Oleh: Agusliadi Massere*
Manusia dalam penciptaan dan kelahirannya di muka bumi membawa tiga misi mulia. Tiga misi mulia dalam pandangan M. Quraish Shihab itu adalah “beribadah”, “khalifah” dan “berdakwah”. Dr. Muhammad Nursamad Kamba (2018) menegaskan, “Bila mengacu pada petunjuk dan inspirasi Al-Qur’an, sesungguhnya manusia adalah makhluk sempurna, yang dianugerahi potensi intelektual, psikis, dan spiritual oleh Tuhan”.
Minimal dari dua pandangan tersebut di atas, idealnya manusia harus menghamparkan kebaikan, kedamaian, dan kebahagiaan dalam realitas kehidupan. Manusia mampu merawat bumi. Membangun relasi simbiosis-mutualisme antar sesama manusia. Selain itu, minimal mampu memancarkan cahaya kebenaran yang bermuara pada sikap dan perilaku saling menghargai dan membangun dinamika dialogis.
Membaca realitas sosial, masih banyak hal paradoks dari misi, potensi, dan harapan keberadaan manusia, yang selain sebagai makhluk individual, juga sebagai makhluk sosial. Hal ini seakan menegaskan teori memetika yang mewariskan dan menduplikasi meme atas peristiwa kelam yang telah tercatat dalam sejarah, mengenai pembunuhan Habil oleh Qabil.
Apalagi jika memahami narasi semiotik Yasraf Amir Piliang, dan faktanya pun bisa ditemukan dengan baik dalam realitas sosial, kita semakin prihatin. Yasraf menegaskan “Layaknya organisme hidup, panorama kebudayaan yang kita saksikan seakan-akan tubuh tanpa organ, atau setidak-tidaknya tubuh yang mengalami kekacauan organisme”.
“Organ kepala telah menjadi dengkul, sehingga kini orang lebih banyak bertindak ketimbang berpikir; organ mata telah menjelma menjadi otak, sehingga kini orang lebih banyak menonton ketimbang merenung; organ mulut telah mengambil alih hati, sehingga orang kini lebih gandrung melepaskan hasrat, ketimbang mengasah hati; organ perut telah menyatu dengan otak, sehingga kini kepuasan biologis telah menumpulkan otak; organ telingan telah dijajah oleh mulut, sehingga kini orang lebih banyak berbicara ketimbang mendengarkan.” Ini adalah beberapa narasi semiotik Yasraf yang merefleksikan apa yang sedang terjadi dalam realitas sosial.
Perilaku buruk masih saja terus mewarnai dinamika kehidupan dalam realitas sosial, baik berupa kekerasan maupun dalam bentuk lain berupa penyimpangan/pelanggaran-pelanggaran atas apa yang telah menjadi kesepakatan dan/atau hukum yang berlaku. Dalam realitas media sosial pun keburukan masih terus menjadi tontonan bahkan viral, mulai dari yang berbentuk hoax (kebohongan), fake news (berita palsu), maupun hate speech (ujaran kebencian).
Hal tersebut di atas, dilakukan dan bahkan dilakoni oleh orang-orang yang mengaku berpendidikan bahkan beragama. Terkait ini, ada banyak bentuk pemberitaan dan itu bisa diyakini bukan hoax, yang menjadi ruang konfirmatif dan klarifikatif atas kebenaran dugaan adanya aktor-aktor yang menjadi pelaku atas sikap dan tindakan buruk. Kita menyebutnya secara sedeherna seperti ini saja.
Agama yang diturunkan untuk membimbing manusia ke arah kehidupan yang lebih baik, terkalahkan oleh dorongan hasrat yang terus diproduksi dan diproduksi ke arah pemenuhan nafsu semata dan paradoks dengan nilai-nilai dan substansi agama. Agama yang sejatinya mengajarkan dan menuntun pengenalan potensi dahsyat dan kebaikan dalam diri seakan lumpuh. Semoga bukan karena ini, yang menyebabkan sehingga di beberapa negara maju, agama dipandang tidak penting. Bahkan negara yang indeks kebahagiaannya tertinggi di dunia, sebagian besar masyarakatnya memandang agama tidak penting.
Saya sendiri, masih meyakini agama itu sangat penting. Mampu mengarahkan diri kita ke arah yang lebih baik untuk mencapai kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Satu hal yang menjadi persoalan dan sepertinya itulah yang menjadi penyebab sehingga fungsi sosial agama seakan tidak terasa dalam realitas kehidupan, adalah orientasi keberagamaan kita masih cenderung pada personal.
Agama, nilai-nilai, ajaran dan ritualnya seringkali dimaknai hanya sebatas relasi personal dua arah dengan Allah. Ritual ibadah kita lebih cenderung hanya dikonversi pada pahala yang bermuara pada surga semata. Catatan kebaikan hanya dipahami untuk menjadi catatan dalam buku malaikat Raqib dan Atid.
Padahal, idealnya agama dan berbagai dimensinya memiliki fungsi sosial. Ibadah yang kita lakukan jangan hanya diorientasikan sebagai relasi teologis-metafisis semata dengan Allah. Ibadah sebagai bagian daripada agama, jangan hanya berorientasi surga di akhirat kelak. Tetapi ibadah sesungguhnya harus diyakini bahwa selain tercatat dalam DNA, termasuk pula akan membentuk karakter manusia. Dan yang utama adalah fungsi sosialnya untuk memberikan solusi atas berbagai problematika dalam realitas sosial.
Sampai hari ini, masih banyak yang memahaminya dengan sempit. Satu contoh saja terkait shalat. Shalat selain, seringkali hanya dipahami untuk mengantarkan ke surga sebagai balasan di hari kemudian, akhirat. Lebih jauh, kita lebih cenderung mengharapkan dan sangat mendambakan implikasi shalat dalam bentuk “jidat hitam”. Dan seringkali ini menjadi orientasi dan harapan utama dari ritual shalat dan intensitas kita melaksanakannya.
Padahal, tujuan utama shalat dan idealnya itu yang harus dibentangkan dalam realitas sosial adalah “mencegah perbuatan keji dan mungkar”, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Ankabut [29]: 45. Shalat mencegah perbuatan buruk.
Shalat jangan hanya mengharapkan dan diorientasikan pada sikap dan perilaku mengagung-agungkan pencapaian “jidat hitam” sebagai bekas sujud, meskipun hal itu tidak buruk dan dalam perspektif habits tetap bisa dibenarkan sebagai bagian dari efek rutinitas kita melaksanakan sujud pada saat shalat. Yang utama adalah, sebagaimana yang menjadi judul tulisan ini adalah “Membentangkan Bekas Sujud dalam Realitas Sosial”.
Shalat, idealnya adalah merupakan pembangunan karakter positif, produktif, dan kontributif untuk memberikan warna kebaikan, kedamaian, dan kebahagiaan dalam realitas kehidupan. Hal ini relevan dengan pesan ayat tersebut di atas, selain itu dalam perspektif Muhammad Nursamad, Ary Ginanjar Agustian, dan Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag, membenarkan hal tersebut.
Idealnya shalat, dalam realitas kehidupan mampu mencegah perilaku korupsi, tindak kekerasan, apalagi pelecehan seksual yang marak dilakukan oleh orang-orang yang terkesan secara sekilas umat tidak meragukan ibadah shalatnya. Shalat yang intens dilakukan idealnya membentuk karakter diri positif yang implikasinya pun bisa dalam bentuk untuk tidak menyebarkan hoax, fake news, dan hate speech.
Shalat, sebagaimana bacaan atau do’a yang dibacakan di dalamnya idealnya membentuk karakter untuk selalu memancarkan kasih-sayang dalam kehidupan. Shalat pun, sebagaimana bacaan “iyyaka na’budu wa iyyaka nast’in(u)” pada setiap kali membaca QS Al-Fatihah dan rutin kita lakukan, idealnya membentuk komitmen ketauhidan yang kokoh. Tidak menghempaskan diri dalam keterpurukan di hadapan tuhan-tuhan paslu seperti, jabatan, harta, dan kekuasaan. Yang di mana antitesis dari hal ini sangat merusak, membentuk sejenis “the love of power” (cinta kekuasaan).
Ada banyak hal pembahasan terkait shalat, tanpa kecuali terkait penegasan shalat sebagai fungsi pembangunan karakter diri yang berkorelasi positif pada pembangunan karakter bangsa untuk selanjutnya memberikan kontribusi besar dan positif terhadap kemajuan suatu bangsa, negara, dan peradaban.
Marilah kita membentangkan “bekas sujud” kita dalam realitas sosial, agar kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan terhampar sebagai permadani untuk menjalani setiap episode kehidupan. Para sahabat pembaca, bisa pula membaca tulisan-tulisan saya yang lain tentang shalat.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023