Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO., – Keduanya, menulis dan berpikir, mendapatkan perhatian serius dan strategis yang terungkap di dalam Al-Qur’an. Keduanya pun menjadi aspek penting dalam membangun kehidupan dan peradaban. Hanya saja dalam kehidupan hari ini berpotensi tergerus oleh kemajuan teknologi digital terutama yang berbentuk dan bernama artificial intelligence (AI) dengan berbagai turunannya.
Minimal dua tahun terakhir, kampanye penggunaan AI seperti ChatGPT dan berbagai aplikasi cerdas lainnya dilakukan secara masif. Yang membuat hati ini sedih ketika godaan kampanye itu sudah menembus ke dalam aktivitas menulis, apa lagi di dunia pendidikan dan/atau kampus.
Tawaran pelatihan-pelatihan terkait penggunaan aplikasi berbasis AI dalam pembuatan makalah, skripsi, tesis, dan berbagai karya tulis dan/atau ilmiah lainnya, itu pun dilakukan secara masif dengan jaminan kurang dari satu jam semua karya tulis tersebut bisa selesai termasuk sudah bisa membebaskannya dari unsur plagiarisme. Di sini, saya sengaja tidak menyebut secara langsung “disertasi”.
Saya sudah sering memberikan interupsi, sejenis kritikan dan/atau suara protes. Meskipun, saya masih menggunakan langkah sederhana, persuasif, dan personal kepada adik-adik kader Muhammadiyah Bantaeng. Saya merasakan dan meyakini, jika AI digunakan tidak secara proporsional apa lagi dalam hal aktivitas menulis, melahirkan karya tulis ilmiah, kita harus siap membayar mahal dengan tergerusnya kemampuan penting dan strategis dalam diri kita: potensi kemampuan berpikir akan semakin tumpul.
Terhadap interupsi saya di atas, ada juga yang tidak setuju. Meskipun, yang tidak setuju itu bukanlah adik-adik kader Muhammadiyah yang saya maksudkan di atas. Meskipun, saya memiliki banyak dalil tetapi terkesan, khususnya dalam menyoroti AI dan ChatGPT belum memiliki basis keilmuan atau pandangan pakar yang otoritatif. Bukan berarti tidak ada, tetapi kemampuan akses saya terhadapnya yang masih sangat terbatas atau belum sampai terhadap hal tersebut.
Dua bulan terakhir, saya merasakan kegembiraan dan kebahagiaan karena apa yang selama ini saya interupsi, soroti terkait dampak negatif dan destruktif AI, ChatGPT, dan aplikasi cerdas pendukung lainnya jika tidak digunakan secara proporsional, akhirnya menemukan sosok ilmuwan yang otoritatif: Prof. Stella Christie, yang sekarang menjabat sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Dalam dua bulan ini, saya sering secara sengaja mencari video-video Prof. Stella untuk mempelajari secara serius bagaimana pandangan-pandangannya termasuk terhadap AI, ChatGPT, pikiran, kecerdasan, data, dan memori. Saya mendapatkan pemahaman yang mendalam, dan saya pun—sekali lagi saya tegaskan—merasakan kegembiraan dan kebahagiaan karena saya menemukan basis keilmuan dan/atau menemukan ilmuwan otoritatif yang menguatkan apa yang saya pahami dan yakini selama ini.
Pekan lalu, saya pun memutar channel Youtube Metro TV Jabar & Banten, yang menyiarkan acara Kick Andy dalam tajuk Prof. Stella: Otak Vs AI. Dari acara Kick Andy yang menghadirkan Prof. Stella inilah, saya mendapatkan inspirasi tentang judul tulisan ini “Menulis adalah Berpikir”. Bagi orang yang berpikir, sudah pasti mengiyakan bahwa betul menulis itu adalah berpikir.
Sesungguhnya, saya tidak hanya ingin menegaskan bahwa menulis itu adalah berpikir. Saya memiliki niat dan tujuan yang melampaui dari itu. Meskipun, menulis adalah berpikir, itu sudah berarti melampaui dari pemahaman umum dan tujuan menulis yang sekadar sebagai aktivitas “keabadian” dan “mengabadikan”. Menulis adalah berpikir, itu sudah satu level di atasnya dari pengetahuan dan pemahaman kita selama ini.
Pandangan Hernowo tentang menulis, dalam pandangan saya masih lebih tinggi levelnya satu tingkat minimal dari pandangan di atas, bahwa menulis adalah berpikir. Hernowo menegaskan menulis adalah “mengikat makna”. Berbicara tentang hidup dan kehidupan, apa lagi dalam mengarungi kehidupan yang tidak selamanya berjalan mulus maka kemampuan “mengikat makna” dalam konteks dan konsepsi yang lebih luas dan mendalam, itu sangat dibutuhkan.
Sebelum melanjutkan goresan dahsyat ini, saya ingin mengungkapkan penegasan Prof. Stella dari channel Youtube tersebut. Prof. Stella menyampaikan bahwa di Harvard university, sebagai universitas terbaik di dunia, pada semester I, ada satu kelas yang harus diikuti oleh seluruh siswa (konteks Indonesia pasti disebut mahasiswa)—jika kelas lainnya bisa dipilih, terserah ingin diikuti/tidak, untuk kelas ini “harus” berarti “wajib”—yaitu “Kelas menulis”.
Bisa jadi—saya hanya berandai—Harvard university bukan hanya memandang, sebagaimana yang ditegaskan oleh Prof. Stella, bahwa menulis itu adalah berpikir. Termasuk memiliki pandangan yang sama dengan Hernowo, yang memandang bahwa menulis adalah mengikat makna. Tentu maknanya lainnya menulis adalah mengomunikasi pikiran-pikiran, ide-ide mulai dari dalam diri untuk kemudian kepada orang lain.
Dari Prof. Stella dan Hernowo, makna menulis ini sangat dahsyat dan mencapai kompleksitas yang harus dipandang penting dan strategis. Mengapa? Bagi saya, ketika menulis dimaknai sebagai berpikir dan sekaligus mengikat makna maka itu sudah memenuhi dua dimensi penting—karena merupakan bagian dari tiga eksistensi manusia—yaitu pikiran (akal) dan rasa (kalbu). Tiga eksistensi manusia yaitu akal/pikiran/logika, rasa/kalbu/etika, dan jasad/estetika.
Menulis dalam makna tindakan “keabadian” dan “mengabadikan” boleh saja diambil alih sepenuhnya atau menggunakan secara maksimal pemanfaatan AI. Tetapi, menulis dalam makna berpikir dan sekaligus mengikat makna, maka di sinilah saya protes, ingin menginterupsi keadaan untuk tidak membiarkan diambil-alih sepenuhnya oleh teknologi AI, ChatGPT , dan aplikasi cerdas pendukung lainnya.
Ketika aktivitas menulis kita diserahkan atau menggunakan secara maksimal bantuan AI, ChatGPT , dan aplikasi cerdas pendukung lainnya, maka sesungguhnya karya yang di dalamnya tertulis nama kita yang membangun kesan sebagai karya pribadi, itu sama saja seperti gambar ilustrasi tulisan di atas. Robot yang menulis, maka dipastikan tulisan itu tidak “bernyawa”. Secara hakiki tulisan itu tidak memberikan sentuhan psikologis yang mendalam untuk mengeluarkan hormon kebahagiaan dalam diri, jika ditangani secara maksimal oleh AI. Kecuali kesenangan semu yang lahir dari egoisme, kedangkalan berpikir, dan kelumpuhan kesadaran.
Menyerahkan aktivitas menulis kita kepada teknologi AI, meskipun itu canggih dan menjanjikan kemudahan, maka kita harus siap membayarnya dengan harga mahal: potensi dahsyat dalam diri kita, pikiran dan rasa, akan semakin tumpul dan redup. Padahal keduanya ini adalah bagian dari eksistensi manusia.
Ada lagi yang menarik dari Prof. Stella di acara Kick Andy tersebut, yang kurang lebih bisa diparafrasekan seperti ini: Pengetahuan kita tentang AI masih sempit, belum memahami batas-batas dan kekurangannya, belum mengetahui apa yang bisa dipecahkan dan apa yang tidak. Media pun hanya mengungkapkan kehebatan AI, padahal kekurangannya juga banyak.
Menurut Prof. Stella, secara sederhana AI itu adalah menggunakan statistik untuk melihat pola-pola data yang ada. AI itu sangat tergantung dari data yang ada, padahal data itu pun banyak yang bias, tidak objektif karena sumbernya banyak. Jadi dalam perspektif AI yang berbasis statistik bisa saja informasi yang ada dipandang benar karena datanya memang ada, tetapi belum pasti benar atau mengandung kebenaran.
Pemaknaan sederhana tentang AI dari Prof. Stella di atas, kita pun bisa memahami bahwa sebenarnya AI tetap membutuhkan manusia, dalam hal ini pikiran-pikiran manusia. AI tidak bisa berpikir, tetapi manusialah yang berpikir, ini pun yang ditegaskan oleh Prof. Stella.
Saya pun berpikir, jika AI berbasis atau mekanisme kerjanya menggunakan prinsip statistik sangat tergantung pada data yang ada, di mana data itu idealnya dari manusia, maka jika hari ini kita sudah sangat tergantung terhadap AI, kemudian beberapa tahun ke depan, semuanya diserahkan sepenuhnya kepadanya, maka kelak informasi dan pengetahuan bersifat statis. Tidak ada perkembangan dan kemajuan karena tidak ada lagi input data terbaru sebagai hasil kerja, pikiran, dan pemikiran manusia.
Belum lagi, jika suatu saat nanti akses internet yang mendukung kedahsyatan proses kerja AI itu lumpuh atau mati total maka manusia pun kewalahan tidak bisa menemukan solusi karena otak dan/atau akalnya pun tidak bisa lagi berpikir. Otaknya sudah lumpuh dan tumpul sebagai konsekuensi logis di mana sebelumnya segala aktivitas hidupnya digantungkan pada artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan (KB).
Dampak nyata dan buruk dari ketergantungan generasi muda terhadap teknologi digital hari ini sudah banyak yang bisa kita saksikan. Sudah ada beberapa eksprimen yang dilakukan oleh orang tertentu kepada siswa, di mana siswa itu diuji dengan soal matematika sederhana, mereka bingung untuk memberikan jawaban yang benar. Bahkan ada satu video, ketika ditanya dua kali dua belas ribu saja, dia tidak mengetahui jawabannya, padahal dirinya sudah siswa SMA.
Sebenarnya, saya pribadi jauh sebelum dikenal dan dikampanyekan secara masif tentang AI dan ChatGPT sering mengingatkan kepada adik-adik siswa khususnya terhadap kader Muhammdiyah untuk tidak memiliki ketergantungan penuh kepada kecanggihan teknologi dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah khususnya yang ada hubungannya dengan tulis-menulis. Saya sering menemukan siswa yang diberikan tugas membuat makalah, itu dilakukan dengan mencari di Google kemudian hasil pencariannya itu di-copypaste. Guru pun tidak kritis melihat kondisi ini, bahkan tidak sedikit yang membiarkan dan menganjurkannya.
Tindakan terakhir ini saja, itu sudah sangat berbahaya karena berpotensi besar menggerus potensi dahsyat dan eksistensi manusia yaitu akal, pikiran, dan/atau daya analisis. Saya pun mengingat dengan baik salah satu penegasan Pak Alwy Rachman (jika tidaksalah ingat beliau dosen Univeristas Hasanuddin Makassar) di salah satu forum KPU Provinsi, yang bisa saya parafrasekan seperti ini: “Keintiman kita dengan perangkat mesin dalam hal ini teknologi , itu menggerus dimensi kemanusiaan dan psikologis manusia, sehingga kita pun kurang memiliki rasa empati”.
Terkait problem empati ini, satu bulan terakhir, saya menyaksikan betul dan bagi saya itu sebenarnya “kurang ajar”. Ada banyak akun FBPro yang melekat pada dirinya sebagai “konten kreator” meng-share atau membagikan video yang sesungguhnya video itu bersifat etis dan private bagi orang lain. Demi kontennya fyp agar akunnya oleh meta bisa mencapai monetisasi, si “konten kreator” membagikannya tanpa menilai perasaan orang lain atau oknum, dan keluarga yang ada dalam video tersebut. Benarlah tesis yang disampaikan oleh Pak Alwy Rachman, keintiman kita dengan perangkat mesin menggerus dimensi kemanusiaan dan psikologis kita, terutama dalam hal empati.
Tulisan ini, saya sedang tidak menegaskan dan menyimpulkan bahwa saya anti AI, ChatGPT , dan aplikasi cerdas pendukung lainnya. Jika ada yang menyimpulkan demikian, itu sudah pasti keliru besar. Saya pun tetap setuju kecanggihan teknologi itu digunakan tetapi jangan mengalami ketergantungan penuh, kecanduan, apa lagi menggerus potensi dahsyat manusia, yaitu pikiran/akal dan rasa/kalbu. Teknologi canggih ini harus digunakan bukan hanya secara profesional, tetapi juga secara proporsional, etis, dan tetap menjaga potensi dahsyat manusia.
Sumber gambar: Viva Bandung
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inpsirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan