Oleh Eriton
Sekretaris Umum PC IMM Malang Raya periode 2016-2017.
ZAMAN EDAN, barangkali tepat apa yang dikatakan Ronggo Warsito untuk menggambarkan realita kehidupan sosial dewasa ini. Kemelut politik yang kian tak menentu, korupsi seakan jadi tradisi para penguasa dan politisi. Ketimpangan ekonomi semakin menjadi-jadi. Yang kaya semakin kaya, sedang yang miskin semakin papa dan melarat. Penegakan hukum semakin tak terarah. Hukum hanya menjadi alat para penguasa bukan penegak keadilan. Konflik sosial di berbagai daerah kini belum kunjung tuntas, konflik antar etnis dan bahkan agama. Inilah sedikit gambaran kehidupan berbangsa dan bernegara kita pasca reformasi. Dalam gejolak kehidupan sosial ini Muhammadiyah bergerak.
Sebagai organisasi kemasyarakatan mau tidak mau Muhammadiyah harus tercebur dalam sumur yang gelap dan menyeramkan itu. Namun, tetap mempertahankan dirinya ditengah zaman yang kian minim cahaya ini. Tentu salah satu upaya yang dilakukan oleh Muhammadiyah yaitu mencoba tampil sebagai pengayom serta pendengar yang baik terhadap suara-suara grass root. Seiring dengan itu, Pemerintah semakin tidak dipercaya oleh masyarakat luas akibat praktik miring, sarat degan kepentingan tanpa menjunjung tinggi nilai dan etika. Sehingga kepentingan masyarakat luas terabaikan.
Realitanya, Muhammadiyah sebagi ormas lebih simpatik kepada persoalan umat hari ini. Terbukti dengan upaya Muhammadiyah dalam menegakkan keadilan dengan melakukan advokasi terhadap Siyono yang menjadi korban Densus 88, disaat semua bungkam. Kemudian menjamurnya sekolah Muhammadiyah di seluruh pelosok tanah air. Terhitung sekitar 19.951 sekolah TK, SD, SLTP dan SLTA, 102 Pesantren, dan 176 Perguruan Tinggi. Selain itu, tabulasi data lembaga zakat Muhammadiyah atau Lazismu pada 16 Septemer 2016 telah menyalurkan sebanyak 149.885 hewan qurban atau dengan nilai Rp. 318.981.500.000,. Ini merupakan angka fantastis untuk sekelas Ormas. Hal tersebut juga membuktikan bahwa Muhammadiyah semakin dipercaya oleh umat. Selain itu gerakan-gerakan pemberdayan terus dilakukan. Misalnya dalam menyoal isu-isu horizontal seperti rasisme dan konflik antar umat beragama tanpa memicu konflik baru. Tentu semua upaya itu dilakukan untuk perbaikan ekonomi umat dan pendidikan generasi bangsa ke depan. Itulah harapan sederhana Muhammadiyah.
Kita boleh membusungkan dada dengan itu semua. Namun, sebagai generasi muda Muhammadiyah kita jangan sampai terlelap dan lalai. Karena zaman terus bergerak. Alangkah lebih elok dan fair kita melihat Muhammadiyah dari berbagai sisi. Pertama, Dakwah Pendidikan Muhammadiyah. Harus diakui bahwa Muhammadiyah memiliki banyak lembaga pendidikan. Dan lembaga pendidikan ini dikelola secara mandiri oleh Muhammadiyah. Jutaan warga negara yang mestinya menjadi tanggungan pemerintah sesuai UUD 1945 telah memperoleh manfaat dari lembaga pendidikan Muhammadiyah. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai pada level Perguruan Tinggi Muhammadiyah dikelolah secara profesional. Lembaga Pendidikan ini merupakan bagian dari Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), yakni lembaga yang membantu dakwah Muhammadiyah. Namun pada kenyataannya, harapan itu jauh panggang dari api. Ketika melihat praktik pendidikan Muhammadiyah yang hampir tidak ada bedanya dengan sekolah milik Pemerintah. Artinya, komitmen keberpihakan Muhammadiyah untuk memberantas kebodohan dan buta huruf mulai kabur dan melenceng. Biaya pendidikan Muhammadiyah yang semakin tak terjangkau merupakan salah satu contoh sederhana. Ada banyak anak tidak mampu di negeri ini yang membutuhkan pendidikan. Memang harus disadari bahwa persaingan global yang berimplikasi pada komersialisasi pendidikan termasuk lembaga pendidikan Muhammadiyah. Sejatinya, ruh pendidikan Muhammadiyah tidak tergadai oleh gejolak persaingan itu. Keberpihakan terhadap kaum mustadh’afin atau si miskin tetap menjadi prioritas utama.
Kedua, Gerakan Dakwah Ekonomi Muhammadiyah. Melihat persoalan konlfik sosial yang terjadi dimana ekonomi menjadi salah satu faktor utama. Muhammadiyah membaca peluang dakwah strategis itu. Pada wilayah pembangunan dan pemberdayaan ekonomi umat. Gagasan ini telah dicanangkan sejak lama oleh muhammadiyah. Muhammadiyah dengan SDM dan asetnya dianggap mampu melakukan pemberdayaan dan pembangunan ekonomi. Gerakan dakwah ekonomi yang digagas ini memang masih belum mencapai sasaran yang tepat. Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang belum tersentuh oleh angin segar ini. Kita sering sekali mendengar pesan KH. Ahmad Dahlan yaitu, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, tapi jangan mencari hidup di muhammadiyah”. Pesan itu terkadang sering pula diklaim sebagai kondisi Muhammadiyah pada Kiai Dahlan. Sehingga dianggap tidak relevan dengan kondisi pada Muhammadiyah masa kini. Hari ini Muhammadiyah sudah kaya raya, memilikinya omset triluinan rupiah. Muhammadiyah telah banyak memberdayakan secara profesional para tenaga ahli di AUM-nya tanpa membeda-bedakan. Namun kadang-kadang juga lupa melihat warganya sendiri. Sehingga tak jarang kader potensial Muhammadiyah sering kali terbaikan dan ‘nganggur’.
Ketiga, Muhammadiyah sebagai organisasi ideologis dan perkaderan. Ideologi adalah pijakan dasar bagi setiap warga Muhammadiyah. Sehingga ideologi menjadi penting dalam menghidupi dan menggembirakan dakwah Muhammadiyah. Oleh karena itu, tidak ada istilah “perselingkuhan ideologi” di Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah yang memang mengakui dan sepakat dengan jalan fikiran gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi ajaran Islam dari penyimpangan aqidah yang berlandaskan pada al-Quran dan sunnah. Ideologi merupakan landasakan utama untuk memperteguh prinsip itu. Pada persoalan ini agaknya Muhammadiyah mulai kewalahan meng-counter (memurnikan) ideologi dan perkaderan di Muhammadiyah dari AUM.
Hari ini kita melihat Muhammadiyah sebagai sebuah kapal besar yang sedang berlabuh. Semua orang bisa saja naik dengan motif dan tujuan yang berbeda atau “penumpang gelap”, mengutip istilah Ketua PP Pemuda Muhammadiyah. Oleh karenanya, perkaderan Muhammadiyah menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh nahkoda kapal besar ini. Nahkoda mesti menyerukan kembali arah dan tujuan kapal besar ini agar penumpangnya komit dan tak membuat gaduh, daripada hanya sekedar alat transportasi biasa. Karena kapal bisa saja oleng, tidak sampai pada tujuan jika diterpa angin dan ombak besar dan bahkan bisa tenggelam. Jangan sampai Muhammadiyah menjadi malaikat penolong bagi siapa saja tapi menjadi “raksasa pembunuh” bagi kader ideologisnya sendiri. Alangkah pilunya hati Sang Kiai jika melihat kondisi Muhammadiyah hari ini. Memang persoalan yang kompleks di Muhammadiyah bukan belum tentu karena faktor tata kelola atau menajemen bisa jadi sebagai tantangan di abad ke dua bagi Muhammadiyah sekaligus bukti bahwa Muhammadiyah adalah organisasi besar, yang membawa gagasan besar dan menuju cita-cita besar nan mulia. Posisi Muhammadiyah di tengah sekelumit persoalan internal dan kebangsaan memang menjadi dilema. Tapi untuk bertahan memang Muhammadiyah perlu melihat dua sisi itu yaitu intrinsic factors dan extrinsic factors. “Lancar kaji karena diulang”. Barangkali itulah sebuah adagium lama yang mungkin tepat untuk coretan ini. Saya sadari sepenuhnya ini bukan wacana baru. Tapi saya pikir bukan persoalan bagi Muhammadiyah. Wallahu a’lam.
Demi pena..!!! dan apa yang ditulisnya.
Jadilah terdepan dalam kebaikan.