memiliki referensi yang jelas.
Dunia yang Berlari yang dalam pandangan saya mensejajarkan apa yang dimaknai sebagai era google ala Denny JA, yang telah menyebabkan pergeseran cara pandang keagamaan, dan bahkan sampai menghasilkan data sebagai hasil riset yang bermuara pada kesimpulan yang bisa diparafrasekan “capaian positif atau prestasi yang menunjukkan sikap dan perilaku baik manusia tidak lagi memiliki relevansi atau korelasi positif dengan peran agama”. Terkait ini, bisa membaca pada tulisan saya yang kemarin dengan judul “Bulan Ramadan Mengaktivasi Nalar Ketuhanan dan Kemanusiaan”.
Secara empirik dengan memperhatikan dinamika yang terjadi di dunia virtual terutama melalui media sosial, termasuk kesadaran bahwa informasi dan dinamika yang mendominasi akan memengaruhi nalar, maka di era google atau dalam dunia yang disebut sebagai “Dunia yang Berlari” bisa diwajarkan jika pada akhirnya orang-orang berkesimpulan bahwa agama tidak penting dan terkesan tidak berkorelasi dengan prestasi baik manusia, atau dalam buku Denny JA ditegaskan tidak lagi berkorelasi positif dengan “tingkat kebahagiaan”, “tingkat negara yang bersih dari korupsi”, dan “capaian tingkat kesejahteraan”.
Mengapa saya menyebut “bisa diwajarkan”? Karena sebagaimana kita pahami, bahwa hari ini di tengah dunia yang berlari, atau ruang dan waktu yang ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik, manusia lebih banyak menghabiskan porsi waktunya melalui dunia virtual, sedangkan dunia virtual akibat (termasuk) ulah oknum yang mengaku “beragama” itu lebih sering menyebar narasi yang mengindentikkan agama sebagai “kekerasan” “radikalisme” “ekstrisme”. Dari hal inilah manusia yang dalam dirinya pun terdapat proses algoritmik berdasarkan data-data yang ditangkapnya maka sampai pada kesimpulan bahwa “agama itu tidak penting”. Bagi kita yang beragama, sudah pasti kesimpulan ini membuat kita merasa sedih, kaget, prihatin, dan bahkan tidak percaya, tetapi kita pun tidak bisa menolak dengan keras, karena pada faktanya, agama terkesan tidak memberikan kontribusi atau tidak memiliki korelasi positif untuk perbaikan moral bangsa.
Contoh sederhana saja, kita sebagai bagian dari bangsa dan negara Indonesia, semua menyadari bahwa bukan sebagai negara sekuler, bahkan lebih identik sebagai negara religious namun dalam realitas empirik hal itu belum bermuara pada kemajuan bangsa, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Apalagi dalam buku Denny JA, mengungkapkan sebagai argumentasi penegasan dan mungkin saja sebagai bentuk keprihatinan dirinya, bahwa ada tiga menteri agama yang terjerat kasus korupsi. Ini memang sangat menyedihkan.
Dari berbagai persoalan itu, maka kita seharusnya atau sejatinya telah menjadi manusia digital melalui bulan Ramadan, untuk selanjutnya mampu menebar cahaya kebenaran, kebaikan, dan keadaban di tengah kondisi “Dunia yang Berlari” itu.
Dengan menjadi manusia digital, kita tidak hanya menaklukkan ruang dan waktu dengan kekuatan elektromagnetik sebagai prasyarat bahkan bisa dipandang sebagai aksioma era digital. Namun manusia digital pun harus menaklukkan setiap ruang dan waktu dengan ridho Allah, dengan akhlakul karimah, dengan spiritualitas ihsan, dan barometer ketakwaan.
Jika kita mampu menaklukkan ruang dan waktu bukan hanya dengan kekuatan elektromagnetik, tetapi dengan Kekuasaan, Kasih Sayang, dan Ridho Allah, maka yakin saja, dunia yang dipandang “Dunia yang Berlari” atau era digital, era google, revolusi industri 4.0, akan terbebas dari berbagai dampak negatif yang selama ini menyesatkan dan menyesakkan, seperti—contoh sederhana saja yang tidak asing bagi kita semua—hoax,dan post truth. Termasuk Indonesia yang identik dengan umat Islam terbesar di dunia, tidak pernah lagi ada riset sejenis riset Microsoft yang akan sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia adalah netizen paling tidak sopan atau tidak beretika.
Jika tulisan ini harus saya singkat, maka manusia digital dalam dunia yang berlari akan menaklukkan ruang dan waktu, selain dengan kekuatan elektromagneti, termasuk pula dengan Kekuatan, Kasih Sayang, dan Ridho Allah, sehingga senantiasa menebarkan cahaya kebenaran, kebaikan, dan keadaban.
Alhamdulillah pembaca telah sampai pada titik akhir tulisan hari ketiga puluh Ramadan tahun 1443 H ini, semoga senantiasa memberikan manfaat. Dan tidak lupa pula, saya atas nama pribadi dan keluarga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1443 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.