Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Membincang Kebijakan Nadiem Lagi

×

Membincang Kebijakan Nadiem Lagi

Share this article

Oleh: Muhammad Chirzin*

Hari-hari ini viral Peraturan Mendikbudristek RI Nomor 40 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pasal 5 Ayat (2) huruf L dan M.

(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
  2. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.

Anggota Komisi X DPR, Sakinah Aljufri menyoroti frasa ‘tanpa persetujuan korban’ dalam Permendikbudristek itu. Menurutnya, frasa tersebut justru dapat melegalkan seks bebas di lingkungan kampus.

“Fatalnya Permendikbudristek ini memuat frasa tanpa persetujuan korban. Ini artinya Mendikbudristek sama saja melegalkan secara diam-diam seks bebas dan perbuatan menyimpang LGBT di kampus, asal dilakukan dengan persetujuan pelakunya. Ini merusak generasi bangsa,” kata Sakinah dalam keterangannya, Senin (8/11).

Menurut politikus PKS itu, kategorisasi kekerasan seksual yang disusun Kemendikbudristek berpedoman pada nilai dan norma agama, adat, dan budaya Indonesia. Sehingga bukan hanya berdasarkan pada kesepakatan dua pihak.

“Nah, sebaliknya jika dilakukan dengan persetujuan korban, dilakukan dengan dalih suka sama suka, berarti tidak merupakan kekerasan seksual. Perbuatan ini dengan atau tanpa persetujuan korban tetap salah dan tidak sesuai dengan norma agama dan norma adat yang luhur serta budaya luhur bangsa kita,” tuturnya.

“Kita sepakat perbuatan zina dan penyimpangan LGBT harus diberantas guna melahirkan generasi yang bermartabat, menjaga moral bangsa, namun dengan peraturan dan muatan yang benar sesuai dengan kaidah perundang-undangan, agama, dan norma bangsa yang luhur,” pungkasnya.

Sebelumnya, Majelis Ormas Islam (MOI) yang terjadi atas 13 ormas Islam –tak termasuk PBNU dan Muhammadiyah– meminta agar Permendikbudristek itu dicabut.

“MOI menilai bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinahan, dan dengan demikian akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang semestinya perzinahan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan,” ucap Ketua MOI, Nazar Haris, dalam rilisnya, Senin (2/11).

Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh menanggapi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang diterbitkan pada 31 Agustus 2021.

Dalam Permendikbudristek, tersebut terdapat frasa “tanpa persetujuan korban” yang dianggap mengandung makna persetujuan seksual atau sexual consent.

Menurut Asrorun, hubungan seksual tanpa pernikahan bersifat ilegal, karena bertentangan dengan norma yang berlaku. Meski dilakukan atas dasar suka sama suka.

“Nah itu gak bisa dilepaskan. Misalnya, soal hubungan seksual suka sama suka, tetapi kalau dia tidak dibingkai dengan perkawinan yang sah, maka sungguh pun suka sama suka itu tidak diperkenankan. Itu statusnya ilegal, maka melegalkan suatu yang ilegal itu perbuatan yang gak berbudaya,” kata Asrorun kepada wartawan, Selasa (9/11/2021).

Meski begitu, Asrorun mengatakan aturan pencegahan kekerasan seksual sangat dibutuhkan  untuk mencegah terjadinya aktivitas yang merendahkan derajat kemuliaan manusia.

“Karenanya seluruh aturan harus didesain dalam kerangka tujuan mulia pendidikan itu dan tidak boleh ada satupun aturan yang mendegradasi kemuliaan manusia.”

 

Asrorun menekankan pentingnya memuat peraturan di dunia pendidikan yang sesuai dengan norma yang berlaku.

“Proses pendidikan itu bagian dari proses untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya dan beradab. Maka seluruh aturan harus didesain dalam kerangka keadaban dan kebudayaan,” kata Asrorun.

Prof. Lias Hasibuan menilai Permendikbudristek itu masih sarat tafsiran, sehingga ada yang menafsirkan Permen itu bisa legalkan zina. Tapi apa tidak ada aturan lain yang sudah melarang zina? Karena, tidak baik juga jika kita terlalu jujur atau lugu dalam membuat aturan.

Dr. Adian Husaini menulis di www.adianhusaini.id,  Soal PERMENDIKBUD 30: Terima Kasih MUHAMMADIYAH

Gelombang protes berbagai pihak terhadap  Permendikbudristek No 30 tahun 2021, akhirnya mencapai tahapan penting menyusul keluarnya pernyataan sikap resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang meminta agar Permendikbudristek No 30 itu dicabut. Permendikbudristek itu berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Permen No 30 Tahun 2021 itu tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya. Tidak terpenuhinya asas keterbukaan, karena pihak-pihak yang terkait dengan materi Permen tsb tidak dilibatkan secara luas, utuh, dan minimnya informasi dalam setiap tahapan pembentukan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk Peraturan Menteri) harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan.

Menurut Muhammadiyah, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak tertib materi muatan. Terdapat dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan adanya pengaturan yang melampaui kewenangan.

Pertama, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 itu mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang-undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional.

Kedua, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 itu mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi (Vide Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) melalui pembentukan “Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual” (Vide Pasal 23 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021).

Secara materiil, ada beberapa poin penting kritik Muhammadiyah terhadap Permen Dikbudristek 30 ini:

Pertama, Pasal 1 angka 1 yang merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis “ketimpangan relasi kuasa” mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor, padahal sejatinya multikausa, serta bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam, yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi “mu’asyarah bil-ma’ruf” (relasi kebaikan) berbasis ahlak mulia.

Kedua, perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”.

Ketiga, rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pas al 5 Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.

Keempat, pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.

Kelima, Muhammadiyah menilai, bahwa sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam Pasal 19 Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, adalah tidak proporsional, berlebihan, dan represif. Seyogyanya Pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan.

Berdasarkan catatan terhadap masalah Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tersebut Persyarikatan Muhammadiyah mengajukan 3 rekomendasi:

Satu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam menyusun kebijakan dan regulasi sebaiknya lebih akomodatif terhadap publik terutama berbagai unsur penyelenggara Pendidikan Tinggi, serta memperhatikan tertib asas, dan materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hal ini dimaksudkan agar pembentukan Peraturan Menteri memenuhi asas keterbukaan dan materi muatan sebagaimana ketentuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan lebih akomodatif terhadap pemenuhan publik (terutama para pemangku kepentingan), maka substansi Peraturan Menteri mendapatkan perspektif dari berbagai masyarakat (publik); bersifat aspiratif, responsif, representatif; tidak resisten, serta tidak menemui kendala/hambatan apabila diimplementasikan. Standar pembentukan Peraturan Menteri sebaiknya ada tahapan public hearing, focus group discussion, dialog, dengar pendapat, jajak pendapat/survei, atau mekanisme lain yang pada prinsipnya bisa melibatkan dan mengakomodasi publik (para pemangku kepentingan terkait).

Dua, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebaiknya merumuskan kebijakan dan peraturan berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Tiga, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebaiknya mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021, agar perumusan peraturan sesuai dengan ketentuan formil pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara materil tidak terdapat norma yang bertentangan dengan agama. (Depok, 8 November 2021).

Seorang teman pun berseloroh demikian. Mestinya ada pasal:

  1. Persetujuan cukup dengan bahasa isyarat.
  2. Sesuai pasal 1 di atas menjadi sah kampus melakukan persetubuhan massal.
  3. Risiko kehamilan akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah.

Salah seorang sahabat berkomentar, Prof Chirzin ini luar biasa gigih. Inilah profil seorang Guru Besar netral dan mandiri. Tidak pernah mengalami kedudukan birokrat.

Siapa yang tidak marah terhadap kesalahan sama dengan merestui dan menyetujui.

Apa benar Gus Yaqut mendukung ini. Mungkin hoax?

Coba Prof tanya beliau, jangan-jangan fitnah.

Saya tidak percaya berita ini.

Saya tanggapi, bahwa itu dikutip dari berita resmi laman resmi Kemenag.go.id. Kalau Gus Yaqut membantah, unggah saja bantahannya di laman Kemenag.go.id, seperti bantahan pernyataannya bahwa Kemenag itu hadiah khusus untuk NU; itu untuk konsumsi internal (walaupun tidak benar!)

Bagaimana dengan UNNES yang mendukungnya?

Unnes ini di bawah Kementerian apa Bos?

Sahabat pun menginformasikan bahwa tadi ia sudah kontak Pak Nizam, dan beliau setuju untuk menghapus fasal ambigu.

Setuju hapus “Pasal Ambigu.”

“Pasal Ambigu” itu tidak serupa dengan nila setitik yang telah tertetes ke susu sebelanga, atau seperti 2,5 gram narkoba yang tercampur dengan 1 ons tepung terigu.

Prof Lias pun menyambung, bahwa bangsa ini sudah masuk dalam radar intoleran dan membungkus kebencian antar sesama. Buktinya, salah sedikit sudah langsung menghujat dan bilangnya pun “bubarkan”! Dan itu bukan dari orang yang tidak berpendidikan tapi juga dari mulut orang berpendidikan. Kalau begini benarlah dalam buku yang saya baca “Nation at Risk.”

Bukan begitu juga Bang Lias, tukas Prof Fauzul. Kita boleh cermat atau kritik, bagus juga. Daripada kita bermental penurut, parah juga. Yang penting kita cari maslahatnya.

Saya tanya ke Pak Dirjen Nizam, katanya sudah dibicarakan dengan pihak Aisiyah dan lain-lain, saat itu tidak dipermasalahkan. Menurut Pak Dirjen, sama sekali tidak bermaksud melegalkan seksual. Mungkin itu karena kesalahan persepsi. Namun kalau masih ada pasal yang multi interpretatif silakan ditinjau kembali.

Saya menimpali, ya, salut, bila terbuka. Memangnya pihak Aisyiyah tidak bisa kurang cermat membacanya?

Atau Pak Rektor UNNES dan sivitas akademika di sana menganggap mereka yang berbeda pandangan buta aksara dan tunalogika?

Menyambung komentar Prof Lias terdahulu saya tulis, salah dikit-dikit boleh Bos?

Apa bedanya 1 gram narkoba dengan 1 gram gandum?

Korupsi 1 juta, 1 miliar, dan 1 triliun itu beda, tapi sama2 korupsi!

Apakah ini termasuk menghujat dan ujaran kebencian?

Menghujat siapa? Membenci siapa?

Ngomong-ngomong, kalau kita ikut zoom, selalu ada peringatan: “zooming ini direkam, lanjut atau keluar?”

 

Karena tak ada yang merespons, saya pun meneruskan. Mengkritik sama dengan menunjukkan kesalahan dan  kekurangan; bukan menghujat, bukan membully, bukan memfitnah, bukan ghibah, dan bukan pula nyinyir.

Prof Fauzul komentar, “Yah itu yang saya maksud kritik cerdik. Rektor tetap saja salah kalaupun yang dikritik bawahannya. Rektor perlu juga gesit. Tidak abai gitu.

Prof AM pun menulis, “Kritik tetap perlu meski ada old proverb yang juga perlu diarifi: It is easy to criticize but difficult to create.”

Prof Fauzul komentar, Prof Chirzin ini belum pernah jadi birokrat sih. Jadi belum pengalaman dikritik.

Kata kuncinya kita semua bersikap terbuka untuk menerima kritik, sepanjang kritik itu tidak destruktif. Pertanyaannya kenapa kritik itu  makin pedas. Itu juga perlu diarifi.

Tanggapan tersebut saya timpali. Pengalaman saya cuma mengkritik doang. Jadi, belum pernah merasakan nikmatnya dikritik.

Pedas, sedang, ato tanpa cabe, itu menurut selera?

Prof Lias pun menambahkan, bahwa ia sepertinya agak sependapat dengan Mas Nadiem.

Tanpa ragu saya pun mengutip penggalan dua ayat Al-Quran,

Sawa’un ‘alaihim a andzartahum am lam tundzirhum… –  mereka sama saja kamu ingatkan atau tidak kamu ingatkan… Fi qulubihim maradh

– hatinya sakit…

Kenapa Menag bela Nadiem?

Fasal 5 tentang suka sama suka/tanpa persetujuan itu apakah belum dibidik oleh Menag? Ataukah mungkin ada revisi susulan?

Mungkin Menag melihat dari sisi premis mayornya saja yang memang misinya untuk menolak kekerasan seksual? Untuk hal yang partikular dikelola oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan.

Siasati saja di tingkat PTKIN-nya. Cuma yang repot kalau mahasiswanya kritis, tidak mau diberi sanksi. Alasannya, membuka rok cewek sudah mendapat persetujuan yang bersangkutan.

Yah ‘kan kalau sudah mendapat persetujuan boleh toh. Itu mafhum mukhalafahnya. Makanya, kalau bikin aturan dengan bahasa hukum harus cermat.

Saya pun menyela, “Bagamana menurut Buya Lias?”

Jawabnya, “Jangan su’uzhan Prof. Lagi-lagi beda persepsi saja. Usul saya, mana poin yang menimbulkan pengertian ganda dibuat penjelasannya cukuplah itu.

Saya tetap bertahan, harus direvisi, soalnya, Pak Nizam berkata begitu.

 

* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Sumber ilustrasi: jawapos.com

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply