Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpini

Muballigh dan Sensitifitas “Perang Ideologi” (Bag. 1)

×

Muballigh dan Sensitifitas “Perang Ideologi” (Bag. 1)

Share this article

Oleh : Agusliadi

(Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bantaeng)

KHITTAH.co – Sebelum membahas lebih jauh dan dalam, saya ingin membocorkan bahwa judul di atas terinpirasi ketika menghadiri undangan orientasi muballigh yang dilaksanakan oleh Badan Komunikasi Muballigh Indonesia (BAKOMUBIN) Bantaeng.

Judul tersebut adalah coretan, pemetaan permasalahan sekaligus sebagai tanggapan yang saya sampaikan atas materi yang ada dan beberapa tanggapan, keluhan, permasalahan kehidupan dari peserta baik terkait langsung/tidak dengan aktivitas dakwah muballigh. Yang perlu saya tambahkan dan saya sampaikan secara jujur bahwa awalnya saya merasa risi hadir di acara itu karena selama ini saya merasa tidak pernah menyandang status sosial sebagai muballigh oleh panitia tetapi mereka tetap mengundang saya.

Mencermati judul di atas, saya yakin para pembaca mampu membaca secara filosofis dan menangkap makna, bahwa penulis seakan ingin memberikan interupsi dan sekaligus instruksi kepada Muballigh. Interupsi yang dimaksud ingin mengingatkan kepada sebagian muballigh bahwa aktivitas dakwah yang dilakukan dan materi dakwah yang disampaikan selama ini terasa kurang menyentuh kebutuhan zaman, sehingga perlu diberikan instruksi bahwa ini yang sebaiknya dilakukan: seorang muballigh perlu memiliki sensitifitas akan “Perang Ideologi”.

Selaku penulis tentunya merasa bahwa saya belum memiliki otoritas keilmuan untuk kemudian memberikan interupsi dan instruksi kepada Muballigh apalagi saya bukanlah seorang muballigh. Namun pada sisi lain, mungkin inilah langkah yang tepat karena jika muballigh yang menyoroti, menginterupsi dan meinstruksi muballigh lain apalagi aktivitas, model dan materi dakwah yang disampaikan tidak jauh berbeda maka itu sama saja “jeruk makan jeruk”.

Dan yang pasti bahwa landasan keilmuan, teoritis dan referensi yang melandasi tulisan ini berbasis pada pemikiran, pemahaman pada sosok ilmuan yang otoritas keilmuannya tidak dirangukan lagi.

Membaca secara filosofis realitas kehidupan dan kebangsaan kita, Indonesia sebagai bangsa dan Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, penuh dengan fenomena paradoks. Sebagaimana disampaikan Syafiq Mughni Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada prolog buku mercusuar peradaban  “ bahwa persoalan besar yang muncul di tengah – tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritualitas, dan lebih lanjut dikatakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisme dan positivisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern dimana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan karena itu spiritualitas menjadi anatema bagi kehidupan modern”, (Azaki, 2015).

Aktivitas dakwah, pembangunan masjid, jumlah jamaah haji setiap tahun apalagi jumlah antrian sampai 25 tahun ke depan terus meningkat, geliat ibadah umroh membuat para usaha travel kewalahan karena banyaknya permintaan/pendaftar. Ternyata pertumbuhan dan kemajuan itu, tidak berkorelasi poisitif dengan perbaikan moral bangsa. Hal ini sesuai pembacaan Buya Ahmad Syafii Ma’arif dalam bukunya, Islam dalam Bingkai Keindonesia dan Kemanusiaan (2009). Korupsi semakin merajalela, kemiskinan dan kebodohan tidak mengalami penurunan secara signifikan, berita dan tingkat kejahatan terus mewarnai realitas kehidupan. Life style yang cenderung kearah materialistik, hedonis dan konsumtif. Keikhlasan, jiwa altruis, gotong royong seakan menjadi barang mewah yang hanya dimiliki oleh segilintir orang saja. Pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah baik ditingkat pusat sampai daerah terkesan porsi anggaran yang diberikan lebih menyentuh pada tataran pembangunan fisik (baca:infrastruktur), aktivitas serimonial, olahraga dan penguatan skill semata selain pada persoalan gaji yang porsinya lumayan besar, dibandingkan pada upaya perbaikan moral bangsa.

Dari realitas tersebut di atas, tentunya kita patut menginterupsi peran dan fungsi dakwah yang selama ini diperankan oleh para muballigh. Tetapi saya yakin mubaligh akan melakukan pembelaan bahwa “memperbaiki kehidupan, termasuk moral bangsa” bukan hanya tugas muballigh, muballigh hanya sebatas memberikan peringatan, apakah nantinya dia beriman atau menjadi kafir, itu lebih pada pilihannya masing – masing. Namun saya selaku penulis yang sedang menginterupsi peran dan fungsi muballigh ingin menegaskan bahwa berdasarkan pembacaan saya, mubaligh memiliki posisi strategis dalam meluruskan kiblat dan memperbaiki moral bangsa secara keseluruhan dan ummat Islam pada khususnya. Muballigh, kita memahaminya “dipercaya” memiliki otoritas untuk menyampaikan pesan – pesan moral, seruan – seruan ilahi yang tentunya memiliki integrasi dan sinergitas untuk kehidupan yang lebih baik di dunia serta nilai – nilai universal yang memiliki korelasi positif dengan harapan mulia manusia sesuai esensi dan eksistensi kehidupannya.

Jika kita jujur mengakui, untuk sebagian besar muballigh jika dikonfirmasi dengan realitas kehidupan maka aktivitas dakwah yang dilakukan kurang menyentuh, kurang menggugah dan kurang menggerakkan kehidupan untuk mengalami transformasi pada kehidupan sosial yang lebih baik. Sehingga jika memperhatikan kajian akademis Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man: bahwa sejarah telah berakhir, dan yang dimaksudkan adalah bahwa “titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia” dan “bentuk final pemerintahan manusia”, dimenangkan oleh kapitalisme dan demokrasi liberal. Ideologi – ideologi lainnya  telah runtuh dan hancur, termasuk Islam telah terkalahkan dalam dimensi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jika kita mengkonfirmasi dalam konteks Indonesia sebagai bangsa dengan penduduk mayoritas muslim bahkan penduduk Islam terbesar dunia, dalam kehidupan sosial, kita menemukan paradoks dan oposisi biner dari nilai – nilai Islam, kalaupun ada upaya perlawanan seakan kita dihinggapi psikologi kekalahan, rendah diri, atau inferiority complex dan bahkan mengalami krisis percaya diri (self confident).

Hal tersebut saya simpulkan sebagai efek kausalitas dari keberhasilan  Muballigh yang hanya mampu menumbuhkan dan menggugah kesalehan individual dan kurang berhasil dan menggerakkan dalam dimensi kesalehan sosial.
Keberhasilan menumbuhkan sisi kesalehan individual berkorelasi pada materi dakwah yang disampaikan hanya menyentuh dimensi langit, surga neraka, nilai – nilai transendental kurang diterjemahkan dalam dimensi profan untuk mempengaruhi realitas sosial. Muballigh terkadang hanya fokus pada materi tata cara shalat, rukun puasa, qurban, sejarah hijrah Nabi. Tanpa pernah mencoba menyentuh sisi bagaimana shalat berkorelasi terhadap character building, puasa dan kepekaan sosial, qurban dan spirit altruisme dan nasionalisme kebangsaan. Materi hijrah jangan hanya dilihat dari aspek historis dengan melihat sisi perpindahan secara geografis, melainkan harus dilihat dari sisi lain bahwa Hijrah memiliki korelasi  perubahan pola pikir bahkan bersentuhan dengan mekanisme on-off DNA manusia yang mempengaruhi capain hidupnya.

Bersambung ke Muballigh dan Sensitifitas “Perang Ideologi” (Bag.2)…..

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply