Oleh : Saifuddin Al Mughniy
KHITTAH.co – Ini tentu bukanlah sebatas pernyataan tetapi juga adalah satu babak baru dari kenyataan. Benar kiranya statement dari sang Amerikanis Francis Fukuyama, bahwa, demokrasi adalah menyangkut perkara ummat sejagat. Pernyataan ini bisa dipahami sebagai penekanan bahwa sepertinya demokrasi adalah jalan tengah dan solusi terbaik bagi keberlangsungan tata kelolah dunia. Perlu pengayaan lebih mendalam terkait bagaimana demokrasi dijadikan sistem dunia dari sepertiga dunia, lalu dimana ideologi dunia lainnya ?
Karenanya, sebagai suatu sistem tata kelolah dunia, maka demokrasi sepertinya mengalami “distruption“, korpus demokrasi perlahan mengalami alienasi, sebab konsep ini bergeser oleh siapa yang dibalik kepentingan itu. Demokrasi yang dipahami dari awal sebagai instrumen politik dari, oleh dan untuk rakyat, kini telah “berdiam” dalam lemari kaca sebatas asesories belaka. Sebab pemaknaan demokrasi semakin liar tergantung kekuasaan menafsirkannya.
Tafsir tunggal atas ideologi termasuk demokrasi sangat ditentukan oleh si pengambil kebijakan. Suara rakyat kini mengalami “penyumbatan”, dan bahkan ada yang hanya mendapat hadiah tepuk tangan. Fenomena demokrasi pada prinsipnya telah berhasil membangun perubahan sosial, yang dibuktikan dengan tradisi politik yang terus bergerak secara dinamis.
Politik yang digelar secara langsung juga bukan “ruang” satu-satunya untuk menilai apakah masyarakat sudah teredukasi secara politik atau tidak. Padahal kemajuan demokrasi sangat ditentukan oleh tingkat kecerdasan bukan semata modal partisipasi. Sebab seseorang bisa berpartisipasi karena, iming-iming serta janji yang menjanjikan.
Pilkada serentak begitu nampak bagaimana setiap orang mengangkat tema demokrasi, tetapi lupa membangun peradaban politik. Saat ini tidak sedikit tokoh yang tersandera karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli partai politik. Bahkan ada yang harus memilih jalur independen karena disinyalir parpol main mata atas harga yang dibebankan kepada kandidat. Bukankah ini satu proses penciptaan korupsi dari awal ? transaksi dan menyandera.
Tetapi deparpolisasi adalah satu kenyataan politik yang harus dimainkan sebab konstitusi juga memberi ruang, walau pada prinsipnya perhelatan lewat perseorangan begitu berat, bukan hanya berat untuk menang, tetapi juga berat di biaya politik, sementara data membuktikan sejak pilkada digelar sejak tahun 2005 yang lalu, hanya 2 % saja tingkat menang yang memilih jalu independen.
Namun yang jadi problemnya adalah, budaya politik transaksional telah merusak marwah demokrasi. Bahkan nyaris situasi menjelang pilkada digelar, kecemasan kembali muncul dengan mempersiapkan “orbituari demokrasi” yakni pengumuman akan kematian demokrasi. Yang pada akhirnya kuburan massal demokrasi akan ditemukan dari kejahatan politik dengan konsep menang tetapi meniadakan hakekat kemanusiaan, termasuk hak politik seseorang.
Inikah jawabannya bahwa demokrasi itu mahal ? tak perlu dijawab sebab ini kekuasaan telah ceroboh menepikan demokrasi dipinggir panggung publik.**