Catatan untuk Milad Muhammadiyah ke 109 tahun
Oleh: Andi Hendra Dimansa
Haedar Nasir figur Muhammadiyah yang memimpin di tengah berbagai petanda zaman yang mengalami perubahan. Bukan sekedar perubahan infrastruktur ekonomi yang memasuki dunia digital, namun perubahan arus politik yang juga turut menggerus berbagai struktur lama. Bila meminjam ungkapan alm. B.J. Habibie bahwa pesawat terbang yang mengalami guncangan saat melakukan penerbangan itu menunjukkan kondisi pesawat yang normal. Tetapi, yang harus dikhawatirkan apabila pesawat mengalami keretakan yang bisa membawa dampak buruk bagi pesawat.
Bangsa Indonesia di masa awal kepemimpinan Jokowi pernah mengalami guncangan yang bisa berdampak kepada keretakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik identitas merangsek masuk di ruang kebangsaan yang majemuk, namun di tengah suasana yang mirip gambaran zaman edan itu, Haedar Nasir figur Ketua Umum Muhammadiyah hadir memberikan kompas kebangsaan dengan narasi yang menyejukkan. Ungkapan “lebih mudah mengajak umat Islam ikut demo, dibandingkan masuk perpustakaan” menjadi petanda yang hendak digariskan oleh Haedar Nasir di tengah berbagai perubahan itu haruslah senantiasa berpijak kepada budaya “iqra”.
Bila ingin berdiri dan melihat Muhammadiyah sebagai suatu proyeksi di tengah usianya yang telah memasuki 109 tahun. Usia yang telah cukup sepuh dan matang serta mendahului usia Republik Indonesia, namun hal positif yang bisa dilihat dari peran Muhammadiyah menjadi pembawa obor pencerahan bagi republik ini. K.H. Ahmad Dahlan berhasil menangkap ruh zaman di abad 20 yang menghendaki berbagai transformasi diberbagai bidang termasuk pendidikan, pelayanan kesehatan dan kepedulian kepada sesama.
Gerakan Muhammadiyah berhasil membawa corak keislaman yang berselera kemajuan. Sikap adaptif dan trasnformatif membuat perkembangan Muhammadiyah mampu menjangkau lebih jauh dibandingkan dengan organisasi se-zamannya dan kini juga mampu mengibarkan bendera di luar batas teritori Republik Indonesia. Tidak heran apabila muncul pertanyaan mengapa Muhammadiyah mampu seperti itu? Setidaknya di masa itu Muhammadiyah mampu memproyeksikan masa depan umat Islam yang berselera kemajuan. Misalnya, Muhammadiyah mengapresiasi hak laki-laki dan perempuan yang sama di bidang pendidikan dan pemanfaatan tekhnologi dalam menunjang kehidupan keagamaan (M. Hazmi, dkk./Ideologi Muhammadiyah/34).
Kalau dulu Islam yang maju senantiasa akan diasosiasikan sebagai kader Muhammadiyah. Menurut Yayan Sopyani al Hadi, menyangkut geneologi tajdid Muhammadiyah: melampaui batas pencerahan, berdasarkan atas faktor K.H. Ahmad Dahlan yang tidak membangun simbol gerakannya selain dari nama nabi Muhammad saw dan faktor secara geneologis serta epistemologis menghendaki ajaran keagamaan yang berdasarkan sumbernya (M. Azrul Tanjung, dkk. (ed)/2015/22). Gerakan pencerahan Muhammadiyah mampu melihat penerang di internal umat Islam (baca:qur’an dan hadis) dan dari eksternal (baca: non-Islam) yang juga dapat dipadukan dalam memajukan umat Islam.
Muhammadiyah tidak silau dengan penerang yang ada di luar, namun juga tidak mengabaikannya. Tetapi, bagaimana hari ini Muhammadiyah meletakkan proyeksi terhadap masa depannya? Apalagi di tengah era disrupsi yang lebih banyak menyuguhkan ruang-ruang berbasis digital. Fakta menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia 274.9 miliar memiliki tingkat penggunaan internet yang tinggi baik dengan menggunakan gawai maupun dengan laptop. Selain itu, aktivitas seperti menonton video online berkisar 98,5%, menonton vlog 74,3%, mendengarkan musik secara streaming 84,0%, mendengarkan stasiun radion online 52,1% dan mendengar atau menonton podcast 58,0% (sumber Hootsuite).
Penggunaan sosial media juga cukup tinggi meliputi youtube 93,8%, whatsapp 87,7%, instagram 86,6%, facebook 85,5% dan twitter 63,6% (sumber Hootsuite). Berlandaskan data tersebut, siapapun yang mampu memanfaatkan dan melakukan adaptasi terhadap kemajuan digital hari ini, pasti akan mempengaruhi perjalanan waktu. Apabila Muhammadiyah mampu memasuki zaman yang serba digital ini, maka akan sangat mungkin Muhammadiyah bisa menjadi rujukan dan kompas perubahan. Secara basis Muhammadiyah memiliki sumber daya yang berlebih dan berlimpah. Keunggulan lain, yang bisa membantuk proyeksi Muhammadiyah di era disrupsi ini adalah profesionalitas pengelolaan Muhammadiyah secara organisasi. Sehingga yang muncul dipermukaan itu Muhammadiyah branding bukan personal branding. Muhammadiyah tidak mengenal otoritas figur tertentu, namun yang ada otoritas organisasi. Jadi, Muhammadiyah yang profesional akan sangat mudah memasuki dunia disrupsi yang serba digital.
Muhammadiyah mampu menatap diri secara konstruktif dengan memanfaatkan sumber-sumber sejarah dan aktivitas sosial sebagai satu bagian yang tidak terpisahkan dalam menapaki era disrupsi. Aktivitas filantropi yang menjadi bagian dari visi Muhammadiyah dapat menjadi salah satu aspek yang bisa membawa dampak yang jauh lebih baik dengan menjangkau melebihi batas teritori Republik Indonesia.
Disrupsi memang menghendaki perubahan dan pemanfaatan tekhnologi digital guna segalanya lebih efektif serta efisien. Tetapi, satu hal yang tidak berubah yakni kekuatan ide atau visi-lah yang menentukan sejauhmana mampu membawa perubahan. Mungkin Muhammadiyah secara ide atau visi tidak mengalami perubahan secara mendasar, namun medium atau media dalam menggerakkan organisasi dan program-program yang strategis berbasis digital sebagai langkah praxis.
Proyeksi itu bisa diibaratkan seperti orang yang bercermin menatap dirinya sembari melihat pantulan apa yang mesti dihadirkan kepada sekitarnya. Karena itu, momen berkaca di usia 109 tahun Muhammadiyah dengan “fastabiqulkhaerat” mesti menjadi cermin dan pantulan bersama dalam memasuki era disrupsi yang serba digital.