Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BeritaOpiniSastraTablighTokoh

Massa 212: Kerumunan Kah?

×

Massa 212: Kerumunan Kah?

Share this article
Fajlurrahman Jurdi

Oleh: Fajlurrahman Jurdi (Dosen Fakultas Hukum UNHAS)

KHITTAH.CO, MAKASSAR — Ketika saya membaca kembali serpihan argument Elias Canetti dalam Crowds and Power (1984), rumusan-rumusannya memang agak rumit, ia menghukum massa sebagai kumpulan tak beradab, gampang tersulut emosi dan mereka dituding “tak punya kesadaran”. Argumen ini memperoleh legitimasi yang kuat saat-saat demontrasi dibawah terik matahari, lalu memaki kekuasaan dan bila massa itu membesar, mereka bisa semakin menakutkan. Kemarahan massa bisa “meludahi” semua kebenaran, menghancurkan iman individual. Seseorang yang melebur menjadi massa, tak dapat disangkal, kesadaran individualnya mengalami absurditas, dan pada titik yang paling rendah, ia tak memiliki kesadaran.

Anda dapat membayangkan bila sekelompok orang dalam jumlah yang besar tak dikendalikan oleh kesadaran. Atau anda bayangkan bila lautan manusia dalam kerumunan dikendalikan oleh emosi. Ia bisa menjadi brutal.

Sekelompok kecil orang yang demo di depan balaikota DKI Jakarta menolak aksi 212 misalnya, adalah contoh kecil dari massa yang juga sangat kecil, bahwa betapa mereka berusaha mengendalikan “kesadaran”nya. Ucapan verbal seorang peserta yang diulang-ulang diberbagai media, menunjukan bahwa ia mulai “kehilangan kesadaran”, karena ia tau betul, ancaman yang ia keluarkan untuk membuat keributan ditengah lautan massa 212 merupakan “kepanikan” massa. Ia sebenarnya individu yang sadar ketika ia menarik diri dari massa, namun saat emosinya tersulut ditengah massa, ia menjadi kelihatan marah-marah. Jika massa yang lain ikut, maka tak dapat dihindari, sikap “homo natural”, atau manusia alami yang berkehendak bebas tanpa memperdulikan norma tak terhindarkan. Kekerasan menemukan habitatnya pada situasi seperti ini.

Kita pernah menemukan sejarah massa yang paling real “menghancurkan” adalah saat reformasi 1998 berlangsung. Itu adalah massa yang berpadu dengan semua problematikanya. Tidak saja karena kelaparan, tetapi juga karena kejengkelan pada rezim. Tidak saja karena putus sekolah sebab kurangnya biaya, tetapi Karena pengetahuan yang ditanamkan menjadi tunggal dan perbedaan menjadi haram selama rezim berkuasa. Orang-orang yang dipaksa diam selama puluhan tahun bicara nyaring pada saat bersamaan, mereka meletup dalam gemuruh suara lautan manusia. Semua saat sendiri mereka sadar, tapi saat bergabung bersama massa, mereka semua kehilangan kesadaran.

Tak terelakkan lagi, “kebakaran terjadi di segala sudut, umpatan dan makian tak bisa dihentikan, kerusuhan menyulut api dan jatuh korban”. Rezim ambruk tanpa daya, massa menang dalam pekikan yang tak pernah dibayangkan sepanjang 32 tahun dibawah bayang-bayang kekerasan dan fasisme rezim.
Demo-demo mahasiswa di Makassar misalnya, kelihatan bahwa individu yang melebur menjadi massa kehilangan kendali. Tak peduli sebelumnya ia moralis, saat menjadi massa, ia bisa menjadi provokatif. Tanpa perlu disuruh, bila melihat yang lain melakukan kekerasan, ia akan ikut tanpa menanggung beban kesalahan. Pada titik ini, Canetti menemukan basis argument teorinya diaktualisasikan di berbagai tempat diseluruh dunia, terutama dari gerakan pro demokrasi.

Meskipun kritik datang dari berbagai ahli lain, Canetti tentu saja tetap menjadi rujukan bagi penulis-penulis yang melihat dan membelajari massa sebagai sesuatu yang sublim dari kehidupan sosial.

Tetapi, saya ulang, tetapi ada yang “different” dari massa 212. Atau dengan kata lain, bahwa crowds yang dikhawatirkan Canetti tidak terjadi, malah lautan manusia yang konon disebut 7 jutaan orang itu bergerak tanpa memperlihatkan indikasi apapun dari kekhawatiran Canetti. Ketenangan, tertib, sikap saling menghormat, dan tentu saja ketaatan mereka pada ketertiban bersama menjadi bagian terkecil dari sukses berkumpulnya massa yang maha dahsyat itu.

Apakah karena mereka berkumpul karena “iman”?. Ataukah karena berangkat dengan “niat” untuk bersatu?. Bukan untuk membenci siapapun?. Para penulis mesti mencari alasan, bahwa kesadaran orang-orang ini berkumpul dan menjaga sehingga berakhir tanpa meninggalkan jejak luka penting diuraikan. Jika mereka berkumpul karena kekuasaan, tinggal sejengkal mereka mengepung Istana, Presiden akan terjungkal dengan cara mengerikan. Tetapi mungkinkan mereka akan berkumpul karena politik?. Jika karena politik, pasti tidak akan sebanyak dan se tertib itu manusia yang berkumpul. Ada nalar manusia yang tak bisa menjelaskan ini. Mereka bisa disebut kerumunan, tetapi mereka jauh lebih tertib dari sekedar itu. Mereka datang karena “kehendak bebas” dan “panggilan hati”. Mereka datang dengan tertib dan mengakhirinya dengan tertib.

Wallahu a’lam bishowab.
Makassar, 3 Desember 2018.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply