Dalam filsafat Yunani, manusia dipandang sebagai makhluk yang dungu. Mitologi Yunani memandang manusia sebagai makhluk yang sama sekali tidak memiliki kecerdasan. Oleh karena itu, manusia butuh dewa yang akan menuntun dalam berpikir.
Islam datang dan mendekonstruksi paham itu. Manusia dipandang sebagai makhluk berakal yang diperintahkan untuk menggunakan akalnya, memikirkan tanda-tanda kekuasaan-Nya agar semakin takut kepada-Nya. Dengan akalnya itu, manusia bisa menduduki posisi terhormat dan mulia (QS. ali-Imran: 191). Tapi, dengan akalnya juga, manusia mungkin saja jatuh pada posisi terhina dan lebih hina dari binatang (QS. al-Furqan: 44)
Dalam konsepsi Islam tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang merdeka. Kemerdekaan manusia adalah kemerdekaan sejati. Karena penghambaan manusia tidak boleh dilakukan, kecuali kepada Penciptanya saja. Oleh karena itu, manusia yang menghamba kepada Tuhan palsu sebenarnya telah membelenggu dirinya sendiri dari kebebasan sejati yang Tuhan sejati, Allah subhanahu wata’ala, sudah berikan kepadanya sejak lahir.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai makhluk merdeka, manusia perlu mengambil pelajaran dari sahabat nabi ridhwanullahi ‘alaihim yang telah menunjukkan “best practice” sebagai manusia merdeka. Mereka para sahabat nabi disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sebagai bintang bagi umat Islam.
Menurut Cambridge Dictionary, “Star is a very large ball of burning gas in space that is usually seen from the earth as a point of light in the sky at night“. Artinya, “Bintang adalah bola api menyala (burning gas) yang sangat besar di angkasa yang biasanya dilihat dari bumi sebagai titik cahaya di langit pada malam hari”. Teks suci pun mengindikasikan hal ini (QS. al-Mulk: 5 dan QS. ash-Shaffat: 6).
Untuk memahami makna sabda nabi yang menganalogikan para sahabatnya sebagai bintang, penting untuk melihat fungsi bintang yang disebutkan oleh Tuhan sendiri dalam firman-Nya. Disebutkan ada tiga fungsi bintang: hiasan di langit (QS. al-Mulk: 5), penunjuk arah (QS. an-Nahl: 16), dan pelempar setan (QS. al-Mulk: 5). Dari fungsi bintang tersebut, kita memperoleh gambaran tentang “role model” manusia merdeka yang ditunjukkan oleh para sahabat nabi.
Pertama, manusia merdeka menjadi hiasan di bumi. Manusia dalam menghamba kepada Penciptanya mestinya menjadi penyebab indahnya tatanan kehidupan di bumi manapun ia berpijak. Dalam hidupnya, ia berhias diri dengan rasa malu, seperti yang diperintahkan oleh nabi. Karena tanpa rasa malu, maka manusia akan mudah berbuat semaunya, meskipun dengan melanggar hak sesamanya, bahkan hak Tuhannya.
Kedua, manusia merdeka adalah penunjuk arah. Manusia merdeka mestinya menjadi penunjuk manusia lainnya ke jalan Tuhan atau menjadi penunjuk agar manusia lainnya istiqamah di jalan Tuhan. Paham pragmatisme, yang dipopulerkan oleh William James, yang berorientasi tujuan dalam menuntun dengan menghalalkan segala cara, tentu tidak termasuk dalam rumusan ini.
Ketiga, manusia merdeka adalah pelempar setan. Artinya, manusia merdeka adalah penghalau hal-hal yang bisa mendestruksi fisik, maupun mental manusia lainnya. Manusia merdeka tidak ingin menjadi sebab manusia lain mengikuti langkah setan dan terjatuh ke lembah kesesatan, termasuk kesesatan dalam berpikir, maupun pemikiran yang menyesatkan.
Di bulan kemerdekaan Indonesia ini, kita bertekad menjadi manusia merdeka.
Wallahu al-Muwaffiq ilaa Aqwaami ath-Thariiq
*) Penulis adalah Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNM, Alumni Ma’had Al-Birr Makassar