Oleh: Agusliadi Massere*
“Jika engkau tahu dunia ini begitu luas, dan engkau sadar tak akan mampu menjelajahinya, maka menulislah. Dengan tulisanmu engkau akan hadir menyusuri dan menjelajahi ruang dan waktu yang bahkan tak pernah engkau bayangkan”. Inilah beberapa kalimat awal yang menginspirasi saya dari tulisan Nasaruddin Idris Jauhar.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari Rabu pagi, saya membaca kiriman tulisan Nasaruddin Idris Jauhar (Dosen Bahasa Arab UIN Surabaya)—yang saya akrab memanggilnya dengan Ustadz Nasaruddin—di grup WhatsApp Tadabur Al-Qur’an. Judul tulisannya “Bagaimanapun, Menulislah”.
Berawal dari tulisan Nasaruddin tersebut, saya mendapatkan inspirasi untuk menulis satu tulisan, karena apa yang diuraikannya mengandung kebenaran dan motivasi. Apa yang ditulis oleh Nasaruddin, saya menemukan bukti kebenaran, dan implikasi besarnya, minimal dalam diri saya sendiri atau di antara rel kehidupan yang telah terjalani. Sambil mandi, sebelum ke kantor, sebagaimana biasanya, saya mendapatkan beberapa inspirasi judul. Saya pun, terus memikirkan judul yang tepat, sejak hari itu hingga sebelum memulai goresan pertama tulisan ini.
***
Perkembangan pesat teknologi mutakhir—terutama dengan kekuatan elektromagnetiknya telah mampu menjelajahi dunia sampai ke ujung terjauhnya, meskipun demikian terhadap banyak hal, kita belum mampu menjangkau banyak titik, memasuki banyak ruang, termasuk dalam membentangkan garis relasi untuk suatu jarak psikologis yang semakin dekat. Masih banyak batas dan masih terbentang jarak untuk melancarkan visi dan misi, termasuk dalam menebarkan ide, gagasan, dan motivasi.
Manusia selain sebagai makhluk individual, sejatinya adalah sebagai makhluk sosial. Memaksimalkan posisi kedua ini, bukanlah perkara mudah. Seringkali masih ada jurang pemisah atau benteng penghalang yang secara psikologis justru memosisikan dan memperkokoh manusia sebagai makhluk individual.
Manusia yang menyadari eksistensi dan misi mulianya di muka bumi ini, baik sebagai khalifah yang membawa mandat kosmik, dan sebagai penebar kebenaran dan kebaikan, dalam bingkai rido Allah sebagai derivasi dari misi mulia pertama (beribadah atau mendapatkan rido Allah), akan senantiasa berupaya maksimal menggunakan berbagai instrumen untuk menjalankannya.
Instrumen itu penting sebagai alat bantu manusia di balik berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Ketika saya atau siapa saja yang memiliki impian menjadi seorang motivator—sebagai contoh—untuk menebarkan kebenaran dan hal inspiratif bagi orang lain, sebagai bagian aktualisasi dari misi mulia manusia dan sekaligus sebagai bentuk kesadaran sosial manusia, maka dibutuhkan instrumen.
Sebagaimana saya pahami, dengan pemahaman yang masih sangat sederhana melalui ajaran agama Islam, ditemukan instrumen yang sangat strategis yang bisa menjadi modal luar biasa dalam menjalani kehidupan terutama di balik keterbatasan yang dimiliki, dan misi mulia yang dibawa sejak lahir. Untuk diketahui sebagaimana saya pahami dari M. Quraish Shihab bahwa, manusia memiliki tiga misi mulia: pertama, beribadah; kedua, khalifah; dan ketiga, pendakwah.
Agama Islam mengajarkan dan bahkan hal tersebut diturunkan secara berurutan dan berentetan, yaitu ajaran terkait iqra dan al-qalam. Perintah yang urgensi, signifikansi dan implikasinya sangat strategis dari apa yang dimaknai sebagai aktivitas membaca dan menulis serta berbagai determinannya.
Membaca dan menulis adalah dua hal strategis yang bisa bermuara pada terwujudnya peradaban yang secara derivatif menggambarkan kristalisasi dari misi mulia manusia di atas. Selain itu sebagai bentuk instrumen yang dibutuhkan oleh manusia.
Membaca dan menulis idealnya bagaikan dua sisi mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan antar satu dengan yang lainnya untuk membangun peradaban dan menjalankan misi mulia manusia. Hanya saja, dalam kehidupan ini, keduanya ibarat jalanan—meskipun sebagai rute utama—masih sangat sepi dan sunyi.
Saking sepinya, khususnya untuk aktivitas yang dimaknai membaca, Prof Haedar Nashir (dalam Arif S Yudistira) pernah berkata, “Mengumpulkan orang untuk berdemo lebih mudah daripada mengajak orang untuk membaca di perpustakaan”. Jika membaca saja beratnya luar biasa, apalagi menulis mungkin “tidak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata”. Mengapa? Karena menulis adalah bagian dari mengikat makna atas apa yang telah dibaca.
Padahal menulis bisa memperluas radius kehidupan. Maksudnya? Apa bentuk wujud nyatanya dalam kehidupan? Dari awal tulisan ini, ingin membuktikan satu kebenaran bahwa dengan menulis sesuatu yang awalnya dibatasi oleh jurang pemisah, benteng penghalang, bentangan jarak psikologis yang cukup jauh, akhirnya semuanya diretas dan teratasi.
Meskipun jawaban awal dari pertanyaan di atas, sifatnya sangat personal tetapi karena tulisan ini dibawa dalam bingkai motivasi dan/atau sebagai sumber inspirasi, maka tetap diniatkan untuk tidak tergelincir ke dalam lembah riya. Antara niat memberikan motivasi dan lembah riya, batas dan jaraknya sangat tipis, sehingga tetap dibutuhkan kehati-hatian.
Saya berani mengatakan bahwa spirit, komitmen, dan konsistensi menulislah yang membawa diri ini untuk sampai pada beberapa hal yang mungkin awalnya terasa sangat sulit dan mustahil. Hari ini, saya berada dalam beberapa grup WhatsApp, di mana saya bisa satu grup dengan seorang menteri, banyak profesor, doktor, rektor, dekan, dosen, staf ahli menteri, mantan staf ahli presiden, komisaris, direktur di suatu BUMN, tokoh dunia, motivator dunia asal Indonesia (seperti Ary Ginanjar Agustian dan Jamil Azzaini).
Berada dalam grup WhatsApp yang dihuni oleh para pemikir, penulis prolifik, pemikir cemerlang, tokoh nasional dan bahkan tokoh dunia, tentunya saya akan merasakan banyak manfaat. Sebagaimana dengan pepatah “bergaul dengan penjual minyak wangi, maka Insya Allah akan ketularan wanginya”.
Melalui grup-grup WhatsApp yang penuh dengan perbincangan serius tersebut, penuh dengan pemikiran-pemikiran luar biasa, dan sangat minim candaan dan bahkan jauh dari percakapan narasi dangkalnya, saya bisa langsung menggali banyak ilmu, gagasan, ide, hal inspiratif dan motivasi. Jika kita memahami teori habitus Pierre Bourdiue (Habitus x Modal) + Arena = Praktik, di grup-grup tersebut akan terbentuk satu habitus dalam diri saya.
Bersama mereka, beliau para sosok panutan itu dalam grup-grup tersebut, saya mendapatkan arena positif, produktif, konstruktif, dan kontributif. Dan tentunya besar-kecilnya, atau sedikit-banyaknya ini akan menjadi modal luar biasa pula bagi saya.
Di grup WhatsApp tersebut pun, tanpa ada sedikit pun percikan rasa minder dan inferior, saya selalu membagikan setiap tulisan saya yang sudah terbit di media online. Jadi minimal mereka telah mengetahui seperti apa pandangan-pandangan atau pemikiran-pemikiran saya, atau minimal mereka para sosok luar biasa itu, akan mengetahui bahwa saya punya semangat atau spirit yang besar untuk menjadi penulis yang bisa sejajar dengan mereka.
Manfaatnya, (minimal) mungkin saja atas penilaian tersebut, mereka secara terbuka menerima saya, sebagai bagian dari mereka, sehingga sampai detik ini tetap bertahan dalam grup yang dihuni oleh sosok luar biasa. Bahkan tidak sedikit di antara mereka sering memberikan apresiasi, memberikan motivasi dan spirit agar saya tetap bertahan dalam/di atas rel dan semangat menulis, yang sudah mulai semakin produktif.
Dari bukti nyata inilah sehingga saya telah berani dan pernah menulis satu tulisan dengan judul “Lima Keberanian Menulis”. Tentunya, keberanian saya tidak diragukan lagi, padahal salah satu kendala penulis pemula adalah takut tulisannya dibaca oleh orang lain. Selain itu produktifitas dalam menulis ini, telah bekerja dalam hukum algoritmik dan habitus Bourdieu karena selama ini diri ini telah lama berada dalam arena yang dihuni oleh mereka sosok luar biasa, pemikir dan penulis prolifik.
Menulis, telah terbukti mampu memperluas radius kehidupan, pergaulan, ruang berbagi (motivasi ide, dan hal inspiratif). Apalagi hari ini dengan memanfaatkan kekuatan teknologi digital maka setiap tulisan akan berpotensi mampu menjangkau ke ruang kehidupan siapa saja tanpa ada batas. Marilah menulis untuk menebarkan kebaikan tanpa batas.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023