Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Mengenang Almarhum Abdul Muthalib: Kader Muhammadiyah, Membela Perkara dengan Hati

×

Mengenang Almarhum Abdul Muthalib: Kader Muhammadiyah, Membela Perkara dengan Hati

Share this article
Kenangan bersama Almarhum Abdul Muthalib, S.H., saat menyerahkan NBM di Pasar Malino Kabupaten Gowa, Desember 2018

KHITTAH.CO – Profesi pengacara atau advokat dapat dikatakan sebagai profesi yang mana seseorang yang memberikan nasihat dan melakukan pembelaan “mewakili” bagi orang lain yang berhubungan dengan penyelesaian suatu kasus hukum, yang dalam menjalankan profesinya tunduk pada etika profesi.

Dalam konteks Islam, profesi ini cukup mulia. Salah satu semboyan yang sering muncul sebagai tugas seorang pengacara adalah untuk memastikan seseorang yang berperkara, baik di dalam maupun di luar pengadian, memperoleh keadilan dan menjamin hak-haknya sebagai seorang manusia.

Pada sisi lain, orang yang berperkara harus diperlakukan secara baik dan jikapun dia salah, hukuman yang diperoleh tidak dilakukan sewenang-wenang. Selama ini tidak banyak teman saya atau orang yang saya kenal sebagai pengacara. Meskipun dulu banyak teman dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, tampaknya sekarang tidak ada yang menjadi pengacara.

Bersyukur sebagian besar dari mereka lulus menjadi jaksa, hakim, dosen Fakultas Hukum, atau bekerja di kantor-kantor pemerintah yang membidangi urusan hukum dan perundang-undangan.

Satu-satunya teman sebaya saya yang berprofesi sebagai pengacara adalah Abdul Muthalib, S.H., mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Kemarin beliau telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang di Makassar.

Informasi ini saya peroleh dari nyonyaku tadi malam, dia mengirimkan tangkapan layar dari laman media sosial, Rahmat Zena, yang memuat berita kepergian almahum ke haribaan Ilahi Rabbi.

Karena sudah sangat larut, saya tidak sempat lagi memeriksa laman media sosialku. Hingga tadi subuh Adinda, M. Farid Wajdi, Ketua KPU Kota Makassar, mengirim pesan kepada saya, bahwa Bang Thalib telah meninggal dunia.

Sesungguhnya saya tidak begitu dekat sekali dengan almarhum. Kami sempat satu sekolah selama setahun saat masih kelas satu di SMA Muhammadiyah Wilayah Disamakan, Makassar, samping Rumah Sakit Labuang Baji awal tahun 1990-an.

Tamat SMA, saya kuliah di Universitas Hasanuddin, dan beliau masuk ke Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar. Selama hampir dua puluh tahun, kami tak pernah bersua.

Namanya baru mulai terkenal pada akhir tahun 2000-an, ketika beliau menjadi salah satu kuasa hukum sahabatku, Upi Asmaradana, terkait sengketa dengan seorang pejabat tinggi kepolisian Sulawesi Selatan yang sekarang sudah pensiun. Saya dengar, mereka memenangkan perkara di pengadilan. Ini terkait dengan laporan pejabat kepolisian tersebut mengenai adanya pencemaran nama baik.

Pada sekitar akhir tahun 2010, Bang Thalib pernah menelepon saya. Dia ingin masuk pengurus Muhammadiyah. Dia meminta agar dibuatkan kartu Muhammadiyah. Memang beliau berhak menjadi anggota Muhammadiyah, karena dia adalah alumni SMA Muhammadiyah dan pernah bersama saya mengikuti pengkaderan Ikatan Pelajar Muhammadiyah di komplek Perguruan Muhammadiyah Mamajang.

Saat itu, saya minta dia mengurus formulirnya di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Mamajang. Setelah formulir diisi lengkap, dia membawanya ke Kantor Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Lalu saya kirim ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta untuk diproses lebih lanjut.

Ketika kartu anggotanya sudah tiba dari Yogyakarta, saya segera menghubungi beliau. Kapan bisa bertemu atau datang mengambil kartu tersebut. Hingga saya berangkat sekolah ke Malaysia awal tahun 2011, kami tak sempat bertemu dan kartu tidak sempat diberikan kepadanya. Untung sekali, kartu itu saya simpan dalam saku jas hitam yang selalu tergantung dalam lemari.

Suatu ketika di awal tahun 2016, kami janjian akan bertemu. Kartu Muhammadiyah saya ambil dari jas dan saya simpan dalam dompet. Akan tetapi, atas alasan satu dan lain hal, pertemuan tidak terlaksana. Kartu tersebut tetap ada pada saya.

Sekitar pertengahan 2018, sebenarnya saya beberapa kali bertemu dengan beliau. Dia dengan sengaja ingin bertemu untuk membahas satu persoalan yang sangat penting. Awalnya saya tidak dapat menyanggupi permohonannya. Saya bilang bahwa saya tidak bisa dan tidak mampu untuk mengurusnya.

Justru dia bilang: “Saya justru datang bertemu, karena saya yakin Bang Haidir orang yang tepat untuk mengurus ini”, kira-kira begitu pintanya sedikit merayu. Setelah beberapa kali pertemuan, ternyata urusan berkenaan bisa selesai dengan baik dan memperoleh hasil sesuai harapan.

Sayang sekali, meskipun beberapa kali bertemu, urusan kartu anggota Muhammadiyah selalu terlupa. Kadang saya lupa membawa, atau kadang saya sudah membawa, tapi tak sempat menyerahkan.

Lalu pada bulan Desember 2018, saya akan menjemput putriku di Perguruan Muhammadiyah Malino Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa. Putriku berada di sana dalam rangka mengikuti pengkaderan tingkat pertama Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang diadakan oleh PC IPM Malino. Sebelumnya saya menyempatkan diri ke Pasar Malino, sesuai kebiasaan, berbelanja sayuran dan buah-buahan.

Tak disangka, tiba-tiba saja, ada seseorang yang mencolek saya dari arah belakang. Ternyata Bang Abdul Muthalib bersama dengan keluarganya. Mereka sedang rekreasi dan bermalam di Kota Bunga ini. Saya langsung periksa dompet, mengecek kartu Muhammadiyahnya. Masih ada.

Dalam kesempatan tersebutlah, saya menyerahkan kartu Muhammadiyah atas nama beliau. Padahal sudah ada sama saya sejak tahun 2010. Jadi delapan tahun kemudian, barulah beliau menerimanya.

Saya tahu dia seorang pengacara yang populer di Makassar. Untuk ukuran Kota Makassar hingga saat ini, beliau termasuk dalam jajaran pengacara yang cukup diperhitungkan, kredibel dan kompeten. Beberapa kali saya mengikuti perkara yang dia tangani melalui media massa.

Rata-rata yang dia tangani adalah yang terkait dengan persoalan orang-orang yang tertindas, orang-orang yang tidak berpunya, atau pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia. Saya belum pernah mendengar dia menangani perkara orang besar, tokoh masyarakat atau mereka yang pernah duduk sebagai pejabat dalam lembaga pemerintahan.

Dalam satu perbincangan, beliau pernah mengatakan kepada saya. Saat menangani satu perkara, harus dilakukan dengan mengedepankan hati nurani. Sebab hati nurani sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Hati nurani tidak bisa dibohongi.

Di samping itu, beliau juga mengatakan bahwa ada dua perkara yang sama sekali dia tidak mau tangani. Kedua kasus yang dia tidak mau tangani adalah membela kasus korupsi dan yang terkait dengan kejahatan seksual. Wallahu ‘alam.

Haidir Fitra Siagian
Wollongong, 02 Februari 2021

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply