Oleh : Arifudin
(Mahasiswa PPKn Universitas Muhammadiyah Mataram NTB)
Kita sudah hidup di dunia ini. Namun, kita belum hidup dengan akal sehat. Sedangkan Pikiran kita dijajah oleh emosi dan tradisi. Dan bahkan Kita tak mampu melihat kemungkinan-kemungkinan di luar tradisi, baik itu tradisi budaya maupun agama yang kemudian diwariskan kepada kita.
Sedangkan di dalam hidup, kita juga berpolitik. Sayangnya, kita belum mampu berpolitik dengan akal sehat. Sekarang Politik masih dilihat sebagai ajang perebutan kekuasaan dan pengumbaran kerakusan. Akibatnya apa? banyak keputusan politik justru merugikan rakyat umum, dan menghancurkan dunia perpolitikan itu sendiri.
Kalau Kita merenungi bahwa, kita juga hidup dengan agama sebagai salah satu warisan. Sayangnya, kita juga belum beragama dengan akal sehat. Agama masih menjadi selubung untuk kesombongan, kerakusan dan hasrat-hasrat liar yang bejat. Tidak hanya itu, bahkan sekarang agama sering dijadikan alasan untuk malas berpikir.
Maka untuk hidup, kita juga perlu bekerja. Namun, sayangnya, kita belum juga bekerja dengan akal sehat. Kita masih sibuk menjatuhkan lawan, dan bersikap curiga terhadap kawan. Peningkatan karir pun juga kerap kali bukan karena mutu kerja yang meningkat, tetapi karena jilat-menjilat ataupun tikam-tikaman sesama orang lain.
Bayangkan saja hubungan pribadi kita dengan orang lain pun tak dilandasi dengan akal sehat. Begitu banyak hubungan didasari oleh kebohongan. Pengorbanan untuk orang lain menjadi kata yang begitu aneh di masa kekinian. Orang hanya memikirkan ambisi pribadinya masing-masing, bahkan ketika ambisi itu menghancurkan hubungannya dengan orang lain.
Menggunakan dan meramawat “akal sehat” itu berarti melihat dari berbagai sudut pandang. Akal sehat bukanlah cara berpikir yang bisa digunakan untuk mengabdi tujuan-tujuan yang tak masuk akal, seperti kerakusan, kebohongan dan pengumbaran kerakusan. Tapi merawat akal sehat justru adalah kemampuan untuk mempertimbangkan, apakah hidupku sudah di arah yang tepat, atau belum.
Akal sehat juga perlu digunakan untuk mengembangkan sikap kritis. Sikap kritis berarti kita berani mempertanyakan cara berpikir maupun cara hidup yang lama. Hanya dengan keberanian untuk bertanya, perubahan ke arah yang lebih baik bisa tercipta. Sudah terlalu lama bangsa kita hidup di dalam kebodohan yang disucikan sebagai tradisi.
Di 2019 nantinya, akal sehat itu amat penting di dalam membuat keputusan. Kita tidak lagi bisa mengandalkan tradisi lama untuk membuat keputusan. Kita juga tidak bisa mengandalkan agama di dalam membuat keputusan, terutama karena agama acapkali terjebak oleh kepentingan politik dan ekonomi yang memecah belah. Tidak ada lagi yang bisa diandalkan, kecuali nalar sehat di dalam diri kita sendiri.
Kiranya kita bisa belajar dari Immanuel Kant, pemikir Jerman, tentang penggunaan akal di dalam hidup bersama (öffentlicher Gebrauch der Vernunft). Ini berarti, ketika membuat kebijakan terkait dengan hidup bersama, kita tidak lagi mengacu pada tradisi dan agama secara buta, melainkan berdiskusi dengan menggunakan nalar sehat untuk sampai pada kesepakatan. Ini salah satu jalan untuk mewujudkan demokrasi yang sehat di dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia. Hanya dengan jalan ini, masyarakat majemuk yang adil dan makmur bisa terwujud.
Maka dari itu penulis mengajak, kepada saya dan kita semua untuk menggunakanlah akal sehat di dalam kehidupan. Ini merupakan pemberian alam yang sudah membantu manusia bertahan hidup selama ratusan ribu tahun. Jika kita berhenti memakai akal sehat, maka kita akan punah. Jika Indonesia tidak menggunakan akal sehat, bangsa ini pun akan punah.
Walahu a’lam bishsho’wab
Mataram, 30/12/2018