Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Membasmi Budaya Nyontek: Perjuangan Belum Berhasil, Indonesia dalam Keadaan Bahaya

×

Membasmi Budaya Nyontek: Perjuangan Belum Berhasil, Indonesia dalam Keadaan Bahaya

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Maman Suherman melalui akun media sosialnya menegaskan tiga tempat sunyi di dunia, khususnya di Indonesia: kuburan, kamar jenazah, dan perpustakaan. Ternyata, selain tempat sunyi, ada pula jalan sunyi di Indonesia, selain menulis tanpa kecuali aktivitas literasi secara umum dan serius, termasuk upaya “membasmi budaya nyontek”. Sebagai jalan sunyi, mungkin ini pulalah yang menyebabkan sehingga saya pun belum berhasil dalam perjuangan “Membasmi budaya nyontek” itu sejak masih di bangku sekolah tahun 1990-an sampai 2000-an.

Per hari ini, Jum’at, 25 April 2025, beberapa media nasional—di antaranya Kumparan.com—ramai memberitakan Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu data yang diungkap adalah praktik menyontek masih terjadi di 78 persen sekolah dan 98 persen kampus.

Terkait kebiasaan menyontek, sejak sekolah dasar, saya sering melaporkan para pelakunya kepada guru mata pelajaran yang bersangkutan yang sedang menyelenggarakan ujian atau ulangan harian di kelas. Di sekolah menengah pertama pun, setiap ujian atau ulangan harian, saya melaporkan siapa saja orangnya yang sedang nyontek. Bahkan, saya menyebut teman-teman yang sedang menyontek pada saat itu dengan sebutan “setan nyata”. Maka, ingatan terbaik teman seangkatan SMP saya—beberapa di antaranya sampai sekarang—adalah istilah “setan nyata”.

Setelah duduk di tingkatan sekolah menengah kejuruan, spirit perlawanan terhadap kebiasaan menyontek itu masih mekar. Saya masih sering melaporkan teman—siapa saja orangnya—yang melakukan praktik nyontek pada saat ujian dan ulangan harian. Bahkan, tulisan opini pertama saya sebagai tindak-lanjut penugasan dari Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) SMK Negeri 1 Bantaeng, membahas tentang “Dampak Buruk Menyontek”. Tulisan itu pun, saya cetak di kertas ukuran F4, kemudian beberapa pintu ruangan kelas, termasuk ruangan OSIS SMK Negeri 1 Bantaeng, saya menempeli dengan tulisan tersebut.

Pada saat masih sekolah, mungkin ini perjuangan terbesar yang saya lakukan karena perjuangan sebelumnya belum berhasil dengan cara melaporkan teman siswa yang nyontek adalah “Melapor kepada kepala sekolah, terkait guru yang tidak ketat pengawasannya terhadap praktik nyontek pada saat ujian atau ulangan harian”. Ternyata terbukti, guru itu dipanggil oleh kepala sekolah. Guru itu pun marah atas laporan tersebut, tetapi kepala sekolah sendiri merahasiakan, bahwa saya sebagai pelapornya.

Saya tidak senang melihat teman sekolah atau teman kelas yang nyontek pada saat ujian atau ulangan. Meskipun ketidaksenangan itu tidak memunculkan rasa benci kepada teman sendiri karena yang saya benci adalah perilakunya. Teman-teman yang saya laporkan pun, tidak pernah ada satu orang pun yang dendam dan membalas dalam bentuk tindakan kasar. Saya sering menjelaskan kepada mereka tentang dampak buruk dari kebiasaan nyontek, termasuk saya tetap bersedia berbagi ilmu jika mereka membutuhkan penjelasan dari setiap pelajaran yang belum diketahuinya. Terkait nyontek saya memiliki prinsip “Lebih baik dapat nol daripada nyontek”.

Tanggal 11 Oktober 2020, kurang lebih 4,5 tahun yang lalu, saya pun menulis esai di Kalaliterasi.com yang judulnya Dari Nyontek ke Korupsi meskipun link-nya jika diklik tidak bisa lagi terbuka. Mungkin link tersebut sedang eror, tetapi jejaknya masih ada.

Mengapa di antara judul tulisan ini ada diksi “Indonesia dalam keadaan bahaya”? Saya pun meyakini atau memiliki sejenis hipotesis, bahwa kebiasaan nyontek itu adalah bibit terbesar korupsi. Basis sikapnya sama yaitu “tidak jujur”. Hipotesis ini bisa saja menjadi sebagai tesis, meskipun mungkin akan mengandung sejenis margin error beberapa persen. Artinya, meskipun memiliki potensi, tetapi tidak semua yang memiliki kebiasaan nyontek akan secara otomatis atau serta-merta menjadi koruptor pada masa yang akan datang. Manusia itu unik dan dinamis, bisa jadi dalam perjalanan hidupnya mendapat hidayah dari Allah Swt, atau melakukan proses pertaubatan.

Tulisan ini, berdasarkan judulnya bermuara pada “Indonesia dalam keadaan bahaya”. Sedangkan tulisan saya di Kalaliterasi.com yang saya tulis 4,5 tahun yang lalu, itu bermuara pada “Korupsi”. Artinya jika kebiasaan menyontek atau nyontek terus dilakukan, apa lagi jika telah menjadi budaya, maka berpotensi besar—sepertinya hari ini pun telah tampak nyata dampaknya meskipun kurang dipahami dan disadari—bermuara pada dua hal negatif dan destruktif tersebut.

Secara derivatif, makna nyontek bisa berarti sikap dan/atau perilaku tidak jujur, individualistik, materialistik, egois, dan pragmatis serta menghancurkan keadilan. Menyontek atau nyontek bisa berarti berorientasi angka-angka daripada ilmu pengetahuan (meskipun tidak bisa disimpulkan, anti ilmu pengetahuan). Nyontek menunjukkan usaha instan, malas berusaha, malas belajar, dan anti proses ideal serta penuh ketidakjujuran. Nyontek menunjukkan sikap yang mengutamakan duniawi dan mengabaikan ukhrawi.

Memperhatikan secara derivatif dari terma nyontek tersebut, maka pembaca akan mampu mengetahui sejumlah hal negatif yang berpotensi menjadi karakter negatif ketika nyontek telah menjadi kebiasaan pada diri seorang pelajar. Termasuk menjadi koruptor sebagai salah satu karakter negatif yang relevan dengan “ketidakjujuran”, “materialistik”, dan ”individualistik”.

Nyontek dan korupsi bisa bermuara dalam satu diksi yang sama yaitu “tidak jujur”. Rentang ruang, jarak, dan waktu antara nyontek dan korupsi bisa dihubungkan dengan garis habitus ketidakjujuran, yang berada dalam diri personalitasnya. Kita pun perlu mengetahui dan memahami, bahwa korupsi merupakan potensi terbesar yang akan membuat suatu bangsa dan negara dalam keadaan bahaya yang mendekati jurang kehancurannya.

Merujuk pada alur karakter dan nasib yang dirumuskan oleh Erbe Sentanu (penemu teori dan teknologi aktivasi Quantum Ikhlas), perilaku bahkan kebiasaan “tidak jujur” (seperti nyontek) akan menuju menjadi karakter “tidak jujur”. Setelah menjadi karakter —dalam alur tersebut bahkan Erbe Sentanu mengelaborasi dan menderivasi dari hukum fisika quantum (2007)—bisa menjadi nasib sebagai sosok/orang yang tidak jujur. Korupsi maupun menjadi koruptor adalah salah satunya sebagai penanda “ketidakjujuran”.

Mengelaborasi lebih dalam teori DNA/Gen lewat teori genetika, salah satunya, kita bisa merujuk pada kajian akademik Kazuo Murakami, Ph.D dalam bukunya The Miracle of The DNA: Menemukan Tuhan dalam Gen Kita (2012), bisa sampai pada pemahaman dan kesadaran, bahwa kebiasaan nyontek akan menyalakan DNA negatif dalam diri pelakunya. DNA negatif yang dimaksud adalah embrio daripada karakter-karakter negatif yang menjadi determinan daripada nyontek tersebut, di antaranya tidak jujur dan materialistik.

Memperhatikan teori “Memetika” karya Eko Wijayanto, kebiasaan nyontek sebagai perilaku tidak jujur akan terus menular dan mereproduksi dirinya. Begitupun “individualistik”, ”materialistik”, ”egoistik”, ”usaha instan”, dan hal lainnya yang menjadi makna derivatif daripada kebiasaan nyontek akan terus menular dan mereproduksi diri.

Nyontek sebagai sesuatu yang telah menjadi kebiasaan, bahkan terkesan sebagai budaya dalam dunia pendidikan, jika memperhatikan mekanisme operasional alam bawah sadar, ini sangat berbahaya. Kebiasaan nyontek itu akan tersimpan secara baik dalam ruang alam bawah sadar, yang secara psikologis bisa memengaruhi pikiran dan tindakan/perilaku. Dedy Susanto (Pakar psikologi) menegaskan bahwa secara hierarki dimensi psikis menguasai fisik dan yang tertinggi posisinya adalah alam bawah sadar dengan pengaruh yang diberikan dalam kehidupan sebesar sembilan puluh persen.

Jika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tampak sikap dan perilaku yang mementingkan diri sendiri, tidak jujur, kurang peduli, materialistik (termasuk menimbun harta dengan cara tidak halal), malas belajar/menuntut ilmu, lemah ilmu pengetahuan, serba instan dan dangkal, berorientasi dunia semata, termasuk korupsi, saya memandang bahwa itu adalah dampak daripada kebiasaan tidak jujur (nyontek) ketika masih berstatus sebagai pelajar. Nyontek sebenarnya memberikan dampak buruk yang bisa disebut fenomena gunung es.

Betul, hasil survei KPK ini menjadi alarm atau sebagai lampu kuning dan telah diakui oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, bahwa “Kita ini dari sisi kejujuran itu memang sedang tidak baik-baik saja”. Selain itu Prof. Abdul Mu’ti—sumber Kumparan.com, 25 April 2025—menyoroti “Bahwa tingginya angka ketidakjujuran di lingkungan pendidikan, khususnya praktik menyontek, menjadi sinyal yang tidak boleh diabaikan. Kalau ini kita biarkan maka ya memang nyontek atau ketidakjujuran atau kecurangan dalam bentuk lain itu tinggal soal waktu saja”.

Survei KPK dan respons positif Prof. Abdul Mu’ti selaku Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, secara tidak langsung membuat hati ini sangat bahagia, karena praktik dan budaya yang saya tolak dan benci sejak di bangku sekolah dasar—jauh sebelum saya memahami teori-teori yang memperkuat alasan saya tentang dampak buruknya, selain tentang keadilan—semakin disuarakan dan semoga ada langkah solutif untuk membasminya.

Kita tidak ingin bangsa ini dihuni oleh generasi strawberry—meminjam istilah Rhenald Kasali—dengan karakter yang manja, rapuh dan fixed mindset. Tetapi kita ingin lahir generasi yang jujur, peduli, berpikir maju, memiliki wawasan yang luas, kaya akan ilmu pengetahuan dan menyadari pentingnya growth mindset.

Adalah Syahril Syam (Pakar pengembangan diri) merumuskan sebuah paradigma yang disebutnya perspektif busur dua derajat. Secara sederhana bisa dipahami bahwa se-kecil apa pun sikap dan perilaku kita (baik positif maupun negatif)—yang mungkin hari ini belum terasa dampaknya—pada masa yang akan datang akan melahirkan dampak yang sangat dahsyat, positif berdampak positif dan negatif berdampak negatif.

Sesungguhnya nyontek adalah perbuatan yang tidak diridai Allah. Selain daripada itu nyontek telah menggerogoti dan menjadi jalan buntu menggapai modal keunggulan dalam kehidupan sebagaimana yang dijanjikan Allah: “Iman” dan “Ilmu”.

Pelajar yang baik dan memimpikan masa depan yang gemilang adalah pelajar yang sejak dini, menanamkan dalam dirinya sebuah “doktrin” anti nyontek. Dan, memiliki kecintaan yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan termasuk proses ideal untuk memperolehnya.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UNISMUH MAKASSAR

Leave a Reply