Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Ada pernyataan atau ungkapan yang terkesan sudah menjadi aksioma, “pengalaman adalah guru besar”. Ungkapan ini mengandung harapan, agar diri kita senantiasa mengambil atau menemukan ibrah atas segala kejadian yang pernah dialami. Hanya saja berdasarkan perenungan dan pengamatan sederhana saya, tidak selamanya pengalaman bisa menjadi “guru besar” atau “terbaik”. Ada banyak fakta yang tersingkap, yang tidak sedikit orang, gagal, pasrah, putus asa, dan tidak bisa bangkit kembali karena selalu menjadikan pengalaman masa lalunya sebagai barometer. Saya sepakat dengan Ary Ginanjar Agustian, yang memasukkan dalam perspektifnya bahwa satu di antara tujuh belenggu hati adalah “pengalaman”, dalam hal ini pengalaman negatif.
Diakui, apalagi jika memahaminya dengan pendekatan filosofi habits (kebiasaan), pengalaman seringkali sangat membekas dalam diri, dan sangat memengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Belum lagi, jika kita memahaminya dari pemahaman dan kesadaran akan adanya pula proses algoritmik (algoritma) dalam diri manusia, maka bisa dipastikan pengalaman pun tanpa memandang positif atau negatif akan menjadi variabel pendukung untuk merumuskan probabilitas (peluang dan/atau kemungkinan-kemungkinan) dalam diri.
Ada cerita menarik dari Ary Ginanjar yang saya deskripsikan ulang, yang bisa menggambarkan bahwa ada pengalaman yang bisa menjadi belenggu hati dan menghambat pencapaian kesuksesan atau peluang kebaikan dalam hidup. Cerita singkatnya seperti ini, “Ada seorang perempuan menjalin hubungan dan membangun komitmen dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu berjanji akan segera menikahinya. Ternyata, laki-laki itu mengkhianati komitmen yang telah dibangun bersama. Laki-laki itu menikah dengan perempuan lain. Setelah gagal dengan laki-laki pertama ini, perempuan itu mengenal sosok laki-laki kedua yang menurutnya sangat baik, akhirnya menjalin hubungan yang sama. Dalam perjalanan hubungannya, laki-laki itu pun berjanji akan menikahinya, karena laki-laki itu sangat mencintainya. Bahkan laki-laki itu merasa dan diungkapkan kepada perempuan tersebut bahwa dunia ini bagaikan milik berdua”.
Lanjutan ceritanya, “laki-laki kedua ini melakukan hal yang sama dengan laki-laki pertama dengan cara mengkhiati janji dan komitmennya. Laki-laki yang kedua ini menikah dengan perempuan lain. Gagal dengan laki-laki kedua, perempuan itu kembali mengenal laki-laki ketiga, singkat cerita dengan laki-laki ketiga, laki-laki itu pun berjanji akan segera menikahinya. Laki-laki itu bahkan mengutarakan perasaannya yang sangat dalam bahwa jika dirinya tidak bersama perempuan itu maka hidup ini ‘bagaikan malam tak berbintang’. Ternyata melakukan pengkhiatan yang sama, laki-laki ketiga ini juga menikah dengan perempuan lain”.
Kegagalan demi kegagalan, pengkhianatan demi pengkhianatan menjadi variabel-variabel dalam diri perempuan tersebut dan menghasilkan proses algoritmik dalam diri dan hidupnya bahwa “semua laki-laki sama, tidak bisa dipercaya, dan semuanya pengkhianat”. Maka datanglah laki-laki keempat—anggaplah di antara pembaca yang datang—yang ingin segera menikahinya tetapi dengan harapan hendak ber-ta’aruf terlebih dahulu. Jawaban yang mengangetkan dari perempuan itu, “tidak ada lagi laki-laki yang saya percayai di dunia ini”.
Kesimpulan perempuan itu tentunya tidak tepat, tidak adil, tidak objektif, dan kurang rasional. Karena tiga yang mengkhianatinya, tetapi seluruh laki-laki di dunia tidak lagi dipercayainya. Pakai metode riset/survei saja dengan menggunakan hanya tiga sampel, itu kurang pas. Mengapa seperti itu? Dalam diri perempuan tersebut, dan bisa jadi dalam diri kita semua, akan ada pengalaman negatif yang menjadi “belenggu hati”.
Saya pun pernah menjumpai sosok yang sesungguhnya punya kemampuan lebih untuk membeli jenis kendaraan darat (sepeda, motor, dan mobil) apa pun. Pada kenyataannya dirinya sendiri tidak bisa mengendarai berbagai jenis kendaraan, mulai dari sepeda, motor, dan/ata mobil. Lalu pada suatu kesempatan, saya bertanya kepadanya perihal dirinya tidak bisa mengendarai sepeda sekalipun. Ternyata berdaarkan penjelasannya, dirinya pernah belajar mengendarai sepeda, dan pada saat itu terjatuh ke dalam selokan dengan luka gores yang cukup parah (tidak patah). Dan bahkan menurutnya, jika mengenang kembali pengalamannya itu, masih sangat terasa perih. Betapa besar pengaruh pengalaman tersebut, karena puluhan tahun sudah berlalu, ternyata bekas luka itu jika dikenang, kembali terasa perih.
Saya pun, ketika pertama kali belajar mengendarai motor, terjatuh ke dalam selokan dengan ke dalaman tidak kurang dari satu meter. Tepatnya di samping guest house/ Bank Mandiri/Balai Kartini Bantaeng sekarang. Saya belajar mengendarai pada pukul 02.00 dini hari, penyebab awalnya ada anjing yang berniat menerkam, lalu saya belokkan motor dalam keadaan kaget dan cemas, maka meluncurlah motor itu ke dalam selokan. Untung saja, masih ada penjaga guest house Bantaeng yang pada malam itu, belum tidur, dan termasuk ada pemilik warung dekat dari lokasi yang datang, sehingga bisa menolong/membantu saya mengangkat motor tersebut. Saya mengalami luka goresan sedikit pada telapak tangan, dan motor yang saya pinjam rusak pada bagian kaca spion. Mungkin di antara pembaca, ada yang menjadi saksi pada malam itu.
Adalah Thomas Alva Edison sang penemu bola lampu pijar, menurut informasi mengalami kegagalan kurang lebih 1134 kali. Meskipun angka ini bisa saja kurang tepat, tetapi pesan intinya bahwa Edison mengalami kegagalan berkali-kali, barulah kemudian mampu menemukan dan melahirkan temuan spektakuler yang memberikan banyak manfaat dalam kehidupan, berupa bola lampu pijar.
Andaikan, saya menjadikan pengalaman negatif di atas sebagai belenggu hati, maka bisa dipastikan hari ini, puluhan tahun yang sudah berlalu, akan membuat diri ini tidak pernah bisa mengendarai kendaraan. Begitupun, andaikan Edison menjadikan kegagalan pertama sampai kelima dan seterusnya sebagai “belenggu hati”-nya maka kemungkinan besar hari ini dunia gelap.
Tidak sedikit di antara kita, yang menyerah sebelum berjuang karena pengalaman, baik bersumber dari diri sendiri maupun dari orang lain—ynag diperoleh dari cerita ke cerita—telah membelenggu hati dan pikiran. Apalagi, seringkali prasangka negatif yang juga sebagai belenggu hati, ikut hadir memberikan penguatan terhadap pengalaman, sehingga semakin kokoh menjadi belenggu hati.
Pengalaman negatif ataupun kegagalan, harus menjadi pembelajaran tetapi tidak untuk menjadi “belenggu hati”. Artinya, mengambil nilai spirit terkait apa yang harus diperbaiki agar semakin dekat dengan kesuksesan. Saya sepakat dengan pandangan, bahwa “kegagalan itu, hanya cara yang menunjukkan kita untuk semakin dekat dengan kesuksesan, bukan justru sebaliknya, semakin menjauhkan”.
Allah pun telah menegasakan melalui firman-Nya QS. Al-Baqarah [2]:10, “Dalam hatinya ada penyakit dan Allah menambah penyakitnya itu. Mereka beroleh azam yang pedih menyakitkan, disebabkan karena mereka berdusta”. Dari ayat ini sangat jelas, bisa diinterpretasikan bahwa jika “pengalaman negatif atau kegagalan menjadi belenggu hati (penyakit), maka Allah akan menambahkan dalam bentuk kegagalan-kegagalan berikutnya”.
Dari uraian di atas maka sangat urgen agar setiap pengalaman negatif yang menjadi belenggu hati, agar segera dibersihkan. Untuk membersihkannya berarti secara sederhana membutuhkan mekanisme konversi perasaan. Secara detailnya, tentunya harus menyesuaikan dengan jenis, bentuk atau porsi dan versi pengalaman yang membelenggu itu.
Secara umum yang bisa dilakukan agar pengalaman negatif tidak menjadi belenggu hati adalah: pertama, kita harus senantiasa mengedepankan prasangka dan pikiran positif terhadap sesuatu yang pernah dialami dan kondisi yang dihadapi; kedua, meningkatkan kemampuan untuk mendapatkan hikmah atau ibrah atas segala kejadian yang ada; ketiga, menemukan dan belajar dari orang lain yang telah sukses melewati pengalaman negatif yang serupa; keempat, mengokohkan keyakinan terhadap Allah, bahwa Allah senantiasa menunjukkan yang terbaik kepada hamba-Nya yang memaksimalkan ikhtiar dan do’a dengan berbasis pada keimanan dan keilmuan yang kokoh.
Selanjutnya, dan bagi saya, ini juga bisa menjadi kunci atau “jurus” jitu, adalah senantiasa memaafkan orang lain dan diri sendiri atas segala kesalahan yang pernah terjadi. Sikap memaafkan tanpa kecuali terhadap diri sendiri, adalah salah satu cara untuk bisa melupakan dan menghilangkan jejaknya dalam pikiran yang seringkali menjadi belenggu. Berikutnya, kita harus senantiasa berupaya berpikir merdeka, dan memperbaiki paradigma yang keliru dan menguatkan pengalaman negatif.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhamadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023