Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniPolitik dan Hukum

Memikirkan Ulang Politik (Bag. 2)

×

Memikirkan Ulang Politik (Bag. 2)

Share this article

Oleh : Muh. Asratillah Senge

Mengenai konsep aretè , Socrates melahirkan tiga kesimpulan mengenai keutamaan dan pengetahuan, salah satu di antaranya adalah kesimpulan bahwa : keutamaan adalah sesuatu yang dapat diajarkan atau “ditularkan”. Dalam konteks proses politik, keutamaan dalam politik secara efektif diajarkan dan “ditularkan” melalui praktik politik, inilah yang juga harus dipertimbangkan oleh para aktor politik dan negarawan dalam melakukan manuver-manuver politik.”seberapa efektif tindakan politik yang diambil mampu mengajarkan keutamaan kepada publik ?” Pada paragraf sebelumnya, penulis menyinggung istilah eudaimonia (kebahagiaan puncak) yang merupakan istilah yang dikaitkan dengan etika yang dirumuskan oleh Aristoteles, eudaimonia menunjuk kepada sejenis perwujudan-diri yang melibatkan kegiatan dan praktek akal yang disertai dengan gairah/passion. Jadi antara aretè dan eudaimonia mempunyai hubungan yang erat, aretè bisa diraih jika yang ingin meraihnya berada dalam kondisi bahagia, dan aretè sendiri bisa mengantarkan manusia pada eudaimonia.

Tetapi yang menarik di sini adalah adanya elemen passion/gairah/elan vital/antusiasme dalam eudaimonia. Jadi kebahagiaan akan tercapai jika “misi keutamaan” diraih dan diperjuangkan dengan gairah atau antusiasme, manusia akan bisa menjadi manusia yang baik, jika rasio dioptimalkan, sedangkan rasio bisa dioptimalkan kalau ada gairah yang menyertainya. Begitu pula dengan politik , usaha mengaktualkan “misi keutamaan” yang diperjuangkan oleh aktor politik harus disertai dengan passion/gairah/antusiasme. Kenapa passion adalah hal yang penting dalam politik ? Karena passion akan membakar kehendak dengan keberanian. Seorang aktor politik tidak hanya cukup memiliki rencana dan desain langkah dalam memperjuangkan “misi keutamaan”nya, tetapi seorang aktor politik juga harus memiliki keberanian untuk sekali-kali melabrak tekanan-tekanan yang ada, seorang aktor politik harus punya nyali untuk “menari” di atas jurang resiko politik. Yang Politis dan non-Politis Sehubungan dengan aretè yang melahirkan kemerdekaan beserta keterbebasan, dan jika konsep tersebut ditarik dalam konteks politik, maka akan melahirkan konsep turunan yaitu “Politik manusia yang merdeka dan bebas” karena nilai politik ada pada relevansinya pada “orang banyak” maka konsep tersebut akan menjadi “Politik manusia-manusia yang merdeka dan bebas”. Penulis ingin mencoba memperluas penjelasan konsep “Politik manusia-manusia yang merdeka dan bebas”, dengan meminjam konsep politik dari seorang filsuf perempuan asal Jerman yang juga merupakan kekasih dari Martin Heidegger. Filsuf itu bernama Hannah Arendt. Salah satu pendapatnya yang menarik jika ditulisakan dalam bahasa Jerman adalah “Der Mensch ist a-politisch” – Sang Manusia adalah a-Politis.

Siapakah Sang Manusia itu ?, yaitu manusia yang telah diabstraksi tanpa pernah ditambatkan lagi di dunia empiris yang plural. Sehubungan dengan Yang Politis , Hannah Arendt ingin mengatakan bahwa Yang Politis mati jika manusia diabstraksi menjadi Sang Manusia. Kenapa demikian ? Ini dikarenakan Sang Manusia rentan menjadi objek dominasi di “tangan” rezim politik yang totaliter. Konsep “Politik manusia-manusia yang merdekaa dan bebas” akan luluh lantak jika manusa-manusia empirik sepenuhnya diabstraksikan menjadi Sang Manusia. Mobilisasi massa merupakan hal yang tidak bisa kita lepaskan dari pengertian politik secara awam. Tapi di sinilah menariknya Hannah Arendt, dia berpendapat bahwa setiap upaya para politisi untuk memobilisasi penduduk yang diklaim sebagai konstituen atau pendukungnya, dan memperlakukan mereka sebagai massa bukan sebagai sesama, melainkan eksemplar sebuah kelompok yang berlawanan dengan kelompok lain, adalah sesuatu yang apolitis.

Penguasaan yang satu atau yang sedikit (elit) terhadap yang banyak, sehingga yang satu atau elit tersebut dapat mengatakan “kalian” pada pihak yang ditundukkan, dikuasai dan didominasi, Arendt berpendapat bahwa hal tersebut adalah anti-politik. Menurutnya politik seharusnya dipahami dalam kategori Freiheit (kebebasan) bukan dipahami dalam kategori Herrschaft (dominasi), sehingga Politics is Freedom atau Politik ist Freiheit. Arendt bermula dari antinomi yang dibuat oleh Aristoteles. Jika Plato menganggap negara/polis sebagai super-keluarga atau keluarga besar, maka muridnya Aristoteles membedakan antara oikos (keluarga) dan polis (negara kota). Pada oikos berlaku relasi antara penguasa dan yang dikuasai, antara laki-laki yang dominan serta peremuan yang didominasi, hubungan antara tuan yang serba kuasa dan budak-budaknya, antara peternak dan ternaknya. Intinya segala sesuatu yang legitimasinya berada dalam ruang privat.

Arendt kemudian mendestilasi antinomi oikos-polis Aristoteles ini dalam konteks modern, segala bentuk (walaupun itu berada dalam sebuah lembaga yang kita namai lembaga politik) hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, bapak revolusi dan massa anonim revolusi, antara elit politik dan konstituen yang hanya dihargai sebagai “suara”, ikatan patron-klien, ikatan etnosentrisme, dapat dipandang sebagai media sosialisasi pra-politis atau oikos, kenapa demikian ? , karena menurut Arendt semua relasi tersebut legitimasinya bukan berasal dari ruang publik. Atau singkatnya semua hubungan penguasaan a-simetris adalah relasi dominasi (herrschaft). Dalam tradisi filsafat Yunani sejak Plato dan Aristoteles, polis (negara kota) tidak hanya dipandang sebagai sarana bagi manusia agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar hidupnya secara efektif, polis bukan hanya sebagai instrument efektif bagi manusia untuk survival, tetapi polis merupakan ruang bersama bagi warga untuk mengaktualisasikan agathon (keutamaan tertinggi) nya. Dan dalam pandangan aristoteles dan Arendt, agathon tersebut hanya bisa teraktualisasi jika semua warga dalam polis berada dalam posisi yang setara dan saling menyuarakan aspirasi-aspirasinya. Dengan kata lain polis hanya mungkin jika terjadi komunikasi yang simetris/adil, setara serta rasional antara warga negara, ini menunjukkan peran bahasa yang sangat signifikan dalam polis.

Polis bukan hanya merupakan tembok yang memungkinkan penataan chaos, tetapi juga merupakan ruang bagi kemungkinan kebebasan politis, ruang bagi kemungkinan untuk hidup bersama. Jika kita menghubungkannya dengan konsep “Politik manusia-manusia merdeka” maka polis adalah ruang kemungkinan bagi manusia untuk merdeka, dalam artian ruang kemungkinan bagi manusia/warga untuk terlibat aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, ruang kemungkinan bagi warga untuk melakukan perbuatan-perbuatan besar yang relevan bagi “banyak orang”, ruang yang memungkinkan setiap warga berpikir dan bertindak dalam kesaling bersamaan. Dari antinomi oikos dan polis, maka Arendt meradikalkannya menjadi antomi Yang- Politis dan Non-Politis. Jika oikos/Non-politis adalah ruang-ruang keniscayaan, di mana segala sesuatu diselesaikan melalui penindasan dan pemaksaan, maka polis/ adalah ruang bagi kemungkinan, di mana segala sesuatu diselesaikan dengan kata-kata. Maka kebebasan merupakan penanda penting dalam politik, tetapi kebebasan yang dimaksud di sini bukanlah kebebasan individual tetapi kebebasan politik.

Terkadang kita beranggapan bahwa kebebasan politik hanya bisa terwujud jika ruang privat itu sterilkan dari infiltrasi ruang publik, tetapi bagi Arendt pengungkungan politik tercipta saat ruang publik diinfiltrasi dan dijadikan sebagai ruang privat. Hal ini bisa kita lihat dalam realitas oligarki politik di Indonesia, di mana proses-proses politik demokratis yang mendepatkan legitimasinya dari ruang publik, harus mengalami impotensi dikarenakan kepentingan untuk menjaga harta/modal figur-figur terentu, melalui penguasaan jabatan-jabatan politik. Barangkali bagi sebagian dari kita, membaca ide-ide Arendt sebagai sesuatu yang utopis, tetapi menurut penulis, gagasan-gagasan Arendt layak untuk dijadikan sebagai ideal type atau tolak ukur dalam mengarungi dan membaca hingar bingar politik yang ada. Maka akan selalu ada ketegangan dialektis antara “momen negatif” dan “momen positif” dalam sebuah proses politik, di satu sisi proses politik memungkinkan emansipasi yaitu memanusiawikan jejaring kekuasaan atau malah meregresi manusia menjadi serigala yang saling memangsa sesama.
Bersambung ke bag. 3…………….

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply