Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah*
Lalu apa kira-kira mata pelajaran masa depan yang seharusnya dimulai dari sekarang untuk diajarkan kepada generasi saat ini. Dengan kata lain, mata pelajaran tertentu apa yang harus dipelajari oleh peserta didik dan memiliki filosofi pada pelajaran tersebut. Padahal peradaban telah maju seperti sekarang, tapi kemampuan kita di Indonesia masih sangat kurang dalam hal pemanfaatan teknologi dan kegiatan melek menulis.
Salah satunya, ada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Creative Writing yang saya cukup berpengalaman terlibat untuk itu. Proses kreatif begitu penting untuk diajarkan kepada siswa. Filosofinya adalah bahasa adalah kunci membuka jendela peradaban IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni) sekarang, sebab “all thing uses the power language” seperti bahasa Inggris, Mandarin, dan lainnya. Kita tidak bisa membuka pintu peradaban tanpa memiliki kuncinya. Silahkan dibaca tulisan sebelumnya Masa Depan Negeri Pendidikan: Pembebasan Pendidikan Merdeka (Bagian 1)
Hanya saja, peradaban yang begitu kompleks saat ini, dibutuhkan kekuatan analisa yang kuat dapat dimiliki siswa. Sebab zaman ini adalah zaman yang berlari. Dalam istilah Yasraf Amir Piliang, penulis buku Dunia yang Dilipat, seorang Profesor kebudayaan dan akademisi dan pengamat sosial ITB, segalanya begitu cepat berubah.
Budaya pop berseliweran, antara berita atau informasi kredibel dengan hoaks sudah sangat campur aduk. Dan untuk mengantisipasi itu, kita butuh kemampuan banyak membaca dan memahami satu bacaan atau teks yang ada di sekitar kita. Mempelajari logika dasar, agar tidak tenggelam dan ditinggalkan oleh zaman sekarang; ditinggal secara ekonomi, sosial, pun oleh budaya.
Meskipun telah banyak sekolah saat ini mengajarkan bahasa Inggris ditambah Mandarin. Kemudian pada jenjang SMP pun diajarkan teknologi sedangkan di SMA diajarkan untuk mengenal dan mengembangkan potensi minat peserta didik; menurut saya creative writing sebagai mata pelajaran perlu diajarkan kepada siswa sejak sekarang.
Menulis sangat penting selain ia menjadi media komunikasi tulis, si sisi lainnya adalah sumber kemampuan yang mesti dikuasai di zaman serba berubah saat ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang di dalamnya berisi banyak pencipta monumen sejarah atau budaya tulis-menulis di media kertas atau elektronik.
Tanpa itu, kita tidak mampu menyebarkan pengetahuan, kemajuan, teknologi dan ingatan masa kini untuk masa depan yang lebih baik. Di mana-mana, di negara-negara maju itu pasti rata-rata siswanya punya kebiasaan menulis. Ini jika kita mau menjadi bangsa yang maju, maka harus mau dan belajar menulis.
Katakanlah banyak sekolah sudah memiliki pengajar di bidang yang disebut di atas, namun itu belum cukup untuk menghadapi situasi tantangan masa sekarang dan mencapai tujuan dan visi misi kurikulum pendidikan yang selalu berubah, disebabkan terus berubahnya isi peradaban umat manusia sekarang. Dibutuhkan “idea exchange atau rembuk gagasan” antar guru dari berbagai disiplin ilmu dan pengalaman yang berbeda-beda demi membuka perspektif baru dalam menyediakan pembelajaran, khususnya membuat mata pelajaran creative writing ini dan mata pelajaran lain yang berkualitas.
Ujungnya adalah agar mampu kita sama-sama saling melahirkan generasi yang kritis, cerdas, dan berdaya saing menghadapi dunia global saat ini. Terdapat indikator lain tentang bagaimana strategi yang tepat agar murid bisa dalam mata pelajaran dan dapat memiliki nilai yang memuaskan. Padahal ini menjadi pertanyaan yang banyak sekali cara atau pendekatan untuk bisa diterapkan di dalamnya.
Untuk menaikkan nilai siswa terhadap pelajaran adalah satu proses yang mesti terukur dan jelas. Dibutuhkan kerja sama semua pihak yaitu pihak sekolah, guru, dan siswa sebagai satu kesatuan yang mesti terlibat aktif mewujudkan cita-cita tersebut.
Tidak ada yang terasa sulit bagi siswa jika sejak awal mereka telah menyukai-atau jika sebelumnya belum menyukai menjadi menyukai-apa yang kita ajarkan. Maka yang terpenting dalam mengajar adalah kemampuan guru terhadap materi yang akan diajarkan, dibarengi sikap sabar, dan ikhlas, tidak lupa memiliki harapan terbaik untuk dapat melihat mereka meraih cita-cita.
Humor dan Kepedulian Jalan Memunculkan Cinta dan Rasa Bebas Murid
Lalu korelasi pembelajaran, dan sisi diri, serta lingkungan siswa yang seperti apa yang akan dapat kita jelaskan pada siswa, agar mereka benar-benar mau menyukai pembelajaran yang diajarkan?
Menurut penelitian, siswa lebih menyukai humor dibandingkan guru yang belum mempunyai selera humor. Hubungan pembelajaran creative writing dan mata pelajaran lainnya ini, bersama diri siswa, dan lingkungannya begitu erat kaitannya sebab jika salah satu belum dipetakan oleh guru maka apa yang guru ajarkan akan tidak tersampaikan secara efektif kepada siswa, bahkan bisa jadi menjadi kurang disukai bagi siswa.
Makanya dibutuhkan selingan humor sesekali, seperti cerita pendek lepas semacam cerpen yang kita ceritakan, jika situasi waktu saat di kelas memungkinkan, maka kita butuh menjadwalkan menit ke berapa cerita itu tepat diceritakan kepada siswa di dalam kelas. Humor bisa semacam ketegasan padahal isinya tidak tegas, atau cerita yang memunculkan rasa penasaran siswa, atau cerita lucu yang awalnya tidak tertebak oleh pendengar. Atau cerita yang tidak masuk akal, tapi mesti dipahami oleh siswa itu juga menurut saya bisa menjadi selingan dalam kita menghadapi siswa dan orang lain.
Setelah kita mengetahui latar belakang siswa yang kita ajar, maka kita akan tahu lingkungan mereka baik di rumah atau keluarganya pun di lingkungan permainannya. Saat kita telah mengetahui lingkungannya, kita bisa mendekati dan mereka pun kan dekat kepada gurunya maka kita akan terus mendukung secara positif apa saja kesukaan mereka yang positif dan menanamkan mata pelajaran yang kita ajarkan agar mereka dapat terus menyukainya. Pada akhirnya mereka dapat terus mempelajari atau setidak-tidaknya mampu memahami pembelajarannya.
Perkara hati ini tidak jarang kita menemukan bahwa di satu sisi dapat pula ada siswa yang terindikasi tidak suka kepada guru atau materi yang disampaikan, maka pendekatan kita kepada siswa tidak perlu terlalu membuat mereka sampai merendahkan atau menggampangkan materi yang kita ampu atau menggampangkan personal-diri guru di mata mereka. Hanya karena banyak siswa merasa sudah dekat dengan guru, sehingga membuat mereka mudah merendahkan atau meremehkan keilmuan atau pengalaman gurunya sendiri.
Ini menjadi tantangan, sebab bisa jadi si murid itu memang menemukan ketidakpercayaan-jika tidak ingin disebut ketidakmampuan-si guru dalam kegiatan belajar mengajar yang ia dapat nilai. Namun, di sisi lain barangkali si murid sendiri kurang memiliki karakter terpuji yang memadai (attitude) dalam perilaku atau sikapnya.
Ini tantangan sekaligus kritik bagi guru dan sekolah untuk mampu mendekati secara personal ke anak dan mampu memperbaiki materi yang ingin diajarkan, namun juga tugas orang tua sebagai madrasah pertama bagi anak. Orang tua wajib mengarahkan anak sekuat tenaga; dengan keterampilan kelembutan dan ketegasan memilihkan lingkungan yang baik untuk anak.
*Penulis, Direktur Eksekutif Salaja Pustaka Institute