Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniTabligh

Memikirkan Ulang “Ibadah”

48
×

Memikirkan Ulang “Ibadah”

Share this article
Example 468x60

Memikirkan Ulang “Ibadah”

IMG_20160716_175706_edit_edit

Example 300x600

Oleh : Muh. Asratillah Senge*

Istilah ibadah adalah suatu istilah yang sentral dalam Islam, karena dalam sistem pengetahuan Islam segala aktivitas manusia di atas bumi haruslah selalu bernilai ibadah. Ini didasarkan pada ayat dari surah Adzzariat dalam Al-Qur’an yang artinya ; “maka tidak aku ciptakan Jin dan Manusia ini kecuali untuk beribadah”.

            Tetapi istilah ibadah ini dalam perjalanan sejarah telah terdistorsi oleh orde rezim tafsir yang sarat kepentingan politik berciri feodal yang pernah berkuasa dalam teritorial kekuasaan Arab Islam. Istilah ibadah diberi tafsiran tertentu yang kemudian dikodifikasi sebagai tafsir yang paling shahih. Bahwa ibadah adalah proses ketundukan mutlak kepada sang Khalikh atau pada Allah SWT. Ketundukan disini adalah ketundukan dalam artian manusia dengan segala kapasitasnya hanya sebagai makhlukh atau sebagai ciptaan haruslah tunduk secara absolut atau tunduk kepada suatu objek yang disebut dengan Tuhan atau Allah.

            Pemakanaan ibadah sebagai ketundukan total yang menghilangkan otonomi yang tunduk mempunyai implikasi filosofis dan kemanusiaan lebih lanjut. Ketundukan total mengandaikan manusia sebagai objek yang tidak memiliki subjektivitas atau otonomi sendiri dalam menentukan nasibnya kedepan. Hal ini bertentangan dengan beberapa nash apakah itu berupa hadits atau ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kemuliaan manusia.

            Dalam Alqur’an disebutkan bahhwa manusia adalah khalifah atau wakil atau mazhar Tuhan di muka bumi. Memang disamping manusia sebagai khalifatullah manusia juga disebutkan sebagai hamba atau ‘abid Allah, tetapi kita seringkali memberikan pemaknaan terhadap istilah ‘abid seakan-akan kata atau kedudukan manusia sebagai khalifah tidak pernah ada, kita memaknai istilah hamba atau ‘abid dalam kondisi amnesia terhadap istilah khalifah.  Bahkan menurut penulis istilah khalifah lebih memiliki urgensi dari pada istilah manusia sebagai hamba. Sebab dalam surah Al Baqarah disebutkan bahwa saat manusia pertama kali ingin diciptakan oleh Tuhan maka predikat khalifahlah yang pertama kali dilekatkan kepada manusia, begitu pula dengan kisah tentang penyerahan amanah di mana langit dan bumi tidak berani menerimanya dan yang menerima amanah tersebut adalah manusia, andaikan manusia tidak memiliki otonomi subjektivitas maka apa beda manusia dengan langit dan bumi yang menolak amanah tersebut ?.

            Dengan kata lain kita harus menafsirkan ulang makna beribadah, selama ini beribadah dikonotasikan dengan ketundukan membudak kepada sesuatu. Ini akan mereduksi martabat kemanusiaan karena menafikan subjektivitas otonom manusia dan yang kedua merusak citra Tuhan seakan-akan Tuhan adalah sesuatu yang sangar dan gila kekuasaan dimana segala sesuatu harus tunduk membudak kepadanya.

            Ibadah harus kita maknai sebagai hubungan dialogis antara manusia dengan Tuhannya, dalam rangka penyempurnaan substansi kemanusiaan itu sendiri. Ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa “tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal” sedangkan kita ketahui bahwa fakultas akal yang ada dalam diri manusia,  fitrahnya adalah serba ingin tahu ,selalu ingin bertanya. Dengan kata lain agama sedar awal memang kompatibel bagi yang berakal , bagi yang haus akan kebenaran, agama ada dalam rangka menjadi obor bagi pertualangan manusia dalam menulusuri kebenaran.

            Ibadah yang dimaknai sebagai proses dialog tidak akan mereduksi makna ketuhanan Allah, sebab dialog identik dengan proses mempertanyakan bahkan penyangkalan terhadap suatu argumen walaupun itu adalah argumen Tuhan, betulkah demikian?.Tetapi kita dapat mengeluarkan pertanyaan , andaikata kita mempercayai bahwa Tuhan mutlak benar lalu kenapa kita takut mempertanyakan Tuhan ?. Tuhan sendiri tak pernah merasa gentar saat ada yang menanyaiNYA walaupun itu harus berujung pada penyangkalan terhadap eksistensiNYA, saat Tuhan berencana menciptakan manusia, maka malaikat yang kita ketahui sebagai makhlukh yang paling tunduk kepada Allah , bertanya alias protes kepada Tuhan , tetapi Tuhan tidak pernah marah dengan ulah makhlukhnya itu. Lalu kenapa kita menjadi lebih pemarah dibanding Tuhan kita ?

*) Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PWM Sulsel

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

[metaslider id="39673"]