Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Migozarad

×

Migozarad

Share this article

KHITTAH.CO – Di kedai itu, tempat menyesap teh di Kabul, pada dindingnya, seseorang menulis harapan: migozarad.

Ini semua akan berlalu.

Seseorang menyesap teh di kedai itu, di Kabul. Ia membayangkan Afghanistan di suatu hari: perang akan berakhir.

Tahun 2001, sesudah menara kembar–World Trade Center–luluh lantak di bulan September itu, Amerika datang ke Afghanistan menunggangi narasi perburuan terhadap terorisme: Osama, Alkaida, dan Taliban. Amerika merajut persekutuan bersama Aliansi Utara, juga faksi lain yang tak suka kekuasaan Taliban.

Taliban kalah. Tersaruk terkaing di punggung-punggung bukit.

Amerika dan Aliansi Utara membentuk pemerintahan.

Tetapi hidup orang-orang Afghanistan tak lantas sepi dari gelegar bom. Peluru-peluru terus saja mendesing, menyasar nyawa yang hanya selembar itu. Osama masih berseru-seru dalam perlindungan serdadu Taliban, di balik punggung bukit entah di mana, direkam dan diunggah ke internet. Sampai kemudian peluru mengakhiri pelariannnya: Osama mati.

Migozarad, ini semua akan berlalu.

2021, Amerika berbalik badan: pulang, lelah, buntung. Dua puluh tahun adalah waktu yang tak memberi banyak perwujudan harapan akan kedamaian. Ketika Amerika memutuskan pergi, pejabat dan tuan-tuan yang diasuh Amerika dua puluh tahun itu, nyata akhirnya, tak semuanya bersikap tegar menantang situasi.

15 Agustus 2021, ibu kota Afghanistan, Kabul, dikuasai Taliban.

Ashraf Ghani, tuan presiden itu, pergi.

16 Agustus 2021,–seorang jurnalis perempuan, Nazira Karimi– menyatakan keluh kesahnya dalam konferensi pers di Pentagon, Washington, seraya menitikkan air mata: …i’m from Afghanistan, i upset today because Afghan women didn’t expect that overnight all the Taliban came…everybody is upset especially women…where is my president? Former President Ghani? People expected that he by by with the people, and immediately he ran away.

Dua puluh tahun yang berlalu itu, bukanlah waktu yang cukup untuk melungsurkan ingatan orang-orang Afghanistan pada suasana penuh kelam yang dibentangkan Taliban selama lima tahun berkuasa, 1996-2001.

Ingatan tentang tokoh yang kalah, yang dieksekusi mati di tempat umum, dan semua yang tewas yang tak sejalan dengan garis Taliban.

Ingatan tentang perempuan yang tak memiliki akses pada sekolah, yang harus dibungkus rapat dan ditenteng oleh sejawat sedarah ketika datang ke ruang publik: ya, perempuan tak boleh menjadi individu.

Ingatan tentang janggut bagi laki-laki, yang panjangnya ditentukan melalui represi penguasa Taliban.

Ingatan tentang perayaan layang-layang di langit Kabul yang tak lagi boleh, dan sinema yang haram, juga situs budaya yang dihancurkan.

Singkatnya: ingatan tentang kekerasan Taliban yang diasuh melalui bedil.

Maka, dengan ingatan yang belum lamur oleh dua puluh tahun waktu berlalu itu, orang-orang dirundung cemas saat Taliban memasuki gerbang kota.

Jalan-jalan kota Kabul dipadati oleh suara kepanikan. Berbanjar-bersesak orang menuju tempat yang diduga dapat menjadi pintu ke tanah lain: bandara, pelarian.

Taliban kini kembali dengan segala penampilan lahir yang itu-itu juga. Tak berbeda di dua puluh tahun berlalu. Shalwar kameez, surban-peci pakol, janggut: bedil.

Tetapi kini Taliban datang dengan menjanjikan imarah Islam Afghanistan baru: pemerintahan inklusif.

Pengampunan politik.
Perlindungan hak asasi.
Perdamaian.

Kemudian tentang posisi perempuan dalam ruang publik–sekolah, kerja, karir–disesuaikan dengan syariat yang akan ditentukan oleh dewan ulama, kata juru bicara Taliban: Zabihullah dan Sahel.

Orang-orang Afghanistan masih terus dibayangi riwayat penindasan Taliban terhadap perempuan. Tetapi sesuatu yang nampak berbeda terjadi pada 17 Agustus 2021 di salah satu stasiun televis. Salah seorang pejabat tinggi Taliban, Mawlawi Abdulhaq Hemad, bersedia untuk diwawancarai oleh penyiar Tolo News–perempuan, Behesta Arghand, yang hanya berkerudung dengan rambut yang mengintip di dahinya–di dalam ruangan di bawah sorot kamera.

Tetapi beberapa kabar yang sumir segera datang. Terlalu cepat. Tak berapa hari sesudah Taliban menguasai jalan-jalan. Kabar yang mengkhianati seruan pengampunan, dan perdamaian.

Keluarga seorang jurnalis Deutsche Welle (DW), mengalami teror. Jurnalis itu dicari-cari. Ia tak ditemukan, lalu keluarganya menjadi sasaran, lalu ada yang tertembak: mati.

18 Agustus 2021, Nadia Momand, jurnalis televisi Afghanistan– melalui akun Twitternya– mengatakan bahwa Salima Mazari, gubernur perempuan berusia 40 tahun itu, ditangkap oleh pasukan Taliban. Lalu nasib Salima menjadi tak terang lagi.

Pintu-pintu rumah warga diketuk, Taliban melakukan pencarian terhadap orang-orang yang pernah bekerja pada asing: Amerika dan sekutu.

Dan beberapa peristiwa yang lain, terjadi begitu rupa.

Qari Mohamad Haroon Seerat, memberi keterangan di CGTN, media dari negeri Tiongkok itu: penjarahan dan kericuhan di lakukan oleh orang-orang yang menyambi sebagai anggota Taliban.

Qari adalah Taliban, dan atas nama Taliban ia berkata: kami yakinkan pada orang-orang Kabul tentang keamanan dan keselamatan mereka. Jika di beberapa daerah. orang tidak senang dengan perilaku orang (Taliban) atau ada ancaman terhadap penduduk, mereka dapat melapor kepada kami di distrik terdekat.

Migozarad!

Afghanistan dikuasai (lagi) oleh Taliban. Politik wajah baru terus disuarakan, dipancarkan. Taliban berjanji akan menampilkan wajah baru Imarah Islam Afghanistan: inklusif, moderat(isme).

Orang-orang waspada, ini terasa sebagai suara pragmatis(me). Orang-orang menunggu. Orang-orang berharap. Orang-orang cemas.

Seorang perempuan–Azada, demikian ia menyebut namanya–menyatakan pikirannya: “Harus dibentuk pemerintahan bersama antara Taliban, kelompok perlawanan, kelompok biasa, orang dari semua agama. Jika ini terjadi kita akan punya negara baru dan masa depan baru. Bahkan masa depan yang lebih cerah.”

Tetapi Azada sangsi: “Adakah yang berubah? Lihat pakaian mereka, rambut mereka, atau janggut mereka, bagaimana bisa mereka mengubah pemikiran mereka? Sulit untuk percaya rumor mereka, bahwa Taliban telah berubah.”

Migozarad!

Pada dinding kedai teh di Kabul itu, coret-coret itu masih dapat dibayangkan, dilafalkan.

Ini semua akan berlalu.

Di suatu hari yang entah.

Migozarad, kata ini dinukil dari buku Asne Seierstad: The Book Seller of Kabul, diterjemahkan Sofia Mansoor.

Deng Fanshuri, 22 Agustus 2021.
Kutai Timur.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply