Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, OPINI- Umat Islam Indonesia, hidup di tengah kondisi bangsa dan negara dengan kebhinekaan, kemajemukan atau pluralitas sebagai sebuah realitas dan keniscayaan. Bahkan dalam pandangan teologis, ini adalah takdir ilahi. Menolaknya apalagi hidup dengan—apa yang disebut—“moralisme partikular” (menghindari atau menolak realitas tersebut) adalah pilihan tidak tepat dan sama saja menolak takdir Allah.
Inilah salah satu pemantik kesadaran kebangsaan dan ideologis para founder fathers. Dan telah menjadi embrio sebagai genius nusantara yang merupakan bagian dalam konstruksi bangunan ideologi, falsafah bangsa dan dasar negara yang mengerucut pada lima sila yang disebut “Pancasila”.
Membaca fase “pembuahan”, “perumusan” dan “pengesehan” Pancasila sebagai meja statis dan leitstar dinamis bangsa dan negara Indonesia, saya menemukan di antara “tumpukan” kesadaran yang menginspirasi kelahirannya adalah—salah satunya—“rukun Islam”. Pancasila mendapatkan percikan spirit dari “rukun Islam”, mungkin frase ini yang lebih mudah dipahami.
Ada dua sila dalam Pancasila, ketika saya menarik garis relasi dengan salah satu rukun Islam, menemukan momentum yang tepat dalam bulan Ramadan, tetapi bukan sekedar memanfaatkan peluang. Melainkan ini memiliki basis teologis dan ideologis yang sangat kokoh dan memiliki korelasi positif serta implikasi besar untuk kemajuan suatu bangsa terutama dalam konteks Indonesia yang sangat plural.
Dua sila dalam Pancasila, yang saya maksud adalah sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, dan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Kedua sila ini, memiliki korelasi positif yang sangat dekat dan ketat. Persatuan Indonesia, akan semakin kokoh ketika keadilan sosial hadir bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan sebaliknya keadilan sosial akan tercapai jika terdapat kesadaran—yang saya istilahkan—“persatuan tanpa syarat”.
Lalu apa relasinya dengan rukun Islam? Dan rukun Islam yang mana dimaksud dalam konteks tulisan ini untuk mewarnai spirit dua sila Pancasila di atas? Jawaban saya adalah rukun Islam keempat, “mengeluarkan zakat”.
Sebelum lanjut membahas zakat sebagai basis, energi atau etos kohesivitas sosial dan interdependensi (tanpa dominasi). Terlebih dahulu saya ingin mengingatkan bahwa selama beberapa hari Ramadan sebelumnya, termasuk melalui tulisan-tulisan saya, telah menegaskan dimensi kesalehan personal (vertikal).
Selain itiu, melalui berbagai instrumen atau piranti yang built-in dalam diri, diperkuat dengan internalisasi makna transendensi atau esoterik dari ibadah-ibadah yang dilakukan, telah cukup bahkan lebih dari cukup untuk membangun personal strength (ketangguhan personal). Kini setelah personal strength yang bukan hanya dipahami secara teoritik tetapi menjadi praxis (praksis), maka penting di penghujung Ramadan untuk mengingat satu hal yang akan memperkokoh social strength (ketangguhan sosial).
Sosial strength (ketangguhan) sosial dalam bahasa ideologis dan falsafah bangsa dan dasar negara Indonesia, adalah ketika “Persatuan Indonesia” dan “Keadilan Sosial” terwujud dengan baik. Tidak menimbulkan garis oposisi biner yang justru secara diametral memiliki titik yang berjauhan. Saling berkorelasi positif.
Untuk membangun ketangguhan sosial, bagi saya diperlukan langkah yang mampu menjaga kohesivitas sosial dan variabel “interdependensi”—meminjam istilah Arvan Pradiansyah. Saya memahami dan mengharapkan interdependensi yang mampu bermuara pada dua sila Pancasila di atas dan termasuk dalam apa yang disebut “social strength” adalah “interdependensi tanpa dominasi”.
Ary Ginanjar Agustian, memberikan makna progresif tentang zakat. Bagi Ary Ginanjar zakat adalah merupakan strategic collaboration. Selain itu zakat/ber-zakat dipandang sebagai “aktivitas yang selaras dengan suara hati dirinya, dan bukan merupakan paksaan batiniah.
Dengan tiupan ruh dari Allah sebagai sebuah keniscayaan dalam diri manusia dan bahkan ini adalah chip dasar yang built-in dalam diri, sejatinya manusia memiliki rekaman sifat-sifat Allah dalam God Spot-nya. Dan Ary Ginanjar menegaskan, salah satu sifat tersebut adalah “dorongan/motivasi untuk bersikap rahman-rahim atau pengasih dan penyayang.
Setelah saya memahami makna progresif zakat ini, terbangun sebuah kesadaran baru bahwa sesungguhnya zakat bukan hanya “membersihkan jiwa dan harta” sebagaimana narasi-narasi motivatif sebagian da’i selama ini. Yang seakan berujung dan menggiring kita untuk selalu berada dalam mekanisme kalkulatif, pragmatik dan kapitalistik pahala dan kebaikan untuk selanjutnya dikonversi menjadi “surga” sebagai balasan.
Zakat harus menjadi refleksi dan implikasi nyata dari sifat kasih-sayang Allah yang telah ditiupkan dalam diri manusia. Zakat atau berzakat bagian daripada wujud dan komitmen dari mandat kosmis yang telah dibawa dan bahkan sebagai prasyarat awal kehadiran diri kita selaku manusia di muka bumi ini.
Lebih dari itu, zakat sesungguhnya adalah basis, embrio, energi bahkan menjadi sebuah etos untuk membangun kohesivitas sosial dan interdependensi tanpa dominasi. Ini mampu mewujudkan social strength (ketangguhan sosial) yang bermuara pada “Persatuan Indonesia” dan sekaligus terwujud “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Kohesivias sosial saya memaknainya suatu hal yang mempererat, mengikat tatanan sosial oleh suatu dorongan yang berbasis pada kondisi alamiah, amaliah dan ilmiah, penuh kesadaran tanpa keterpaksaan dan intervensi pihak tertentu.
Seringkali ikatan sosial yang terbangun selama ini adalah ikatan yang bersyarat, terbatas dan berorientasi untuk kepentingan sepihak dan golongan tertentu. Ikatan sosialnya dibatasi oleh sekat primordial, sehingga jika ukurannya adalah sila ketiga “Persatuan Indonesia”, menjadi tidak utuh, karena Indonesia memiliki dimensi primordialisme yang sangat beragam. Dampak lanjutan dari ini sulit tercapai “keadilan sosial”.
Interdependensi tanpa dominasi, saya memaknainya adalah sebuah relasi kesaling-tergantungan antara satu dengan yang lainnya, bukan karena keterpaksaan dan intervensi, tanpa posisi “superioritas-inferioritas”. Di dalamnya terpancar sebuah energi simbiosis-mutualisme dan ruang kebebasan mengekspresikan “kehendak bebas” yang ada dalam diri mereka masing-masing.
Seringkali interdependensi yang hadir di tengah kehidupan justru membangun variabel hubungan superioritas-inferioritas. Atau ada yang menduduki posisi subordinat. Berarti ini menggambarkan interdependensi yang mendominasi. Ada orang yang berada dalam posisi, terpojok, terpaksa, tertekan, dan dirugukan sehingga tidak bisa melepaskan potensi “kehendak bebas” dalam dirinya. Dan orang yang berada dalam posisi ini dipastikan tidak bisa mengeluarkan potensi God Spot (salah satunya kasih sayang) dari dalam dirinya.
Melalui bulan Ramadan ini, dengan salah satu perintah atau kewajiban yang mengiringi puasa adalah zakat fitrah. Sekali lagi saya tegaskan zakat tidak hanya dimaknai sebatas mengeluarkan sejumlah ukuran tertentu dari makanan pokok untuk diberikan ke orang lain. Bukan hanya bermuara pada niatan membersihkan jiwa dan harta. Atau terjebak pada kalkulasi “pragmatik” dan “kapitalistik” untuk dikonversi menjadi surga sebagai balasan.
Zakat memancarkan energi untuk membangun kohesivitas sosial dan interdependensi tanpa dominasi. Dengan spirit, energi dan etos zakat, diharapkan ikatan yang terjalin di antara umat Islam adalah ikatan kasih sayang, welas asih.
Kasih sayang (Rahman-Rahim Allah) sebagai rekaman dalam God Spot yang built-in dalam diri manusia relevan dengan istilah welas asih yang diyakini sebagai semangat kemanusiaan untuk menjadi basis yang mampu mempersatukan orang-orang yang berbeda, baik karena bangsa, agama maupun perbedaan lainnya.
Welas asih, oleh dr. Soetomo (sebagai salah satu tokoh dan pahlawan bangsa) menilai sebagai “kritik atas Darwinisme sebagai paradigma pemikiran Barat modern yang meletakkan seleksi alam atas kekuatan individual. Darwinisme tidak memberikan kekuatan kaum lemah untuk menjadi berkemajuan”.
Jika ikatan sosial yang ada adalah ikatan bersyarat apalagi memancarkan spirit Darwinisme di atas, maka bisa dipastikan akan menciderai “Persatuan Indonesia” dan “Keadilan Sosial”. Makna zakat yang progresif ini sejatinya, manfaat, implikasi dan implementasinya bukan hanya terasa oleh sesama umat Islam, tetapi termasuk oleh umat lain, dan bahkan melingkupi kepentingan untuk memperkuat etika kosmopolitanisme.
Di internal umat Islam pun sejatinya zakat, bukan hanya berujung pada kegembiraan dan data statistik terkait jumlah pengumpulan zakat secara nasional atau level kelurahan/desa, namun lebih daripada itu, kohesivitas sosial semakin memperkuat social strength dalam dimensi kehidupan yang lebih luas untuk konteks dan kepentingan yang melingkupi dan bermuara pada kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Zakat yang mampu membangun interdependensi tanpa dominasi adalah spirit zakat yang memancar bukan hanya berorientasi pada penegasan posisi “kelemahan” seseorang (si penerima zakat) di hadapan si pemberi zakat. Melainkan berangkat dari sebuah kesadaran untuk membangun kesetaraan dan merefleksikan kesadaran untuk bangkit secara ekonomi, sosial bahkan politik.
Fungsi zakat atau infak secara keseluruhan untuk mengikis karakter pelit, sikap hitung-hitungan, dan sikap materialistik, sebagaimana telah ditegaskan Dr. Asep Zaenal Ausop, bagi saya lebih daripada itu untuk membangun kemajuan bangsa dan negara, dengan harapan memperkuat sila ketiga dan kelima, yang memiliki garis relasi filosofis dengan zakat.
*Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Banteang. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.