Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Menyucikan Hati dari Belenggu Pembanding

×

Menyucikan Hati dari Belenggu Pembanding

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Hati, jika memperhatikan beberapa referensi dan termasuk jika direnungkan, wujudnya bisa berupa sesuatu yang dimaknai sebagai hardware (perangkat keras), sekaligus bisa dimaknai sebagai software (perangkat lunak). Jika merujuk pada sabda Rasulullah Muhammad saw “Ketahuilah bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal daging, jika itu baik maka baiklah semuanya dan jika itu rusak maka rusaklah semuanya”, maka yang dimaknai hati/segumpal daging ini, bukanlah hati sebagaimana yang disebut liver (hati) dalam tubuh kita. Tetapi yang dimaksud adalah heart (jantung). Dan bahkan beberapa ilmuwan lainya, ada yang memaknai bahwa sesungguhnya yang dimaksud segumpal daging itu adalah otak (brain).

Untuk tulisan ini, kita tinggalkan saja perbedaan pemahaman dan keyakinan terkait bahwa yang dimaksud “segumpal daging” itu adalah hati atau otak. Saya sendiri belum menetapkan kesimpulan apakah hati atau otak, tetapi beberapa argumentasi rasional dari penganut pemahaman kedua hal kontroversial tersebut, yang saya pahami dan termasuk dengan memperhatikan fungsi-fungsi dan contoh-contoh kasus yang mendukung, saya lebih cenderung ke pilihan, bahwa yang dimaksud segumpal daging dari sabda Rasulullah tersebut adalah otak (brain), apa lagi, seorang pakar telah pernah melakukan riset dan menemukan adanya God Spot (Suara Tuhan) dalam otak.

Kita kembali saja untuk sementara pada pemahaman dan kesepakatan yang lazim, bahwa itu adalah hati (dalam hal ini heart/jantung). Perdebatan hati atau otak, nanti kita lanjutkan. Sebelum, saya lebih jauh menjelaskan tentang hati, saya tuliskan syair lagu “Jagalah Hati” Aa Gym (sapaan akrab kiai kondang KH. Abdullah Gymnastiar)—dan syair lagunya ini, baginya disebut sebagai lagu “kebangsaan Indonesia II”. Berikut syairnya: Jagalah hati jangan kau kotori//Jagalah hati lentera hidup ini//Jagalah hati jangan kau nodai//Jagalah hati cahaya ilahi.

Syair tiga bait berikutnya: Bila hati kian bersih pikiran akan jernih//Semangat hidup kan gigih prestasi mudah diraih//Namun bila hati keruh batin selalu gemuruh//Seakan dikejar musuh dengan Allah kian jauh; Bila hati kian suci tak ada yang tersakiti//Pribadi menawan hati ciri mukmin sejati//Tapi bila hati busuk pikiran jahat merasuk//Akhlak kian terpuruk jadi makhluk terkutuk; Bila hati kian lapang hidup susah tetap senang//Walau kesulitan datang dihadapi dengan tenang//Tapi bila hati sempit segalanya jadi rumit//Seakan hidup terimpit lahir batin terasa sakit.

Mengikuti keindahan syair lagu Aa Gym di atas, apa lagi jika sambil dilantunkan, sangatlah jelas betapa hati yang ada dalam diri kita, memiliki posisi dan peran yang sangat strategis. Diyakini bahwa dalam hati kita terdapat suara kebenaran, suara ilahiah. Hanya saja, seringkali suara kebenaran atau suara ilahiah tersebut tertutupi dan sulit lagi mendengarnya.

Secara sederhana, jika suara kebenaran itu mampu kita dengar, maka pada intinya ada dua poin: pertama, mengajak kita kepada kebaikan; dan kedua, mencegah kita dari keburukan. Berarti pada intinya semuanya bermuara pada kebaikan dan/atau kebenaran. Maka tepatlah syair lagu Aa Gym di atas.

Meskipun dalam tulisan ini, saya lebih awal mengutip syair lagu Aa Gym, namun sesungguhnya tulisan ini lahir, saya mendapatkan banyak inspirasi dari buku-buku karya Ary Ginanjar Agustian, tanpa kecuali “Belenggu Pembanding” ini. Meskipun pada buku Ary Ginanjar, ESQ: Emotional Spiritual Quotient, untuk pembahasan terkait belenggu “pembanding” ini sangat singkat, namun berdasarkan pengalaman, perenungan, dan pembacaan beberapa referensi lain, saya mengelaborasi lebih jauh, melakukan reinterpretasi, termasuk (mungkin) akan ada kalimat Ary Ginanjar, yang akan saya parafrase berdasarkan konteks pengalaman personal saya, maupun realitas kekinian.

Suara kebenaran atau suara ilahiah, yang dalam diri manusia terpusat pada hati, seringkali sulit lagi didengar (bukan hilang karena akan selalu ada), karena tertutupi oleh tujuh hal yang oleh Ary Ginanjar menyebutnya “belenggu hati”. Tujuh belenggu hati itu antara lain: pertama, prasangka negatif; kedua, , prinsip hidup yang salah; ketiga, pengalaman negatif; keempat, kepentingan pribadi; kelima, sudut pandang yang sepihak dan satu aspek; keenam, pembanding yang salah/keliru; dan ketujuh, literatur yang salah.

Untuk tulisan ini, saya fokus pada “belenggu hati” yang keenam, yaitu “pembanding yang salah/keliru”. Pembanding yang salah atau keliru, tanpa kecuali, seringkali menjadi belenggu hati yang akan menutupi suara kebenaran, kebaikan, dan ilahiah dari dalam diri manusia. Dan akibat belenggu ini, seringkali suara yang terdengar adalah sesuatu yang paradoks, menjadi antitesa, dan kontroversial dengan suara hati yang sebenarnya.

Apa yang terjadi? Atau sikap dan perilaku apa yang akan mewarnai keseharian manusia, ketika hatinya yang oleh Aa Gym dimaknai sebagai “lentera hidup”, tertutup oleh belenggu “pembanding yang salah dan/atau keliru”?

Orang-orang yang tertutup hatinya dengan belenggu pembanding ini, maka pada dasarnya, dirinya memiliki potensi buruk yaitu “sombong” atau “kurang percaya diri/minder”. Yang sering terjadi pula dan menghambat sebuah perubahan dan kemajuan bagi orang yang bersangkutan adalah merasakan kesempitan hidup yang amat akut. Dan bahkan seringkali jatuh tersungkur pada lembah keputusasaan yang amat dalam.

Pembanding yang salah atau keliru, pada dasarnya bisa dideskripsikan, bahwa mereka atau orang-orang yang mengalami belenggu itu, punya kecenderungan membandingkan antara “yang ada” dengan “yang ada” saja, tanpa berupaya membandingkan antara “yang ada” dengan “yang belum ada”. Maksudnya, hanya membandingkan apa yang nampak nyata di depan mata, hanya berdasarkan pengalamannya, dan/atau hanya membandingkan dengan yang ada dalam pikirannya semata.

Contoh sederhana yang lebih mudah lagi dipahami. Mungkin saja ada siswa anak orang kaya yang bersikap dan berperilaku sombong, hanya karena di kelasnya, satu-satunya yang menggunakan/mengendarai mobil ke sekolahnya adalah dirinya. Ini yang dimaknai membandingkan antara “yang ada” (dirinya) dengan “yang ada” (teman-teman lainnya di kelas dan/ata di sekolah tersebut). Semestinya siswa sombong tersebut, harus pula membandingkan antara “yang ada” dengan “yang belum ada”. Maksudnya, dia harus berpikir, bahwa di kelas ini, memang hanya dia yang memiliki mobil dan mengendarai mobil ke sekolah, tetapi bisa jadi di sekolah lain, akan ada sekolah yang semua siswanya menggunakan/mengendarai mobil ke sekolah, dan jika dibandingkan dengan mobilnya, ternyata mobilnyalah yang paling murah.

Selain itu, diri kita pun tidak boleh merasa kurang percaya diri atau minder. Mungkin saja di antara siswa yang ada, sepatu yang kita gunakanlah yang paling murah harganya, dan sudah tua lagi. Tetapi kita harus berpikir dan agar tetap senantiasa bisa bersyukur, bahwa mungkin di sekolah ini, memang benar sepatu sayalah yang paling murah, tetapi di tempat lain, di sekolah lain, akan ada siswa yang tidak pakai sepatu ke sekolah, karena tidak mampu membeli. Atau kita harus berpikir, bahwa saya atau kita masih patut bersyukur meskipun hanya dengan sepatu murah dan tua lagi, tetapi si “A” mampu beli sepatu, tetapi tidak bisa pakai sepatu karena tidak punya kaki (cacat).

Masih teringat tahun 2007, sepulang mengantar siswa  SMK Negeri 1 Bantaeng, yang mewakili Sulawesi Selatan mengikuti Lomba Kompetensi Siswa (LKS) tingkat nasional di Kota Bandung, Jawa Barat. Setelah  dari Bandung, saya singgah di Jakarta, berdua bersama kepala SMK Negeri 2 (Kelautan) Kab. Banteang (yang siswanya juga ikut LKS dengan jurusan/bidang lain), kemudian melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Depok. Dua hari di Depok, kembali ke Jakarta untuk melanjutkan perjalanan balik ke Makassar untuk selanjutnya ke Kabupaten Bantaeng.

Lalu apa yang menarik dari perjalanan itu? Termasuk apa relevansinya dengan tulisan ini? Dari Depok ke Jakarta kami menggunakan kereta api. Dalam perjalanan, hati ini merasakan rasa syukur yang sangat dalam. Hal itu dipicu, karena saya berpikir atau melakukan mekanisme pembanding dengan cara yang benar, baik, dan tepat. “Di Kabupaten Bantaeng, tepatnya di Be’lang, memang saya termasuk dalam kategori 10 besar termiskin di wilayah itu. Tetapi, ternyata sepanjang jalan dari Depok-Jakarta, baik di atas kereta api (melihat pengemis, termasuk yang masih umur muda) maupun dibalik kaca jendela melihat situasi pemukiman, ternyata masih ada yang lebih miskin, lebih susah hidupnya dibandingkan diri ini. Sehingga saya harus dan masih patut banyak bersyukur”. Ini yang terucap dalam hati pada saat itu di atas kereta api.

Selain itu, pada saat itu, saya masih honorer biasa di SMK  Negeri 1 Bantaeng, dengan uang pas-pasan, berkeliling Bantaeng pun mungkin tidak cukup. Tetapi Alhamdulillah, dua tahun berturut-turut saya bisa menginjakkan kaki yang menjadi icon Indonesia (tahun 2006 Jakarta, dan Tahun 2007, Jakarta, Bandung, termasuk Depok). Saya ikut serta diberangkatkan, tanpa mengeluarkan uang sepersen pun (apalagi memang tidak punya uang) sebagai bentuk (menurut mereka) rasa syukur panitia dan pembina, karena saya ikut serta membina dan melatih siswa dengan berbagai pengetahuan dan skill yang relevan dengan lomba/LKS tersebut, sehingga berhasil juara pertama tingkat provinsi dan selanjutnya mewakili Provinsi Sulawesi Selatan ke tingkat nasional.

Selain cerita pribad saya di atas, ada satu kisah menarik meskipun mungkin hanya bersifat fiktif, yang memiliki relevansi dengan judul tulisan ini. Suatu waktu ada seseorang yang mendatangi pak kiai. Orang itu mengeluhkan tentang nasib hidupnya, yang hanya punya rumah dengan ukuran 4×5 meter, yang dihuni bersama istri dan 4 orang anak-anaknya. Kedatangan orang itu ke pak kiai, bermaksud untuk mendapatkan solusi, agar dirinya pun bisa merasakan kebahagiaan meskipun hanya sekejap. Mendengarkan cerita dan keluhan orang tersebut, pak kiai bertanya, “Kamu punya kambing dan/atau ayam?” Dijawab dengan singkat oleh orang tersebut, “punya ayam dan kambing pak kiai”. “Masukkan semua kambing dan ayammu itu ke dalam rumahmu,” perintah pak kiai. “Setelah satu pekan, hidup bersama kambing dan ayam dalam rumah, kau kembali lagi mendatangi saya”, lanjut saran pak kiai.

Singkat cerita, meskipun saran pak kian ini terkesan tidak rasional dan akan membuat dirinya semakin stress, tetapi tetap saja diikuti dan dilakukannya. Setelah berlalu satu pekan hidup serumah dalam rumah ukuran 4×5 meter itu, bersama keluarga, termasuk semua kambing dan ayam yang dimilikinya, dia kembali ke pak kiai, menceritakan, protes dan semakin mengeluh. Dirinya pun meminta saran lain, supaya bisa hidup bahagia meskipun hanya sekejap. Lalu pak kiai kembali menyarankan, “keluarkan semua kambing dan ayammu itu, dan setelah tiga hari, kau kembali mendatangi saya”. pinta pak kiai. “Tidak ada yang lain pak kiai?” orang tersebut bertanya. “Tidak ada”, jawab pak kiai dengan singkat. Lalu orang itu, segera pulang dan melaksanakan perintah atau saran pak kiai.

Apa yang terjadi, setelah mengikuti saran pak kiai yang pertemuan keduanya itu, dia bersama istri dan anak-anaknya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Apa ibrah yang bisa dipetik dari cerita singkat di atas, bahwa seringkali kebahagiaan dan rasa syukur belum/sulit terpancar atau dirasakan, hanya karena diri kita belum merasakan kehidupan, atau tidak melihat kondisi orang lain yang lebih sulit dari yang sedang kita alami. Sama halnya perjalanan kami Depok-Bandung, saya sangat merasakan rasa syukur, karena ternyata diri saya yang sangat miskin, bahkan rumah orang tua, yang kami tinggali, sejak saya masih SD sampai selesai SMK, tidak punya dinding yang utuh. Hujan, terik matahari, angin, dan bahkan sinar rembulan leluasa masuk sampai ke dalam kamar tidur sekalipun. Pencuri pun sebenarnya bisa bebas masuk, tetapi dia pasti merasa rugi, jika menjadikan rumah kami sebagai sasaran/target aksinya.

Terkati pembanding ini, atau agar kita memiliki pembanding yang benar sehingga suara hati, suara kebenaran, suara ilahiah, senantiasa bisa didengarkan, maka ada pesan bijak yang patut kita camkan dan aplikasikan setiap hari. Apa itu? “Untuk urusan dunia, melihatlah ke bawah agar diri kita senantiasa bersyukur dan bahagia. Dan untuk urusan akhirat, marilah kita melihat ke atas, agar selalu berupaya meningkat ibadah, supaya bisa semakin dekat kepada Allah”.

Sangat relevan tulisan ini, untuk ditaburkan di tengah suasana menjalani ibadah puasa, karena sesungguhnya dalam berpuasa, kita akan mendapat pendidikan dan ibrah terkait bagaimana kita memiliki pembanding yang benar. Maksudnya, dengan berpuasa, kita bisa mengarahkan pikiran bagaimana rasa/kondisinya, jika ada orang yang tidak makan dalam sehari, karena kenyataannya di tengah kondisi bangsa yang masih mencatatkan tingkat kemiskinan yang tinggi, bisa dipastikan masih banyak rakyat yang dalam hidupnya, terkadang tidak bisa makan dalam sehari, karena tidak bisa membeli beras, dll. Maka kita yang masih bisa makan, termasuk masih bisa menikmati aneka menu buka puasa, patutlah kita selalu bersyukur kepada Allah.

Dan penghujung tulisan ini, tidak terasa, sebutir air mata pun menetes, bukan karena sedih dan menyesali masa lalu, tetapi saya bersyukur hari ini. Beberapa puluh tahun yang lalu, mungkin tahun 1980an sampai tahun 2000an, saya bersama keluarga masih sering merasakan, tidak makan sehari semalam karena orang tua tidak punya uang untuk membeli satu liter beras sekali pun. Hidup tidak ada jalan untuk menyombongkan diri, termasuk tidak ada ruang untuk minder, putus asa, ketika diri kita masih mampu membersihkan hati dari belenggu yang salah dan/atau keliru.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply