Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, OPINI– Rasa syukur mengalir deras dari setiap hati umat Islam, bermuara dalam telaga kebahagiaan. Begitu pun frekuensi pikiran menghasilkan resonansi kelembutan, keteduhan dan keheningan untuk mengaktivasi gelombang (otak) alpha dan theta sehingga terjadi pelipat-gandaan kebahagiaan dibalik keindahan dan kesejukan telaga jiwa.
Tiga puluh hari lamanya, dan hari ini adalah hari terakhir, kita telah mengasingkan diri dari godaan egoisme, hedonisme dan materialisme ke dalam “gua” religiousitas-spiritualisme. Insya Allah besok kita akan melanjutkan perjalanan, dan diawali dengan orkestrasi kemenangan yang ditandai dengan simfoni suara tasbih, tahmid dan takbir yang menggema serta menggetarkan angkasa raya dan meresap dalam relung jiwa kita.
Sampai pada titik goresan dan untaian ini, tak terasa butir-butiran air mata, meluap membasahi wajah. Menekan tombol tuts laptop sambil menyeka bulir air mata ini. Inilah keindahan narasi yang saya rasakan, atau mungkin, ini adalah percikan dari yang Maha Indah, sebagai hasil proses algoritma alam bawah sadar yang di dalamnya narasi-narasi telah menyatu dalam big data dan esoterik God relation. Atau sejenis religious experience yang dinarasikan oleh William James dan dialami para sufi, meskipun dalam konteks, dimensi, porsi dan versi yang berbeda.
Tiga puluh hari, sesungguhnya adalah waktu yang sangat cukup untuk meng-upgrade, meng-update dan me-refresh diri agar apa yang terinstal dan teraktivasi compatible dengan operating system (OS) “iman” yang telah built-in dalam chip diri yang bernama “hati”. Setelah ini, diri umat Islam akan mampu mencapai quantum ikhlas. Ibarat atom, di dalam quantum ikhlas—berdasarkan perenungan saya—mengandung “iman” dan “takwa”.
Selama tiga puluh hari Ramadan, saya dan kita telah mencelupkan diri dalam samudera spiritualitas dan mengaktivasi berbagai potensi dahsyat dalam diri, untuk membutkikan kebenaran ayat-ayat qauliyah dan kauniyah Allah. Sungguh tuntunan dan kebenaran itu nyata. Tidak ada yang sia-sia demi kesuksesan dan kebahagian manusia sendiri. Dari sini, pantaslah kita, menyentak kesadaran diri sendiri, dengan pernyataan dan pertanyaan, “maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Ini diulang sebanyak 31 kali dalam QS. Ar-Rahman [55].
Selama tiga puluh hari pula, saya dengan ikhtiar dan karya sederhana telah menyingkap cahaya Ramadan dan menorehkan narasi-narasi kehidupan sebagai sepercik ibrah. Ternyata selama ini, ada yang luput, terlupakan, terlewatkan bahkan tenggelam dalam kubangan peradaban. Sungguh hidup ini berawal dari sebuah narasi dan akan senantiasa abadi melalui narasi.
Torehan narasi-narasi yang menemani para pembaca dalam rentang dimensi waktu antara menahan selera dan dahaga kenikmatan untuk berbuka puasa, kini, hari ini, telah cukup tiga puluh hari mengisi ruang jiwa dan pikiran untuk melengkapi big data bahwa sungguh ayat-ayat Allah benar adanya. Dan semua itu bermuara untuk kebutuhan dan kepentingan manusia dan umat Islam itu sendiri.
Tiga puluh narasi kehidupan, telah mampu menyingkap spektrum cahaya Ramadan, menarik dimensi esoterik dan transendensi dari setiap tuntunan, amalan dan ritual kemesraan dengan Allah. Tidak berhenti hanya sampai pada dimensi “langit” untuk dikonversi menjadi “surga” sebagai balasan. Beyond, melampaui dari itu, narasi tersebut telah mampu melakukan transformasi makna dari normativitas ke historisitas. Sehingga bukan hanya balasan pahala yang disimbolkan dengan “surga”, melainkan personal dan social strength (ketangguhan pribadi dan sosial) bisa diraih.
Bukan hanya itu, narasi tersebut telah menyingkap cahaya kebenaran puasa dan Ramadan, mengapa Allah, memanggil “wahai orang-orang beriman” untuk berpuasa dan menjanjikan sebuah harapan mulia yaitu “takwa”. Dalam rentang relasi dari “iman” ke “takwa” ada hal yang luar biasa, dan berhasil terungkap. Satu hal, bahwa sungguh diri ini pun tidak pernah menyangka sebelumnya, betapa dalam narasi kehidupan yang bisa digali dari ayat-ayat Allah.
Dalam rentang relasi dari “iman” ke “takwa” tersebut, ada sejenis habitus ala Pierre Bourdieu. Dan saya menemukan antitesa dari “habitus jahil” Asratillah. Meskipun yang saya harapkan menjadi sebuah habitus, mungkin selama ini masih asing atau seperti dalam bahasa saya di atas, masih seringkali luput, terlupakan, terlewatkan atau sudah tenggelam dalam kubangan peradaban. Padahal ini memiliki urgensi dan implikasi besar dalam mengasah iman dan mengonstruksi ketakwaan.
Habitus, di dalamnya mengandung dua proses internalisasi eksterior dan eksternalisasi interior. Kedua proses ini, memiliki kedalaman pemahaman dan makna bahkan mengandung implikasi luar biasa dalam konteks implementasi dalam realitas diri dan kehidupan sosial.
Internalisasi eksterior yang saya maksud adalah menyerap realitas eksternal, termasuk berbagai narasi dan normativitas agama yang secara fungsional mampu mengasah dan mengupdate dan merefresh kekuatan iman. Dari kekuatan iman yang telah mengalami proses updating dan refreshing akan mampu meng-upgrade untuk melahirkan potensi dahsyat lainnya dalam diri.
Tiga puluh narasi yang telah saya persembahkan untuk menemani kita semua selama Ramadan, harapannya adalah menjadi tuntunan bagaimana memperkuat proses internalisasi eksterior tersebut. Mungkin saja, akan ada yang menilai sebagai “Fikih Puasa dan Ramadan Perspektif Kontemporer” yang sangat berbeda dengan narasi-narasi para da’i di mimbar masjid selama ini dan dalam bulan Ramadan.
Dari ini, pembaca telah mendapatkan pencerahan, bahwa ternyata puasa bukan hanya, berdimensi dan berorientasi normativitas, “melangit” dan proses konversi pahala menjadi surga semata. Begitu pun zakat tidak hanya dimaknai sebagai proses penyucian jiwa dan harta, melainkan sebuah strategic collaboration yang akan membangun kohesivitas sosial dan interdependensi tanpa dominasi.
Dalam puasa dan Ramadan, kita sesungguhnya telah mejalankan sebuah law of attraction dari efek dahsyat filosofi habits. Berpuasa sesungguhnya adalah proses charge full kehidupan, sehingga jika bulan-bulan sebelumnya spiritualitas mendekati kondisi kritis, melaluinya kembali mendapatkan asupan gizi.
Dalam bulan Ramadan dan melalui prose berpuasalah, kita telah memahami bahwa ternyata niat bukan hanya proses konversi amalan atau kewajiban menjadi pahala kebaikan semata. Niat mampu mempengaruhi reaksi kimiawi tubuh. Setelah itu kita memahami dan merasakan titik temu kebenaran ayat qauliyah dan kauniyah Allah.
Bulan Ramadan dan puasa, bukan hanya menjelaskan disposisi sikap dan melampaui The 7 Habits Stephen R. Covey, tetapi ternyata mampu mengaktivasi laws of happiness. Dan ketika hukum kebahagiaan ini aktif, akan mampu membangun kedahsyatan otak agar diri ini menjadi manusia cerdas dengan ide-ide yang cemerlang.
Puasa pun sesungguhnya menjadi madrasah wasatiyatul Islam, dan di dalamnya kita akan mampu membangun moralitas bangsa. Kedua hal ini penting untuk menjaga Indonesia yang identik dengan pluralitas. Puasa pun mampu menjadi basis teologis dan psikologis pendidikan Rahsa, dan ini adalah modal besar untuk hidup di alam Indonesia yang identik dengan pluralitas sebagai realitas dan keniscayaan.
Ramadan dan puasa telah mengaktivasi keseimbangan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritualitas. Puasa pun secara teologis, telah mengembalikan manusia ke titik fitrahnya. Dalam bulan Ramadan ini, kekuatan malam, the power of night senantiasa mampu ditangkap selain cahaya Al-Qur’an itu sendiri sehingga akan mampu mewujudkan “Islamic Character Building”.
Puasa mampu mengaktivasi gelombang otak manusia yang dahsyat yang memiliki hubungan dua arah dengan kondisi diri dan perintah menjalankan kewajiban dari Allah. Hubungannya menciptakan relasi yang saling menguatkan. Sehingga jika ini mampu dijaga, maka akan terus bergelinding bagaikan bola salju, semakin hari semakin dahsyat.
Setelah keimanan dan segala potensi dahsyat telah dipahami dan teraktivasi, maka lahirlah kekuatan potensi ketakwaan tersebut. Selanjutnya iman dan takwa menjadi modal untuk melanjutkan perjalanan.
Perjalanan yang akan kita lewati adalah dunia yang laksana samudera luas. Luqman (sosok manusia istimewa yang namanya diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an) memberikan petuah kepada anaknya:
“wahai anakku sungguh, dunia ini laksana samudera luas. Telah banyak orang yang tenggelam di dalamnya. Maka, jadikanlah perahumu di dalamnya adalah ketakwaan kepada Allah, isinya adalah iman, layarnya adalah tawakkal kepada Allah. Semoga engkau selamat. Aku khawatir kamu tidak selamat.
Betapa pentingnya iman dan takwa, sehingga Luqman, sosok manusia istimewa itu memberikan petuah kepada anaknya. Selain kedua hal ini sebagai modal, Luqman pun menegaskan tawakkal kepada Allah. Tawakkal ini relevan dalam tulisan-tulisan saya yang menegaskan tentang “mengokohkan prinsip”, “menjadi manusia digital”, “ketangguhan pribadi”.
Setelah proses internalisasi eksterior yang pada dasarnya secara esensial mengokohkan iman, mentransformasi, mentransmisi dan mengonversi segala nilai yang terkandung di dalamnya untuk menjadi takwa. Selanjutnya ketakwaan itu harus diproses dalam eksternalisasi interior.
Melanjutkan perjalan pasca Ramadan, idealnya melibatkan dimensi psikologis, kekuatan visualisasi, menancapkan harapan dan meneguhkan do’a bahwa kita akan mampu melewati perjalanan itu dan sampai di ujung perjalanan sebagai sebuah ultimate goals.
Prinsip to see dalam konsepsi change ala Rhenald Kasali, harus hadir mengiringi perjalan ini. Mau tidak mau, setuju atau tidak, kita akan melanjutkan perjalanan sehingga kita akan melakukan langkah kedua Rhenald Kasali to move. Bergerak.
Bagi umat Islam, to move yang dilakukan harus di atas platinum track (jalan sukses ilahiah) yang telah ditemukan kembali selama Ramadan. Meskipun kita telah berjalan di atas platinum track, iblis sebagaimana harapan dan izin yang diberikan oleh Allah akan senantiasa melakukan godaan-godaan yang menyesatkan. Bahkan seringkali memanfaatkan gelombang otak beta dan kelemahan terutama nafsu manusia.
Umat Islam dalam perjalanannya, harus mampu senantiasa melakukan konversi perasaan dan pikiran, sebagaimana telah dilakukan selama bulan Ramadan. Agar mampu mengonversi niat, harapan, kemauan, keinginan negatif untuk merubah dan menjadi hal positif.
Dalam perjalanan umat Islam di atas platinum track-nya bukan hanya mengutamakan kesalehan personal (vertikal) tetapi termasuk kesalehan sosial. Sehingga tidak hanya mempertahakan personal strength (ketangguhan pribadi) yang telah diperoleh selama Ramadan, tetapi harus menjaga ketangguhan sosial (social strength).
Beberapa upaya menjaga ketangguhan sosial (social strength) di antaranya: menjaga pendidikan rahsa, illative sence, phronesis yang telah ditemukan basis teologis dan psikologisnya melalui cahaya Al-Qur’an selama Ramadan. Selain itu meneguhkan “jihad literasi” sebagai etos peradaban dengan terus melahirkan narasi-narasi kehidupan.
Narasi-narasi kehidupan sebagai wujud nyata dari “jihad literasi” adalah salah satu upaya sederhana meng-counter dampak negatif dunia virtual dan post truth yang senantiasa menyesa(t/k)kan umat manusia, menggerogoti ketakwaan, ke-tawakkal-an yang bisa menyeret umat Islam untuk keluar dari platinum track-nya.
Selain daripada itu umat Islam harus terus menjaga kohesivitas sosial untuk saling memberi, mengeluarkan potensi ilahiah, Rahman-Rahim-nya Allah dalam kehidupan sehingga persatuan dan keadilan sosial mampu ditegakkan. Sesungguhnya ketakwaan yang telah Allah sematkan dalam diri hamba-Nya bukan hanya untuk kepentingan pribadi dalam bentuk ibadah ritual, tetapi lebih daripada itu adalah kesalehan sosial.
Bagi saya, menulis, berbagi ilmu (termasuk melalui media sosial/online) ini, adalah salah satu kesalehan sosial yang harus saya dan kita jaga dan rawat bersama. Apalagi kita sedang menghadapi kondisi kehidupan, dimana manusia waktunya lebih banyak dihabiskan di dunia virtual. Dan kita telah menemukan tesis bahwa, di dunia virtual kesadaran kritis kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini yang tidak berpijak pada ilmu pengetahuan yang secara faktual kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan.
Iman dan takwa, sebagai bekal untuk melanjutkan perjalanan bukan hanya berdimensi personal dan surga semata. Keduanya harus mampu ditransformasi dan ditransmisikan ke dalam realitas sosial untuk menjadi solusi atas setiap problematika kehidupan. Bagi yang langsung membaca tulisan terakhir saya, tiga puluh Ramadan ini, saya persilahkan untuk membaca tulisan-tulisan sebelumnya, dari hari pertama Ramadan sampai tulisan kedua puluh sembilan Ramadan lainnya. Tujuan dan harapan saya agar mendapatkan pemaknaan iman dan takwa serta segala piranti pelengkapnya yang sangat bermanfaat dalam kehidupan. Untuk melengkapi dan menyempurnakan sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya, saya dan keluarga menyampaikan permohonan maaf lahir dan batin.
*Agusliad Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023.