Oleh : Idham Malik*
Menindaklanjuti artikel Kanda Asra Tillah tentang kepemimpinan yang berjudul “Mahasiswa sebagai Bangsawan Pikiran” . Saya kepincut untuk menyumbang sedikit unek-unek, yang dipungut dari lembaran-lembaran kuno. Yang saya cicip sedikit-sedikit, dari waktu saya yang sempit, dan kesehatan saya yang selalu berada di horizon.
Ya, tak dapat disandingi para pemimpin praproklamasi itu, jumlahnya banyak, semangat membara, dan cerdas bukan kepalang. Apa lantas yang membentuk suluh, dalam kondisi bangsa yang carut marut itu?
Kebijakan politik etis, dengan hadirnya sekolah, baik untuk jajaran pegawai elit, maupun untuk khusus pribumi. Politik ini hasil diskursus Parlemen Belanda, yang akhirnya memberi peluang kepada penduduk asli untuk mengecap pendidikan, sebagai balas jasa atas penjajahan yang telah lama berlangsung.
Melalui politik etis ini, generasi pribumi yang sebelumnya telah mapan, yaitu bangsawan feodal, birokrat yang bekerja untuk memperlancar urusan pemerintah jajahan, maupun para saudagar, yang memetik hasil dari kebebasan berusaha, khususnya usaha perkebunan, menyekolahkan anak-anak mereka di ELS (Europeesche Lagere School) setingkat Sekolah Dasar, AMS (Algemene Middelbare School) setingkat Sekolah Menengah, HBS (Hogere Burgerschool) setingkat menengah umum untuk orang Belanda dan elite pribumi, dan MULO.
Anak-anak ini dengan cepat beradaptasi, turut berbahasa Belanda, membaca karya-karya sastra kolonial yang dapat mengasah nurani mereka, melibatkan jiwanya dalam ilmu-ilmu alam yang dapat mengasah rasionalitas mereka. Akibat dari itu, setara sekolah menengah, sudah menceburkan diri dalam pendidikan rakyat. Seperti yang dilakoni oleh Sutan Sjahrir di Bandung, siswa AMS bergabung dalam Pemoeda Indonesia (Jong Indonesie), yang dimana Pemoeda Indonesia ini menyiarkan pendapat-pendapatnya dalam terbitan Jong Indonesie, Kabar Kita (Cabang Surabaya) dan Soera Kita (Cabang Yogyakarta). Tidak hanya itu, mereka mendirikan Tjahja Volksuniversiteit (Universitas Rakyat), dalam universitas ini, para pemuda itu mengajar rakyat membaca dan menulis, serta memberi pengajaran bahasa – bahasa asing, ekonomi, fisika, dan lain-lain. Para siswa pun tidak ada yang dikenakan biaya.
Pemuda-Pemuda ini juga menghanyutkan dirinya ke dalam dunia politik. Pertama-tama mereka menangkis paradigma kolonial, bahwa Indonesia tidak bisa disatukan. Tentu, dengan didampingi oleh para pejuang-pejuang yang lebih tua, mereka pun menyelenggarakan pertemuan pemuda-pemuda se nusantara, yang dikenal dengan Soempah Pemoeda, Ada bahasa yang satu, bangsa yang satu, tanah toempah darah yang satu, yang juga dengan diiringi musik klasik, keronjcong, sambil dansa-dansi.
Sebagian dari mereka lanjut ke dalam universitas, dalam negeri dan luar negeri. Dalam berjuang, mereka tak lupa menikmati kehidupan avant garde di lingkungan beraroma Bauhaus Bandung, anggaplah Sjahrir, meluangkan waktu banyak untuk nonton di bioskop bersama teman-teman Pemuda sebelum berangkat ke Belanda untuk rencana Sekolah di sana. Ekstase dalam pentas-pentas teater, melakonkan kisah pemuda-pemuda yang tak menyerah di tengah tekanan orang tua maupun pemerintah kolonial. Sementara Soekarno, saat itu telah selesai di Perguruan Teknik Bandung, yang karena membaca banyak buku asing, dan begitu terpengaruh oleh sosialisme dan komunisme, serta Islam, membentuk Perserikatan Nasionalis Indonesia. PNI ini kemudian memiliki pengikut hingga ribuan, begitu merindukan suara Soekarno, yang dengan lantang menyerukan perlawanan, yang dengan garang menyambung lidah rakyatnya.
Di Belanda, pemuda-pemuda digodok oleh suasana demokratis, dengan begitu banyak perkumpulan-perkumpulan berideologi sosialis komunis. Rasa Indonesia semakin menebal seiring jauhnya jarak mereka dari tanah airnya. Membuatnya untuk terus menghantam kolonial di jantungnya sendiri. Mereka membentuk Perhimpoenan Indonesia, tempat Bung Hatta bagai artis, juru bicara, juru tulis, dielukan, diharapkan, tempat teman-temannya berjangkar untuk memperjuangkan Indonesia Merdeka.
Hatta, begitu halnya Sjahrir, ikut dalam konferensi-konferensi, pertemuan-pertemuan yang bertemakan kemerdekaan bangsa-bangsa, dan hak setiap bangsa untuk mengatur dirinya sendiri-sendiri. Sjahrir melangkah lebih jauh, ia hidup bersama kelompok anarkis, dimana mereka membatasi segala hal yang diperuntukkan untuk kepentingan pribadi, segala halnya dibagi, hingga alat kontrasepsi, kecuali sikat gigi. Ia bersahabat teman-teman dari perkumpulan mahasiswa sosialis, yang lalu mendorongnya untuk berkuliah juga di Leiden, yaitu mengambil studi Hukum Adat, mengikuti jejak tetua-tetuanya. Bahkan, lebih jauh lagi, kelak ketika Bung Kecil kembali ke Indonesia, dia menikahi istri sahabatnya, Salomon Tas, yang bernama Maria, yang sempat membuat penasaran warga kota Medan, melihat bule menggunakan kebaya dan sarung berjalan-jalan di pasar.
Apalacur, Pemerintah Kolonial di Hindia Belanda kian protektif dan alergi, dihukumlah Soekarno, maka kosonglah kepemimpinan nasional. Meski di balik jeruji, doa-doa rakyat, khususnya rakyat Jawa menggelumbung, dan dengan sabar menanti pahlawannya bak menunggu Ratu Adil.
Berarti, ada yang kosong, ada yang punya kompetensi, ada yang masih setengah-setengah? Pemuda-Pemuda menyadari hal itu. Dengan ragu-ragu, mereka membentuk kembali Partindo, yang anggotanya berasal dari PNI-nya Soekarno yang sebelumnya telah dibubarkan, dengan kepemimpinan Sartono, gerak perjuangan tentu berbeda jika di tangan Soekarno.
Melihat hal tersebut, adalah tugas Bung Hatta, yang sudah sembilan tahun di Belanda untuk kembali ke Hindia Belanda, mengisi kekosongan kepemimpinan. Namun, Hatta harus menyelesaikan terlebih dahulu, sekolahnya yang tinggal beberapa bulan. Sjahrir mengambil inisiatif, yang menunda dulu melanjutkan sekolah untuk kembali ke tanah air. Sjahrir mengumpulkan kembali teman-teman lamanya di Pemoeda Indonesia, untuk membentuk organisasi kepemimpinan yang baru, yaitu PNI-Pendidikan. Berbeda dengan PNI-nya Soekarno, yang lebih agitatif, PNI-Pendidikan menggunakan tenaganya untuk mendidik, mengkader, menyebar ilmu sebagai persiapan Indonesia Merdeka. Kepemimpinan patah, kemudian disambung lagi, kepemimpinan terpusat kemudian tersebar lagi. Terjadi perbedaan paham diantaranya, meski demikian, tidak menghalangi mereka untuk tetap fokus memperjuangkan kebebasan.
PNI Pendidikan dan Partindo terus menerus menebar tjahaja, lewat pertemuan-pertemuan, orasi, melalui terbitan, surat kabar, siaran-siaran radio. Jang tak henti-henti mengibas-ngibas semangat untuk bersatu, tak lelah, pantang untuk menyerah pada kolonialis dan imperealis. Mereka-mereka juga memposisikan diri sebagai pendidik, menyelenggarakan kursus-kursus politik, menambah wawasan kader dengan pengetahuan sosiologi, sejarah, ekonomi dan bahasa-bahasa pengetahuan, Bahasa Belanda. Mendidik sekaligus memetakan jalan menuju kemerdekaan.
Hingga akhirnya, Gubernur General Hindia Belanda yang baru, Jhr. B.C de Jonge “Sang Konservatif tanpa Malu”, antiklimaks birokrat kalangan etis, menetapkan tindak tegas kepada para ekstrimis. tokoh-tokoh ini dibuang, diantar kepengasingan. Soekarno termenung di bawah pohon sukun di Ende-Flores, lalu hikmah seperti jatuh ke kepalanya dan timbullah bibit butir-butir Pancasila. Hatta dan Sjahrir mengapung-apung dalam perjalanan ke Digoel, menikmati indahnya laut dan camar. Tiba di tanah merah mereka banyak teman, sebelumnya sudah bergumul para ekstrimis kalangan PKI 1926, serta gelombang aktivis Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) dari Minangkabau. Di Digoel Hatta bebas beraktivitas, berdiskusi dan mengajar, ia pun menyusun naskah filsafat untuk para interniran, yaitu “Alam Berfikir Yunani”, sedangkan Sjahrir memulai menulis catatan “Permenunganku”. Sementara seorang pemimpin lagi, bersembunyi, menyamar dan berpindah-pindah negara, antara Hongkong, Filipina, Singapura, hingga Tiongkok, yaitu Tan Malaka.
**
Apa soal yang dibicarakan di sini, yaitu tentang kepemimpinan. Betul kata Kanda Asra Tillah, pasca Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, yang dicetak banyak adalah para teknokrat, yang tahu tentang bidang keahliannya. Tapi, kemana Indonesia ini dibawa? bagaimana memakmurkan rakyat? Bagaimana kita bisa berdaulat? Ini pertanyaan-pertanyaan untuk para pemimpin.
Menjawab itu, apakah perlu kita menggali lebih dalam lagi, pemikiran-pemikiran Bapak-Bapak Bangsa? Seperti mereka menggali pengetahuan dari pemikiran tokoh-tokoh sebelum mereka, baik tokoh nasional maupun pemikir-pemikir barat. Untuk menjawab konteks masa kini. Seperti pepatah Prancis, Petite Historie, Sejarah Selalu Berulang.
*Penulis adalah Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kab. Maros dan penggiat literasi Kota Makassar.