Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

‘Menguji Nilai Tauhid’ Organisasi Pergerakan Islam Kini

×

‘Menguji Nilai Tauhid’ Organisasi Pergerakan Islam Kini

Share this article

Oleh: Ian Hidayat

Khittah.co – Senin siang, saya menyempatkan diri berkunjung ke acara salah satu kerabat di Kabupaten Gowa. Seorang senior yang baru saja merayakan aqiqahan anaknya. Aqiqah dalam Islam adalah serangkaian pemberian nama dan penyembelihan hewan untuk merayakan kelahiran seorang anak.

Selain ikut terlibat dalam euforia perayaan tersebut, saya juga merasa berkepentingan untuk bertemu dengan kawan lain untuk menjaga silaturahmi. Kelompok diskusi dari UIN Alauddin Makassar. Sekalian bisa bercengkrama tanpa harus memikirkan mahalnya pembeli kopi.

Berdiskusi dengan kawan kawan civitas UINAM (dosen dan mahasiswa) cukup penting dan menarik bagi saya. Kawan kawan disana masih sering membahas persoalan agama dan politik.

Kondisi tersebut memang tidak terlepas dari latar belakang civitas UINAM yang sebagian besar merupakan seorang santri atau pengurus masjid. Kepentingan diskusinya adalah bagaimana merekonstruksi agama bukan hanya sebagai sebuah peribadatan, namun juga meliputi agenda dan wacana kemanusiaan.

Kondisi dan kepentingan tersebut sebenarnya banyak disadari oleh mahasiswa di UINAM. Makanya, tidak heran melihat organisasi mahasiswa Islam masih eksis di kampus itu hingga sekarang.

Saya sering berjumpa dengan kawan kawan organisasi mahasiswa Islam (IMM, HMI, PMII). Masing masing dari organisasi tersebut punya pola gerakan dan kaderisasi yang tentunya berbeda. Namun, pada akhirnya kepentingannya punya titik temu yang sama, yakni membangun masyarakat Islam.

Masyarakat Islam yang saya maksud disini adalah Islam secara terminologi. Islam dapat diartikan sebagai selamat, saya meminjam pemikiran Haedar Bagir yang Islam sebagai agama yang menyelamatkan manusia baik secara materil maupun non-materil. Termasuk yang Haedar Bagir maksud adalah persoalan memanusiakan manusia yang lain.

Kita akan bersepakat, organisasi mahasiswa Islam yang saya sebutkan di atas punya konsep yang sama soal itu.

Memang kita bisa amini, cukup berat untuk mengimplementasikan tugas ideologi organisasi mahasiswa Islam tersebut. Setidaknya, mereka memiliki dua variabel masalah yang harus dipertanggungjawabkan.

Variabel pertama masalah intelektualitas, pada akhirnya kita bisa sepakati. Mereka memiliki tanggung jawab moral atas intelektualitas di masyarakat. Mereka memiliki infrastruktur yang lengkap untuk membangun hal tersebut. Mahasiswa memiliki akses terhadap akademisi, mereka juga memiliki akses terhadap literatur yang ada, seperti jurnal dan pelbagai macam penelitian yang disediakan kampus.

Variabel kedua soal religiusitas. Membawa nilai Islam dalam gerakan mereka akan menguntungkan untuk menggaet banyak massa untuk melakukan kaderisasi. Namun, mereka juga akan bertanggung jawab secara moral soal nilai agama yang mereka bawa.

Jadi, organisasi mahasiswa Islam akan bertugas menjaga nalar intelektualitasnya dan mereka juga nantinya yang akan merekonstruksi kultur keberagamaan yang ada.

Masalah rekonstruksi yang disebutkan diatas memang akan menemui banyak kendala, Sebab pola pendidikan keberagamaan masyarakat Indonesia adalah doktrinasi.

Banyak orang menganggap agama tidak perlu dipertanyakan dan cukup manut jika diberitahu. Makanya di Indonesia, agama berhasil menjadi alat hegemoni yang cukup efektif.

Namun, kita bisa pelajari juga sebenarnya organisasi intelektual Islam pernah menjadi antitesis terhadap beberapa pola hegemoni yang menggunakan agama sebagai alat kepentingan.

Nilai Ajaran Tauhid dalam Islam

Disini saya ingin mempertegas posisi organisasi mahasiswa Islam sebagai pembawa kabar baik baik para kaum tertindas. Sebagaimana terminologi dari Islam itu sendiri. Juga merefleksi kisah perjalanan awal kenabian Muhammad.

Beberapa tafsir kontemporer menyebut, kedatangan Muhammad pada kaum quraish pada masa lampau ditolak. Penolakan ini bukan sekedar alasan teologis Muhammad yang membawa ajaran Tauhid. Namun, dampak dari ajaran Tauhid akan mengganggu status quo kaum Quraish yang pada saat itu mahsyur dengan perdagangan dan perbudakan.

Meminjam penjelasan Emha Ainun Najib, bahwa dalam Teologi Tauhid tidak ada yang patut disembah selain Tuhan yang Maha Esa. Teologi Tauhid tidak membenarkan hamba sahaya patuh secara penuh kepada majikannya. Hal ini yang ditolak oleh Kaum Quraish.

Nah, alasan Islam sebagai landasan ideologi akan menjadikan organisasi mahasiswa Islam akan berpihak kepada kaum tertindas, yang penindasannya diamini oleh kondisi status quo yang ada.

Perjuangan Organisasi Islam Awal di Nusantara

Di Nusantara ini, kita bisa merefleksi perjalanan kaum organisasi intelektualitas Islam dengan kisah Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan belajar soal agama dari berbagai guru di Mesir dan Madinah. Ajaran ini yang coba dia bawa dan sampaikan di Indonesia.

Ahmad Dahlan sebenarnya punya misi ketauhidan yang sama dengan Muhammad. Pada intinya, tidak ada yang dapat menjadi sesembahan selain Tuhan Maha Esa. Pada saat itu, nilai ketauhidan masyarakat Ahmad Dahlan menghadapi persoalan feodalisme dan kolonialisme.

Orang orang feodal menyembah kerajaan. Sedang yang lain menyembah penjajahan. Ini yang coba dihadapi oleh Ahmad Dahlan.

Ahmad Dahlan cukup unik melawan permasalahan tersebut. Alih alih membangun benteng dan membeli senjata, Ahmad Dahlan justru membangun dipan pondok (sekolah masih belum bisa dijangkau kalangan pada saat itu) dan membeli kitab untuk belajar. Gerakan Ahmad Dahlan lebih memilih menghegemoni masyarakat Kauman tempatnya dahulu. Kejadian tersebut menjadi dasar orang orang memilih perjuangan revolusi kemerdekaan.

Gerakan Reformis 98

Di Indonesia, kita akan selalu disajikan romantisme sejarah soal 98. Setiap pelaku sejarah akan bangga menceritakannya. Baik ketika terlibat langsung atau tidak.

Walaupun bukan sebagai faktor utama dalam reformasi tersebut. Organisasi mahasiswa punya andil dalam gerakan tersebut. Mereka berhasil menghegemoni soal keburukan Soekarno pada masa orde baru. Gerakan tersebut adalah perlawanan terhadap status quo yang ada.

Mengukur Gerakan Organisasi Mahasiswa Islam Kini

Selepas menikmati sajian makanan di acara aqiqahan tadi, saya mencoba bernostalgia di warung kopi tempat biasa saya mengerjakan skripsi. Disana, tidak banyak berubah. Kipas angin di setiap pojokan, kolam ikan koi, lengkap dengan colokan di setiap meja. Yang berubah hanya beberapa tambahan meja dan beberapa ikan koi hitam yang tumbuh semakin besar.

Disana suasananya juga tidak berubah. Kepulan asap rokok bebas masih menjadi ciri khas, dihembuskan orang orang yang sedang berbincang dan berdiskusi.

Disana baik dosen dan mahasiswa berdiskusi lepas, mulai dari membahas besok makan apa, hingga kau menyembah Tuhan apa.

Disana juga saya dipertemukan kawan kawan yang aktif mengurus program organisasi.

Sedikit lama, mereka mulai mengeluh soal kaderisasi organisasi. Walaupun masih eksis, mereka mulai jenuh dengan keberadaan organisasi.

Disini saya ingin mempertegas soal keberadaan organisasi mahasiswa Islam yang kepentingannya pada nilai keislaman.

Pada akhirnya, beberapa organisasi mahasiswa menjadi membosankan dan sepi peminat. Yah, kondisi tersebut tidak bisa dipungkiri. Sebab tidak ada ide kreatif dan inovatif yang disajikan.

Sebenarnya saya ingin menulis banyak soal kegagalan organisasi mahasiswa Islam. Namun, tulisan tersebut biar saya sajikan di tulisan lain.

Pada intinya, saya ingin mencoba menyinggung soal keberadaan organisasi mahasiswa Islam yang ada. Tantangannya sekarang adalah soal pola kehambaan. Arahnya masalah tauhid.

Pertanyaan pada siapa mereka menyembah akan cukup krusial. Secara lisan mereka akan dengan mudah menjawab Tuhan Maha Esa. Namun, Tindakan dan pengamalan agama justru berkebalikan.

Pol kaderisasi kini menjadi usang, dan gagal melahirkan ide baru. Sehingga, pola kaderisasi tersebut hanya memunculkan Tuhan baru.

Mengukur organisasi Islam adalah dengan melihat tujuan Islam itu sendiri. Jika keselamatan masih menjangkau semua orang, organisasi tersebut bisa berhasil. Namun, jika tidak mampu menyelamatkan orang orang dari perbudakan dan pemiskinan, atau bahkan menjaga perbudakan itu sendiri, Yah, mereka gagal.

Penulis merupakan Kader IMM Gowa. Saat ini sedang aktif di LBH Makassar.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply