Oleh : Agusliadi
(Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kab. Bantaeng)
Bahkan Ali Syariati menyimpulkan bahwa semua peradaban, mulai dari peradaban paling kuno, seperti sumeria, selalui diawali dan berakhir pada puncak sebuah proses yang bernama hijrah. Apakah sebagian besar Muballigh berani, mau dan secara serius mengarahkan konsep – konsep transedental dalam dimensi sosial politik, ekonomi dan budaya.
Dari sini saya ingin mengajak para Muballigh untuk memahami bahwa apapun yang terjadi dan kita alami dalam kehidupan ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Andre Kukla dalam Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu bahwa “semuanya adalah hasil konstruksi sosial”,(2000). Dan sistem yang mampu mengkonstruksi kehidupan sosial adalah ideologi, kenapa ideologi ?, karena ideologi sebagaimana dijelaskan oleh John B. Thompson dalam dua karya mutakhirnya Analisis Ideologi Dunia (1984) dan Kritik Ideologi Global (1990), memiliki kemampuan untuk memutarbalikkan realitas, karena ideologi memiliki relasi yang kuat dengan komunikasi massa, termasuk sampai pada persoalan bahasa, pikiran dan perilaku manusia. Dan bahkan “ideologi sarat dengan kepentingan dan pastinya diikuti oleh hasrat kuasa” (Asratillah, 2014:41).
Dalam kerangka besar ideologi bisa diklasifikasi menjadi tiga, ideologi kapitalisme-demokrasi liberal, Ideologi Islam dan ideologi komunisme-sosialisme. Untuk bisa memahami lebih mudah, kita bisa melihat pada pernyataan apapsiasi Yudi Latif pada buku Nuun, beliau mengatakan bahwa ideologi itu mengandung tiga unsur; keyakinan, pengetahuan dan tindakan.
Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntutan – tuntutan normatif-perspektif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin dan teori yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Keitiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang mengandung level operasional dari keyakinan dan pengetahuan dalam realitas konkret (Azaki, 2014).
Dari uraian ini tentunya kita bisa memahami bahwa ideologi sangat mempengaruhi kehidupan kita dalam realitas konkret dan bahkan karena beroperasi dalam alam bawah sadar sehingga memiliki kekuatan penggugah dan penggerak dalam mempengaruhi perilaku manusia. Moh.Mudzakkir — Dosen Program Studi Sosiologi UNESA/Ketua PW LPCR Muhammadiyah Jawa Timur — mengatakan bahwa sebuah pergerakan harus memiliki landasan filosofis, paradigma dan ideologi, ataupun teori gerakan sebagai dasar dalam bergerak (2014). Dan saya selaku penulis melihat bahwa aktifitas dakwah yang diperankan oleh Muballigh harus mampu diterjemahkan sebagai sebuah gerakan yang harus memiliki landasan ideologis agar bukan hanya menumbuhkan kesalehan individual tetapi juga kesalehan sosial. Materi – materi dakwah mampu menjadi embrio perubahan sosial menuju kehidupan yang lebih sesuai nilai – nilai Islam.
Di sinilah sebagaimana judul di atas, Muballigh perlu memiliki sensitifitas “perang ideologi”. Sensitifitas kita pahami sebagai kepekaan jiwa dan pikiran untuk melihat apa yang sedang beroperasi dalam realitas konkret kehidupan dan secara abstrak beroperasi mempengaruhi jiwa dan alam pikiran manusia.
Life style yang cenderung ke arah materialistik, hedonis dan konsumtif karena ada sebuah sistem pemikiran ideologi tertentu yang sedang beroperasi dalam alam pikiran kita, dan disinilah dibutuhkan sensitifitas tersebut untuk mampu memahaminya. Sebagai contoh kecil dan saya mencurigai kita kurang sensitif selama ini, termasuk para guru agama yang ada di sekolah – sekolah dan muballigh, karena selama belum pernah salah seorangpun yang pernah saya dengar memberikan kritikan itu.
Hal yang dimaksud adalah tulisan yang ada di tembok sekolah dasar yang berbunyi, “Mens Sana In Corpore Sano”,”Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat”. Sekilas kata – kata itu sangat menarik dan menggerakkan tetapi ada kesalahan besar di dalamnya dan saya menyimpulkan telah memiliki efek luar biasa dalam realitas konkret kehidupan kita. Kita lebih cenderung lebih memperhatikan fisik daripada jiwa, orientasi pembangunan, porsi terbesarnya pada fisik, dan jiwa mengalami kegersangan. Itu disebabkan karena kata – kata tersebut di atas sejak kecil beroperasi di alam bawah sadar kita dan menjadi bom waktu dan bahkan telah menimbulkan ledakan dahsyat. Kata – kata itu terbalik sejatinya jiwa yang harus sehat terlebih dahulu, kemudian tubuh akan menjadi kuat.
Apalagi kalau kita memperhatikan akar ideologi kebangsaan kita, termasuk sebagaimana yang tertuang dalam lagu Indonesia raya, membangun jiwa terlebih dahulu kemudian membangun badan/raga. Saya pernah menelusuri jejak pemikiran tersebut, ternyata saya temukan bahwa kata – kata itu lahir dari seorang ideolog yang mengagungkan materi. Contoh lain adalah ungkapan waktu adalah uang, bias dari prinsip ini telah mengikis keikhlasan ummat manusia, tanpa kecuali sebagian besar Muballigh, karena tidak bisa dipungkiri ada juga muballigh yang mengutamakan dan mengukur besaran “isi amplopnya”, dan bahkan ada yang pasang target jutaan rupiah satu kali tampil berdakwah.
Dan sebagai penutup saya ingin berharap kepada Muballig, agar memiliki pemahaman terhadap ideologi bukan hanya ideologi Islam, tetapi ideologi lainnya agar sebagai sebuah system keyakinan, sistem berpikir yang mempengaruhi tindakan kita bisa memahami seperti apa mekanisme operasional dalam kehidupan. Dan ingat sekali lagi bahwa kehidupan ini adalah hasil konstruksi sosial. Belum lagi jika kita klasifikasikan perkembangan pemikiran era kontemporer sekarang lebih pada persoalan logosentrisme, fokus diskursus pemikiran lebih pada peran ilmu pengetahuan dan tanpa kecuali persoalah bahasa. Ini sangat berbeda dengan model dan orientasi pemikiran sebelumnya, geosentrisme, teosentrisme dan antroposentrisme.
Saya yakin ada pembaca yang berstatus muballigh yang mungkin tersinggung dengan tulisan ini, tetapi marilah kita terbuka untuk menerimanya dan mencoba untuk mengintrospeksi diri, dalam hal perubahan tidak ada kata terlambat mari kita putar aluan dalam hal aktivitas dakwah kita.