Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Mengokohkan Prinsip Hidup dengan Enam Rukun Iman

×

Mengokohkan Prinsip Hidup dengan Enam Rukun Iman

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Manusia dewasa waras, meskipun tidak memahami pengertian/defenisinya, semuanya memiliki dalam dirinya, sesuatu yang bisa dimaknai sebagai prinsip. Kepemilikan prinsip, bisa bersifat personal, ada pula yang bersifat kolektif.

Bisa dipastikan, manusia yang hidup tanpa prinsip akan terombang-ambing dalam mengarungi samudera kehidupan. Bahkan bagaikan layang-layang yang putus talinya. Prinsip bisa menjadi penggerak utama dalam kehidupan, baik secara personal bagi seseorang, maupun secara kolektif dalam kehidupan sosial, bangsa, dan negara.

Prinsip pun jika dicermati, dalam kehidupan menjadi daya penggerak yang sangat kuat, meskipun prinsip tidak selamanya menggerakkan sesuatu ke arah positif, bisa sebaliknya ke arah negatif. Bahkan prinsip seseorang atau masyarakat, bangsa dan negara secara kolektif bisa saja menggerakkan ke arah yang sifatnya menerobos, melanggar, dan menyimpang sesuatu yang lebih prinsipil atau sesuatu yang bisa dimaknai sebagai prinsip yang lebih universal. Prinsip ada yang menggerakkan ke puncak kejayaan, dan ada pula, khususnya dalam jangka panjang yang menggerakkan ke arah kehancuran.

Sebelumnya saya ingin menyampaikan bahwa dalam Kamus Ilmiah Populer karya Pius A Partanto & M. Dahlan Al Barry (1994: 625), Prinsip adalah: asas; pokok; penting; permulaan; fundamen; aturan pokok. Dari defenisi ini saja, sudah tergambar dengan jelas, bahwa prinsip memiliki peran dan posisi strategis dalam diri manusia atau setiap orang.

Saya contohkan saja beberapa prinsip yang sifatnya personal maupun kolektif. Ada prinsip “rela mati demi cinta”. Dari prinsip seperti ini pernah ada satu kejadian di Kabupaten Bantaeng, beberapa puluh tahun yang lalu, seorang perempuan bunuh diri dengan cara minum obat nyamuk Baygon. Penyebabnya diketahui, bahwa itu karena pacarnya dimarahi oleh orang tuanya. Ini satu prinsip tetapi bisa dinilai menyimpang dari hal yang lebih prinsipil. Apalagi posisi mereka berdua masih dalam kategori “berpacaran, belum sah sebagai suami-istri”, tetapi sudah mengedepankan prinsip “rela mati demi cinta”.

Ada pula prinsip yang jika dalam istilah orang Bantaeng (bahasa Makassar) disebut “Eja tompi na doang” (artinya, mudah-mudahan tidak keliru dalam menerjamahnya ke dalam Bahasa Indonesia: Nanti merah, kemudian diakui sebagai udang). Untuk memudahkan dalam pemahaman, prinsip ini sejajar dengan “Tiba masa tiba akal”. Prinsip ini bisa memengaruhi si pemiliknya, untuk bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebelumnya, terhadap sesuatu yang akan diikuti/dihadapi. Semua orang tahu, dampak negatif prinsip ini, tetapi karena namanya prinsip, maka mampu menggerakkan dan mengendalikan diri sang pemiliknya.

Saya teringat pada saat itu, kami (saya bersama dua orang siswa lainnya) mewakili SMP Negeri 2 Bissappu, Kabupate Bantaeng, mengikuti Lomba Cerdas Cermat di Stasiun TVRI Makassar, melawan dua kabupaten lainnya. Tiba-tiba tim pelaksana/panitia, meminta setiap regu untuk menyampaikan motto pada saat memperkenalkan regu/timnya. Motto pun mengandung sesuatu yang dimaknai sebagai “prinsip”.

Pada saat itu kami bertiga merumuskan motto. Saya mengusulkan dan disetujui oleh dua siswa lainnya yaitu “Kami yang berusaha, Allah yang menentukan”. Prinsip kami, diapresiasi oleh guru-guru kami, maupun dari sekolah lain, karena dipandang singkat, padat, berbobot, dan memiliki makna tingkat ketawakalan yang sangat dalam.

Para pejuang kemerdekaan Indonesia, dikenal memiliki prinsip yang kokoh baik secara personal maupun kolektif. Salah satunya, “Merdeka atau mati” adalah prinsip yang mampu menggerakkan para pejuang untuk menuju puncak dan pintu kemerdekaan Indonesia. Pernah satu masa, Indonesia dikenal dengan “Macan Asia”, ini juga dijadikan prinsip.

Amerika Serikat kuat karena prinsipnya adalah sebagai “Polisi dunia”. Prinsipnya ini yang mampu membuatnya untuk memiliki semangat mengatur negara-negara lain yang ada di dunia, bahkan sampai pada memberikan intervensi dalam berbagai aspek terhadap negara lain.

Menulis adalah kerja-kerja keabadian dan mengabadikan, ini bisa juga menjadi prinsip bagi para penulis untuk selalu menghasilkan karya dalam bentuk tulisan. “Tiada hari tanpa belajar, membaca, dan menulis” dan “tiada hari tanpa prestasi”. Ini bisa menjadi prinsip yang baik dan tepat bagi seorang pelajar, mahasiswa, dan generasi muda yang punya niat memperbaiki kehidupan bangsa.

Saya pun teringat, pada saat itu, salah seorang guru kami menawarkan pakaian-perempuan. Setelah diperlihatkan kepada teman-teman siswa perempuan oleh guru kami, salah seorang teman berkata “kurang bagus baju ini bu, saya kurang suka, tidak membentuk tubuh”. Siswa perempuan itu harapannya adalah baju yang ketat bahkan yang sangat ketat. Sikap dan perilaku siswa ini, itu digerakkan oleh prinsip. Mungkin prinsipnya “kemolekan tubuh adalah ukurang kecantikan perempuan”. Jadi dia merasa cantik jika pakaiannya ketat. Padahal dalam Islam, justru mengajarkan dan mengharapkan hal sebaliknya, yang pada prinsipnya pakaian yang dipakai itu, tidak membentuk tubuh, tidak menampakkan lekuk-lekuk tubuh.

Mungkin kita ketahui bersama bahwa di Jepang—sebagaimana diuraikan oleh Ary Ginanjar Agustian dalam buku karyanya: ESQ—ada sejenis prinsip bahkan telah menjadi budaya, disebut “budaya Harakiri”. Jika seseorang merasa bersalah atau putus asa, ia akan menusukkan pedang Katana dan merobek lambungnya, hingga kemudian mati perlahan.

Dalam dunia politik pun dikenal prinsip “tidak ada musuh atau teman abadi”. Prinsip ini memengaruhi dan memantik kesadaran bahwa dalam dunia politik, dalam hitungan satu detik pun, sesuatu bisa berubah seketika oleh dorongan kepentingan.

Saya pernah menonton film, jika tidak salah ingat judulnya “Mukjizat dari Virginia”. Aktor utamanya bernama Craig. Singkat cerita saja, bahwa Craig ini menderita tumor ganas, bahkan telah divonis oleh tim dokternya, bahwa hidupnya tidak lama lagi. Tetapi sebuah mukjizat terjadi, tumor ganas hilang dan anak kecil itu sembuh total. Selama tumor ganas itu bersarang dalam tubuhnya, anak itu tidak pernah nampak sedih atau menderita, justru sebaliknya tetap bahagia. Ternyata yang membuat dirinya tetap tegar dan bahagia seperti anak kecil lainnya yang sehat, adalah karena prinsipnya. Prinsip luar biasa Craig, meskipun dalam ranah teologis mungkin saja bisa dipandang keliru, tetapi dari aspek psikologis tetap bisa diapresiasi, yaitu “Akulah penguasa tubuhku”.

Ada pula cerita menarik yang diungkapkan oleh Ary Ginanjar dalam bukunya, yang menggambarkan prinsip yang salah. Singkat saja, pernah ada kapal induk yang hampir saja menghantam mercusuar, meskipun oleh petugas mercusuar sudah beberapa kali memberikan peringatan untuk mengubah arah. Mengapa hal itu terjadi, karena kapten kapal induk, merasa atau berprinsip bahwa ini adalah “Kapal induk” yang lain harus meminggir dan memberi jalan bagi kapal induk. Dengan prinsipnya itu, dia tidak menyadari bahwa “lampu sorot” yang ada di depannya itu adalah “mercusuar”, jadi meskipun dirinya adalah kapal induk, maka seharunya yang harus bergeser jalur adalah dirinya.

Prinsip yang salah dan keliru, jika memahami teori dan skema yang dirumuskan oleh Ary Ginanjar, termasuk menjadi bagian dari tujuh belenggu hati, sebagaimana yang saya sebutkan dalam tulisan saya sebelumnya (tulisan hari kedelapan Ramadan). Prinsip yang salah dan keliru, bisa menutupi pula suara hati yang mengandung suara kebenaran dan ilahiah.

Agar suara kebenaran dan ilahiah yang ada dalam diri manusia dan terpusat pada hati, maka sebaiknya kita perlu memiliki prinsip yang benar, prinsip yang diridhoi oleh Allah sang pemilik keabadian. Agar prinsip yang dimiliki benar dan efeknya berlangsung pula dalam jangka waktu yang tidak terhingga, karena terpancar dari sumber keabadian yang sebenarnya. Bukan prinsip yang lahir dari manusia, yang terkadang sifatnya dangkal, keliru/salah, dan hanya bersifat jangka pendek.

Dalam ajaran Islam ada sumber prinsip yang ketika hal itu ditarik dan diinternalisasi ke dalam diri, maka kita akan memiliki prinsip yang kokoh. Hanya saja sumber prinsip itu, seringkali kita lupakan, tidak disadari. Padahal sejak masa di bangku sekolah dasar, bahkan sebelumnya, tingkat taman kanak-kanak, kita telah mengetahuinya dan bahkan menghafalnya.

Yang dimaksud dan sebagai sumber prinsip yang bisa menjadi prinsip itu sendiri, sebagaimana yang saya pahami dari Ary Ginanjar adalah “Enam Rukun Iman”. Jadi tulisan ini murni, rujukan utamanya adalah konsepsi ESQ Ary Ginanjar, meskipun saya sendiri melakukan elaborasi, derivasi dan kontekstualisasi yang lebih jauh, dan bahkan menarik garis relasi ke dimensi lain yang tidak diuraikan oleh Ary Ginanjar dalam bukunya. Dari “Enam Rukun Iman”, maka dihasilkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

Pertama, Prinsip Bintang (Star Principle)

Prinsip bintang ini, adalah prinsip yang berumber dari rukun iman yang pertama, “Iman kepada Allah”. Sebagaimana yang saya pahami dari hasil pendalaman Ary Ginanajar terhadap rukun iman yang pertama, ini sangat penting sebagai prinsip utama dan mendasar dalam diri manusia. “Tauhid adalah kepemilikan rasa aman yang intrinsik;, kepercayaan diri ang sangat tinggi; integritas yang sangat kuat; sikap bijaksana dan memiliki tingkat motivasi yang sangat tinggi. Ary pun menegaskan bahwa “…[ini] semuanya dilandasi dan dibangun karena iman dan berprinsip hanya kepada Allah serta memuliakan dan menjaga sifat Allah. Laa ilaaha illallaah.

Sebagaimana adanya sejenis tradisi, seorang pemuda Makassar seringkali mendatangi—kita sebut saja guru spiritual—untuk mendapatkan ilmu atau sering pula diistilahkan “mantra” supaya dirinya punya keberanian, dan lain-lain. Bagi saya, ini tidak perlu dilakukan, karena ada hal yang lebih kokoh, yaitu bagaimana menginternalisasi dan menderivasi rukun iman pertama ini ke dalam diri, dan menjadikannya prinsip.

Contoh sederhana saja, jika prinsip “segala sesuatu datangnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah” maka kehilangan apa pun, diri kita tidak pernah jatuh dan tersungkur dalam jurang kesedihan dan keputusaan yang amat dalam”. Begitupun jika prinsip kita kuat bahwa “tidak akan jatuh sehelai rambut pun, tanpa seizin Allah”, maka ini akan memberikan ketegaran dan keberanian dalam sebuah perjuangan.

Minimal kedua contoh dari prinsip pertama ini saja, diri kita akan mampu memiliki “rasa aman yang tinggi”, motivasi, sebagaimana yang telah saya kutip dari Ary Ginanjar di atas.

Kedua, Prinsip Malaikat (Angel Principle)

Jika kita memiliki prinsip “meneladani malaikat” maka dalam kehidupan ini, kita akan memiliki spiritualitas ihsan. Apapun yang dikerjakan, bukan karena ABS (Asal Bapak Senang). Tetapi setiap pekerjaan, kita akan melakukan dengan kualitas terbaik, niat memberikan manfaat sebaik-baik dan sebesar-besarnya kepada orang lain, tulus dan ikhlas karena Allah. Kita akan memiliki semangat kerja yang tinggi dalam kondisi apapun.

Loyalitas yang terpancar pada diri, bukan loyalitas semu, tetapi berpijak pada sesuatu yang sangat mendasar, bisa karena hal tersebut bagian daripada ibadah, bisa pula karena telah diatur oleh regulasi yang mengikat. Termasuk bisa karena merupakan komitmen atas sumpah dan janji jabatan.

Ketiga, Prinsip Kepemimpian (Leadership Principle).

Prinsip ini terpancar dari rukun iman yang ketiga. Seseorang yang menginternalisasi prinsip ini ke dalam dirinya, dalam pandangan saya, sebagaimana yang saya derivasi dan kontekstualisasikan dalam kehidupan, maka akan selalu berupaya, agar bisa dicintai/disenangi, baik ketika posisinya sebagai bawahan terutama ketika berada dalam posisi sebagai pemimpin.

Dengan prinsip ini, kita pun akan berupaya membangun rasa percaya yang tinggi; selalu berupaya memberikan bimbingan kepada orang lain, terutama orang terdekat. Bimbingan bisa berbagai bentuk. Bagi saya, sering melahirkan tulisan seperti ini, untuk selanjutnya disebar secara massif dengan harapan, banyak yang membaca, dan secara tidak langsung bisa dipandang sebagai wujud dari prinsip ketiga ini.
Selalu berupaya memiliki kepribadian yang kokoh. Selain itu berupaya melahirkan karya yang bisa dikenang sepanjang masa.

Keempat, Prinsip Pembelajaran (Learning Principle)

Prinsip ini adalah bentuk kristalisasi dari rukun iman yang keempat. Dari proses internalisasi prinsip ini, maka seseorang akan rajin belajar, rajin membaca (sebagaimana kitab harus dibaca), senantiasa mencari sumber kebenaran (tentunya tidak akan menyebarkan hoax), mampu berpikir kritis. Selain itu, orang-orang yang memiliki prinsip ini, memiliki pula kesiapan untuk dievaluasi, dikritik, dan dikoreksi. Tidak mengedepankan sikap dan perilaku yang menunjukkan “anti kritik”.

Kelima, Prinsip Masa Depan (Vision Principle)

Prinsip ini, disarikan dari rukun iman yang kelima. Mereka yang memiliki prinsip ini, maka dia akan senantiasa berupaya agar dalam dirinya memiliki pondasi yang kokoh, tanpa kecuali dalam hal pengetahuan dan berbagai modal kehidupan lainnya.

Mereka akan memiliki dan senantiasa berupaya untuk membuat perencanaan yang baik. Mereka akan memahami bahwa “gagal dalam perencanaan maka sama saja merencanakan kegagalan”.

Dan yang paling utama sebagaimana dijelaskan oleh Ary Ginanjar, mereka yang memiliki prinsip ini, akan “Selalu berorientasi pada tujuan akhir terhadap setiap langkah yang dibuat. Melakukan setiap langkah secara optimal dan sungguh-sungguh. Memiliki kendali diri dan sosial, karena telah memiliki kesadaran akan adanya ‘hari kemudian’. Memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki ketenangan batiniah yang tinggi, yang tercipta karena sebuah keyakinan akan adanya ‘hari pembalasan”.

Keenam, Prinsip Keteraturan (Well Organized Principle)

Prinsip ini adalah perasan dari rukun iman yang keenam. Dia, mereka atau kita yang memiliki prinsip ini, maka kita aka senantiasa berupaya dengan maksimal bahwa apapun yang dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan dilandasi dengan niat yang kuat.

Selain itu, dia, mereka dan/atau kita yang memiliki prinsip ini akan senantiasa menyadari konsekuensi logis yang terjadi dalam setiap proses. Termasuk, kita akan menyadari adanya hukum-hukum yang berlaku, baik hukum alam maupun hukum sosial, dan berupaya secara maksimal untuk tidak melanggarnya. Kita pun menyadari bahwa dalam hidup ini, ada sistem yang mengikat, dan semua tanpa kecuali harus berupaya untuk tidak melanggar dari sistem yang ada.

Saya menyarankan agar para pembaca memiliki, dan membaca buku-buku Ary Ginanjar, untuk bisa memahami secara progresif dan relevan dengan permasalah dan kebutuhan dalam realitas kehidupan, terkait konsep ihsan, rukun Iman, dan rukun Islam.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhamadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply